3/21/12

Industri Ekstraktif Indonesia dan Kepentingan Asing

Oleh: Rachmi Hertanti[1]

 “…. Siapapun yang mengontrol jalur minyak global akan bisa mengontrol ekonomi global, setidaknya untuk masa depan yang tidak terlalu jauh”.[2]

Pernyataan diatas memperlihatkan betapa strategisnya penguasaan minyak bumi bagi kepentingan ekonomi global, begitu juga penguasaan atas hasil tambang lainnya yang memiliki nilai berharga bagi kelangsungan industri Negara-negara maju sebagai pemenuhan bahan bakunya. Selain itu juga, penguasaan atas sumber daya alam, khususnya minyak, akan berdampak pada kemampuan pertahanan suatu Negara. Misalnya Amerika Serikat (AS) sebagian besar penggunaan minyak dialokasikan untuk kebutuhan militernya.

Sumber daya ekstraktif telah menjadi daya tarik bagi Negara maju terhadap Negara-negara yang memiliki kekayaan sumber daya ekstraktif, seperti Indonesia. Perebutan terhadap kekayaan alam tersebut telah mengakibatkan maraknya penanaman modal pada sektor industri ekstraktif di Indonesia. Industri ekstraktif sendiri memiliki arti yaitu segala kegiatan yang mengambil sumber daya alam yang langsung dari perut bumi berupa mineral, batubara, minyak bumi dan gas bumi (Perpres No.26/2010). Industri ekstraktif di Indonesia sangat didominasi oleh kepemilikan asing.

Industri ekstraktif telah lama dimulai di Indonesia. Industri minyak bumi telah dimulai sejak jaman penjajahan Belanda dengan melakukan eksplorasi dan produksi minyak bumi. Pengusahaan minyak bumi di Indonesia tergolong tertua di dunia, yaitu dengan pengeboran minyak pertama oleh J.Reerink pada tahun 1871. Menjelang akhir abad ke 19, terdapat 18 perusahaan asing yang beroperasi di Indonesia. Pada tahun 1902 didirikan perusahaan yang bernama koninklijke petroleum maatschappij yang kemudian melebur dengan Shell Transportation Trading Company menjadi perusahaan yang bernama The Asiatic Petroleum Company atau Shell Petroleum Company.[3]


Pada tahun 1921, perusahaan AS lainnya yang masuk ke Indonesia yaitu N.V. Standard Vacuum Petroleum Maatschappij yang sesudah perang kemerdekaan berubah namanya menjadi PT.Stanvac Indonesia. Perusahaan ini memiliki wilayah produksi di Sumatera Selatan. Hanya berselang sepuluh tahun, perusahaan ini mampu berproduksi hingga 10-20 ribu barel perhari dari sumur Talang Akar. Perusahaan ini juga menemukan lapangan pendopo pada tahun 1921 yang merupakan lapangan terbesar di Indonesia pada saat itu. Pada tahun 1924, Standard Oil of California (Socal), salah satu grup standard oil lainnya, masuk ke Indonesia yang kemudian bergabung bersama dengan Texaco. Pengeboran pertama mereka dilakukan pada tahun 1935 di Blok Sebangga sekitar 65 Km dari Pekan Baru, dan pada tahun 1944 mendapatkan penemuan terbesar yang kemudian melakukan pengeboran di Sumur Minas-1 dimana penemuan ini merupakan cikal-bakal penguasaan Chevron terhadap penguasaan minyak terbesar di Indonesia pada saat ini.[4]


World Bank Dibalik Beroperasinya Industri Ekstraktif

Suatu hal yang menarik pada tahun 2003 bagi Indonesia, dimana Mantan Menteri Lingkungan Hidup, Prof.Emil Salim, mengeluarkan review mengenai Industri Ekstraktif (Extractive Industry Review) yang didukung oleh World Bank. Selama ini World Bank berada di segala kegiatan industri ekstraktif di Negara-negara berkembang, termasuk di Indonesia, melalui International Finance Corporation (IFC) sebagai salah satu grup dari World Bank selain dari IBRD, IDA, MIGA, dan ICSID.

Dalam reviewnya, Prof.Emil Salim menyatakan bahwa selama ini World Bank telah mengabaikan hal mengenai bahwa industri ekstraktif ini justru menjadi penyebab pemiskinan, penyulut terjadinya perang sipil, memarjinalkan masyarakat adat dan lokal, serta merusak ekosistem dan keanekaragaman hayati. Dalam EIR juga menginginkan dihentikannya segera dukungan yang diberikan World Bank kepada perusahaan batubara dan minyak bumi.

Respon World Bank terhadap EIR yang dikeluarkan oleh Prof.Emil Salim dinyatakan menolak untuk memberikan dukungan dengan alasan bahwa industri ekstraktif memberikan dampak positif pada peningkatan pendapatan suatu Negara dan dapat menyelesaikan masalah kemiskinan di Negara berkembang asalkan dalam pelaksanaannya tetap memperhatikan aspek-aspek seperti good governance, lingkungan, HAM, pro-poor, dan transparan. Oleh karena itu, rekomendasi World Bank yang dikeluarkan bersamaan dengan respon terhadap EIR pada tanggal 17 Juni 2004 tersebut adalah bahwa penanaman investasi pada industri ekstraktif harus dilakukan dengan lebih selektif dan lebih berfokus pada kebutuhan orang miskin, ketatapemerintahan yang baik dan menjamin pembangunan sosial dan lingkungan yang berkelanjutan. Rekomendasi lainnya adalah setiap keputusan ditunda sampai IFC selesai meninjau ulang kebijakan mengenai pengamanan lingkungan dan sosial (social and enivorment safeguard policies) dan standar-standar polusi.[5]

Fakta diatas menggambarkan bahwa World Bank Group (IBRD, IDA, IFC, MIGA, dan ICSID) tetap melaksanakan kepentingan Negara-negara maju yang merupakan pendonor terbesar dalam organisasi-organisasi tersebut, yang memiliki kepentingan besar terhadap industri ekstraktif di Negara berkembang.

World Bank sebagai International Financial Institutions (IFI) merupakan kepanjangtanganan Negara-negara maju, khususnya Amerika Serikat (AS), yang memiliki kepentingan di Negara berkembang, seperti Indonesia. IFI terdiri dari International Monetary Fund (IMF), Asian Development Bank (ADB), World Bank, African Development Bank, European Bank for Reconstruction and Development, and Inter-American Development Bank. Dalam Laporan yang dibuat oleh Committee on Foreign Relations United States pada tahun 2010 mengenai The International Financial Institutions: A Call for Change, dinyatakan secara tegas bahwa IFI’s merupakan elemen penting dalam kebijakan luar negeri AS, IFI’s juga merupakan lambang dari kepemimpinan ekonomi dan diplomasi AS di dunia. AS Sebagai pendonor terbesar di IFI’s memanfaatkannya untuk mempengaruhi kebijakan dan program-programnya di IFI’s dan untuk itu maka pengaruh bantuan yang diberikan oleh IFI’s kepada wilayah-wilayah dan Negara yang menjadi target kepentingan AS sangat besar.

Salah satu lembaga dalam World Bank Group (WBG) yang bertugas untuk memberikan dukungan dana kepada segala bentuk investasi Negara maju di Negara berkembang adalah IFC (International Finance Corporation). Ada 3 (tiga) bisnis utama IFC dalam menjalankan operasinya, yaitu investment services, advisory services, dan asset management. Dari 3 bisnis utama tersebut yang sangat mempengaruhi dalam pemberian dukungan terhadap investasi di industri ekstraktif adalah melalui investment services dan asset management.(ifc.org)

Dalam Investment Services, IFC dimandatkan untuk menanamkan investasi kepada perusahaan swasta yang produktif. Layanan yang diberikan dalam investment services adalah dalam bentuk pinjaman (loan), investasi saham (equity investment), pembiayaan perdagangan (trade finance), penyertaan pinjaman , pembiayaan terstruktur, dan jasa manajemen resiko klien. Dalam investment services cara kerja IFC dalam memberikan dukungan dana terhadap mitra perusahaan yang berada di bawah IFC cukup menarik. Laporan IFC mengenai ‘Financials and Projects’ Tahun 2011 menyebutkan: IFC invests directly in companies’ equity, and through private equity funds. IFC generally invests between 5 and 20 percent of a company’s equity. Cukup besar investasi yang ditanamkan dalam saham pada suatu perusahaan swasta yang menjadi mitra dari IFC, yaitu sebesar 5%-20% dari kepemilikan saham.

Dalam praktek Asset Management Company, IFC semakin memperlihatkan sebagai kepanjangtanganan Negara maju dengan menjadi pihak yang menyalurkan dan mengelola pendanaan pihak ketiga untuk diinvestasikan pada perusahaan swasta yang produktif di Negara berkembang. Anggota dari IFC adalah anggota yang juga tergabung dalam IBRD. Pada tahun 2011 saja nilai yang diinvestasikan IFC pada equity investment di perusahaan-perusahaan swasta produktif sebesar US$12,186 Miliar, dibandingkan dengan nilai investasi pada tahun 2010 sebesar US$12,664 Miliar. Untuk dana pihak ketiga yang dimobilisasi dan dikelola IFC pada tahun 2011 senilai US$6,474 miliar, dibandingkan dengan tahun 2010 senilai US$5,378 Miliar (IFC Report 2011). Penyaluran investasi (disbursed investment) pada tahun 2011 ini bisa dilihat pada gambar dibawah ini:

Sumber: IFC Report 2011
Dari gambar diatas dapat dilihat, bahwa penyaluran investasi kepada perusahaan-perusahaan swasta yang produktif paling banyak terserap pada sektor keuangan dan asuransi yaitu sebesar 35% dari total nilai investasi 2011, posisi kedua ditempati oleh sektor energi listrik sebesar 10%, dan posisi ketiga ditempati oleh sektor oil, gas, and mining yaitu sebesar 8% dari total nilai investasi. Dari data tersebut maka ketiga sektor tersebutlah yang menjadi sektor-sektor andalan Negara maju terhadap Negara berkembang. Hal ini terbukti dengan maraknya perusahaan-perusahaan asing ataupun kepemilikan saham asing yang menguasai industri keuangan dan asuransi seperti Bank Danamon, Bank Tabungan Pensiunan Negara, ANZ, dsb. Begitu juga untuk sektor kelistrikan dan sektor oil, gas, and mining yang juga dikuasai asing, seperti Chevron, Newmont, Freeport, dsb.

Dari semua fakta ini sudah semakin jelas menunjukan bahwa industri ekstraktif di Indonesia bukan lagi dikuasai oleh rakyat. Sebaliknya, rakyatlah yang kemudian menjadi korban dari keserakahan perusahaan asing dalam menguasai industri ekstraktif di Indonesia, dimana keuntungan dari hasil penambangan dan produksi oleh perusahaan tambang hanya dimiliki oleh asing. Hal ini sangat bertentangan dengan keyakinan World Bank yang menyebutkan bahwa industri ekstraktif dapat mengeluarkan rakyat dari kemiskinan.

World Bank dan EITI

Dukungan dana World Bank dalam industri ekstraktif yang telah mengakibatkan kemiskinan di Negara yang kaya akan sumber daya alam akibat dari operasi industri ekstraktif. Ke-engganan World Bank untuk menghentikan dukungan dana terhadap industri ekstraktif dijawab dengan rekomendasi-rekomendasi yang tidak akan pernah bisa menyelesaikan masalah.

World Bank melihat masalah kemiskinan akibat industri ekstraktif hanya disebabkan oleh pemerintahan yang tidak dijalankan secara baik, seperti banyaknya korupsi, tidak sampainya royalty ataupun keuntungan dari production sharing kepada rakyat, dan lemahnya regulasi serta monitoring dari pemerintah terhadap pelaksanaan operasi industri ekstraktif.

Permasalahan yang sesungguhnya dari kemiskinan dan kerusakan lingkungan akibat dari beroperasinya industri ekstraktif adalah kepemilikan atas keuntungan dan penguasaan atas hasil produksi dari industri ekstraktif yang tidak dimiliki oleh Indonesia. Keuntungan dan penguasaan atas hasil produksi dari industri ekstraktif dikuasai oleh asing yang membawanya ke Negara asal dan tidak peduli atas kerusakan lingkungan yang ditimbulkan. Negara hanya diberikan sebatas royalty dalam sektor tambang atau pembagian hasil produksi (production sharing) dalam sektor migas yang tidak berimbang dengan keuntungan yang telah dihasilkan.

Dengan dikeluarkannya Oil, Gas, and Mining Policy oleh World Bank diharapkan dapat menyelesaikan permasalahan kemiskinan di Negara berkembang yang kaya akan sumber daya ekstraktif dengan mengawasi dan mengatur mengenai transparansi data tentang pendapatan Negara yang didapat dari industri ekstraktif yang dikenal dengan program Extractive Industries Transparency Initiative (EITI).

Indonesia telah mengadopsi program ini dengan membuat Peraturan Presiden (Perpres) No.26 tahun 2010 yang menjadi dasar dalam pembentukan tim transparansi terhadap pendapatan Negara dan pendapatan daerah yang didapat dari industri ekstraktif. Pada intinya EITI hanya mengarah pada keterbukaan informasi dan publikasi atas laporan keuangan. Untuk menjalankan program ini World Bank telah memberikan kucuran dana kepada pemerintah Indonesia sebesar US$ 1,050 Juta hingga program berjalan pada tahun 2012 (sumber www.worldbank.org).

Dengan kondisi ini, maka tidak akan mungkin ada perubahan yang signifikan bagi industri ekstraktif di Indonesia yang di dominasi oleh asing. Sehingga perlu dicari jalan keluar yang dapat mengeluarkan Indonesia dari masalah kemiskinan dan kerusakan lingkungan akibat beroperasinya industri ekstraktif.

Nasionalisasi Sebagai Jalan Keluar

Kondisi industri ekstraktif yang didominasi penguasaannya oleh asing merupakan bentuk dari penerapan sistem ekonomi yang kapitalistik, ekonomi yang menghamba pada pemilik modal. Mereka yang memiliki modal (dalam arti uang) maka merekalah yang menguasai. Marx menyebutkan bahwa ide-ide yang berkuasa dalam masyarakat adalah ide-ide kelas penguasa[6]. Kelas penguasa disini yang dimaksud oleh Marx adalah kelas yang menguasai secara ekonomi, dimana saat ini di dalam masyarakat kapitalis, maka sistem ekonomi yang dianut adalah sistem ekonomi kapitalis. Oleh karena itu, hukum yang berlaku adalah hukum yang menghamba pada sistem ekonomi kapitalistik.[7]

Sistem ekonomi kapitalisme sangat bertentangan dengan semangat UUD 1945, khususnya pasal 33 ayat (3). Bahwa sudah saatnya kekayaan alam harus dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat dan tidak membiarkan penguasaannya berada pada segelintir orang saja, tetapi harus dikembalikan kepada negara, dari segi pengelolaannya  (eksplorasi dan produksi serta pemrosesan menjadi bahan jadi) hingga segi distribusinya (pemanfaatan secara ekonomis). Oleh karena itu, penguasaan industri ekstraktif oleh Negara harus dilakukan dengan jalan nasionalisasi sebagai jalan keluar dari masalah kemiskinan dan kerusakan lingkungan hidup akibat dari beroperasinya industri ekstraktif di Indonesia.

Nasionalisasi yang dimaksud disini menurut M.Sornarajah, merupakan suatu konsep pengambil-alihan secara keseluruhan milik asing oleh negara untuk mengakhiri dominasi ekonomi yang dilakukannya (nationalisation referred to a situation in which a state embark on a wholesale taking of property of foreigners to end their economic domination of the economy or sectors of the economy).[8]

Pada dasarnya nasionalisasi aset asing tidak dilarang oleh hukum, baik nasional maupun internasional, sepanjang ia dilakukan untuk kepentingan nasional dan tidak diskriminasi. Dalam hukum internasional tentang investasi asing disebutkan bahwa tindakan nasionalisasi merupakan tindakan yang ilegal (prima facie lawful), namun hal tersebut dapat dikatakan legal jika didasari atas kepentingan publik atau nasional dan dilakukan tanpa diskriminasi.[9] Hal tersebut harus dibuktikan oleh negara yang melakukan tindakan nasionalisasi.

Dalam hukum nasional, tindakan nasionalisasi telah diatur dalam UU No.25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal yang memperbolehkan tindakan nasionalisasi dengan syarat ketentuan undang-undang menyatakan adanya kepentingan negara yang menghendakinya. Hal tersebut diatur dalam Pasal 7, yang menyebutkan:

(1)    Pemerintah tidak akan melakukan tindakan nasionalisasi atau pengambilalihan hak kepemilikan penanam modal, kecuali dengan undang-undang.
(2)    Dalam hal Pemerintah melakukan tindakan nasionalisasi atau pengambilalihan hak kepemilikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah akan memberikan kompensasi yang jumlahnya ditetapkan berdasarkan harga pasar.
(3)    Jika di antara kedua belah pihak tidak tercapai kesepakatan tentang kompensasi atau ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (2), penyelesaiannya dilakukan melalui arbitrase.

Dari ketentuan pasal diatas, maka ada beberapa persyaratan yang harus dilakukan untuk melakukan tindakan nasionalisasi dalam kerangka hukum nasional, yaitu pertama, harus didasari atas undang-undang; kedua, adanya kepentingan nasional; dan ketiga, harus diberikan kompensasi. Apabila ketiga unsur ini dipenuhi maka nasionalisasi sangat mungkin untuk dilaksanakan.***

Cat: Tulisan ini merupakan artikel yang ditujukan untuk dan telah diterbitkan dalam jurnal FTW IGJ Tahun 2012


[1] Internship IGJ dan Saat ini Mahasiswa Pascasarjana UI Jurusan International Trade Law (Hukum Perdagangan Internasional) 2010.
[2] M.Klare, “Resource Wars: The New Landscape of Global Conflict”, New York (2001).
[3] IeSR, “Industri Ekstraktif di Indonesia”.
[4] IeSR, “Industri Ekstraktif di Indonesia”.
[5] Down to Earth Factsheet: International Financial Institutions.
[6] Karl Marx dan Friedrich Engels. “The German Ideology”.1947.
[7] David Harvey, “Imperialism”,2010.hal: 176
[8] M. Sornarajah. “The International Law on Foreign Investment”.2007.hal: 346
[9] M.Sornarajah.2007.hal:395.

No comments:

Post a Comment