Oleh: Rachmi Hertanti[1]
“…. Siapapun yang mengontrol jalur minyak global akan bisa mengontrol ekonomi global, setidaknya untuk masa depan yang tidak terlalu jauh”.[2]
Pernyataan diatas memperlihatkan betapa strategisnya penguasaan minyak bumi bagi kepentingan ekonomi global, begitu juga penguasaan atas hasil tambang lainnya yang memiliki nilai berharga bagi kelangsungan industri Negara-negara maju sebagai pemenuhan bahan bakunya. Selain itu juga, penguasaan atas sumber daya alam, khususnya minyak, akan berdampak pada kemampuan pertahanan suatu Negara. Misalnya Amerika Serikat (AS) sebagian besar penggunaan minyak dialokasikan untuk kebutuhan militernya.
Sumber daya ekstraktif telah menjadi daya tarik bagi Negara maju terhadap Negara-negara yang memiliki kekayaan sumber daya ekstraktif, seperti Indonesia. Perebutan terhadap kekayaan alam tersebut telah mengakibatkan maraknya penanaman modal pada sektor industri ekstraktif di Indonesia. Industri ekstraktif sendiri memiliki arti yaitu segala kegiatan yang mengambil sumber daya alam yang langsung dari perut bumi berupa mineral, batubara, minyak bumi dan gas bumi (Perpres No.26/2010). Industri ekstraktif di Indonesia sangat didominasi oleh kepemilikan asing.
Industri ekstraktif telah lama dimulai di Indonesia. Industri minyak bumi telah dimulai sejak jaman penjajahan Belanda dengan melakukan eksplorasi dan produksi minyak bumi. Pengusahaan minyak bumi di Indonesia tergolong tertua di dunia, yaitu dengan pengeboran minyak pertama oleh J.Reerink pada tahun 1871. Menjelang akhir abad ke 19, terdapat 18 perusahaan asing yang beroperasi di Indonesia. Pada tahun 1902 didirikan perusahaan yang bernama koninklijke petroleum maatschappij yang kemudian melebur dengan Shell Transportation Trading Company menjadi perusahaan yang bernama The Asiatic Petroleum Company atau Shell Petroleum Company.[3]