Pengantar
Pengesahan
Undang-undang Perdagangan oleh DPR RI bersama dengan Pemerintah pada dasarnya
tidak mengubah wajah kolonialisme dari undang-undang perdagangan terdahulu. Hal
ini karena pasal-pasal yang diatur dalam UU Perdagangan yang baru merupakan
pengadopsian dari ketentuan perjanjian perdagangan internasional, yakni WTO.
Ketentuan WTO merupakan suatu bentuk aturan neo-kolonialisme yang mendorong
liberalisasi perdagangan sehingga mengakibatkan hilangnya kedaulatan Negara
dalam mempertahankan kepentingan nasionalnya akibat komitmen yang diikatkannya.
Oleh karena itu, UU perdagangan berpotensi melanggar Konstitusi. Berikut
merupakan analisis IGJ mengenai pelanggaran UU Perdagangan terhadap Konstitusi:
NO
|
PELANGGARAN KONSTITUSI
|
PASAL DALAM UU PERDAGANGAN
|
PENJELASAN
|
1.
|
UU Perdagangan telah
menimbulkan perlakuan yang tidak adil bagi pelaku usaha kecil (petani,
nelayan, dan UMKM).
·
Prinsip
non-diskriminasi yang diterapkan dalam UU perdagangan terhadap seluruh pelaku
usaha telah merugikan petani, nelayan, dan UMKM ketika harus berhadap-hadapan
secara langsung dengan pelaku usaha yang lebih besar. Perbedaan yang sangat
besar diantara mereka mengakibatkan petani, nelayan, dan UMKM tidak akan mampu
bersaing secara setara dalam medan perdagangan bebas yang berjalan hari ini.
Hal ini akan berdampak terhadap kesejahteraan serta kelangsungan atas usaha
yang menjadi penghidupan petani, nelayan, dan UMKM.
·
Oleh
karena itu, Negara seharusnya memberikan perlindungan bagi petani, nelayan,
dan UMKM secara eksklusif dengan perlakuan khusus terhadap mereka. Dan hal
ini telah dilindungi dalam Konstitusi.
|
||
Pasal 28 H ayat (2)
Konstitusi: Setiap orang
berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan
dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan.
|
Pasal 2 huruf c: kebijakan perdagangan disusun berdasarkan
asas – adil dan sehat.
Penjelasannya: Yang dimaksud dengan asas adil dan sehat
adalah adanya kesetaraan
kesempatan dan kedudukan dalam
kegiatan usaha antara produsen, pedagang, dan pelaku usaha lainnya untuk
mewujudkan iklim usaha yang kondusif sehingga menjamin adanya kepastian dan
kesempatan berusaha yang bersama.
|
Dalam penjelasannya
disebutkan mengenai makna adil dan sehat ini adalah perwujudan dari
kesetaraan kepada setiap pelaku usaha. Hal ini kemudian dapat mendiskriminasi
pelaku usaha kecil yang secara kemampuan tidak akan bisa bersaing secara
setara dengan pelaku usaha lainnya yang lebih besar.
|
|
Pasal 14 ayat (1): Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah sesuai
dengan kewenangannya melakukan pengaturan tentang pengembangan, penataan, dan
pembinaan yang setara
dan berkeadilan terhadap pasar
rakyat, pusat perbelanjaan, toko swalayan, dan perkulakan untuk menciptakan
kepastian berusaha dan hubungan kerja sama yang seimbang antara pemasok dan
pengecer dengan tetap memperhatikan keberpihakan kepada koperasi serta usaha
mikro, kecil, dan menengah.
|
Sarana Perdagangan, tentang frasa kesetaraan terhadap pasar
rakyat. Hal ini sama saja mensejajarkan pasar rakyat dengan pasar-pasar
modern yang secara nyata telah menghancurkan keberadaan pasar rakyat.
|
||
Pasal 20 ayat (1): Penyedia jasa yang bergerak di bidang
perdagangan jasa wajib
didukung tenaga teknis yang kompeten sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.Penjelasan Pasal: Yang dimaksud dengan tenaga teknis yang kompeten adalah tenaga teknis yang melaksanakan jasa
tertentu diwajibkan memiliki
sertifikatsesuai dengan
keahliannya berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.
|
Perdagangan jasa. yang menyebutkan penyedia jasa yang
bergerak di bidang perdagangan jasa wajib didukung tenaga teknis yang kompeten.
Maksudnya adalah wajib memiliki sertifikasi. Lalu bagaimana dengan usaha jasa
yang dilakukan oleh pelaku usaha mikro dengan keahlian yang didapat dari
pengalaman otodidak?
|
||
Pasal 57 ayat (1): Barang yang diperdagangkan di dalam negeri
harus memenuhi:
1.
SNI
yang telah diberlakukan secara wajib; atau
2.
Persyaratan
teknis yang telah diberlakukan secara wajib.
Pasal 57 ayat (2): Pelaku usaha dilarang memperdagangkan
barang di dalam negeri yang tidak memenuhi SNI yang telah diberlakukan secara
wajib atau persyaratan teknis yang telah diberlakukan secara wajib.
|
Standarisasi. Hal ini akan merugikan pelaku usaha kecil
yang akan kesulitan memenuhi SNI. Mengingat dukungan yang diberikan
pemerintah sangat minim. Hal ini akan semakin mendiskriminasikan pelaku usaha
rakyat ketika tidak mampu berhadapan dengan pelaku usaha besar yang
diperlakukan sama.
|
||
Pasal 113: Pelaku usaha yang memperdagangkan barang
di dalam negeri yang tidak memenuhi SNI yang telah diberlakukan secara wajib
atau persyaratan teknis yang telah diberlakukan secara wajib sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 57 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5
tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp.5 miliar.
|
Ketentuan Pidana, tentang barang yang diperdagangkan tidak
memenuhi SNI. Hal ini akan merugikan pelaku usaha kecil yang sangat jauh dari
kemampuan tersebut. Terlebih lagi tidak ada pasal yang mengatur mengenai
fleksibilitas bagi pelaku usaha kecil dalam memenuhi SNI.
|
||
2.
|
UU Perdagangan telah
menimbulkan ketidakpastian hukum yang adil bagi kelompok rakyat ekonomi
rentan sehingga menghilangkan tanggung jawab Negara, dalam hal ini pemerintah,
untuk melindungi hak-hak dasar kelompok masyarakat rentan yang dirugikan dari
praktik perdagangan bebas.
·
Praktek
perdagangan bebas yang merugikan masyarakat, khususnya petani, nelayan, dan
UMKM, semakin dilanggengkan dengan keberadaan UU Perdagangan. Bahkan aturan
perlindungan kepentingan nasional terhadap ancaman perdagangan bebas seakan
sengaja dibuat mengambang dan tidak mengikat kuat secara hukum. Sehingga
menghilangkan jaminan kepastian hukum bagi masyarakat.
·
Hal
ini akibat pengikatan komitmen terhadap berbagai perjanjian perdagangan
internasional yang tidak dapat dilanggar sehingga menghilangkan kedaulatan
pemerintah dalam menetapkan isi dari regulasi nasional yang mampu melindungi
kepentingan nasional secara tegas, kuat, dan mengikat. Inilah yang akhirnya
menyebabkan hilangnya tanggung jawab Negara dalam memenuhi kewajibannya
sebagaimana amanat dari konstitusi.
|
||
Pasal 28 D ayat (1): Setiap orang berhak atas pengakuan,
jaminan, perlindungan, dankepastian hukum yang adilserta
perlakuan yang sama dihadapan hukum.
Pasal 28 I ayat (1):Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan
pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab Negara, terutama
pemerintah.
|
Pasal 13 ayat (2) huruf a: Pembangunan, pemberdayaan, dan peningkatan
kualitas pengelolaan pasar rakyat sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan dalam bentuk:
1.
Pembangunan
dan/atau revitalisasi pasar rakyat.
|
Dalam Pasal ini
tidak melibatkan pedagangan pasar tradisional dalam rencana
pembangunan/revitalisasi pasar rakyat. Hal ini telah menghilangkan jaminan
kepastian hukum bagi pedagangan tradisional dimana selama ini hak-haknya
hilang setelah revitalisasi pasar rakyat dilakukan oleh Pemerintah.Tidak
adanya partisipasi pedagang tradisional dalam rencana revitalisasi pasar telah
menghilangkan hak perlakuan yang sama dihadapan hukum dimana pedagang
tradisional berhak untuk terlibat dalam pengambilan kebijakan yang berkaitan
langsung dengan kepentingannya.
|
|
Pasal 14 ayat (3): Ketentuan lebih lanjut mengenai pengaturan
perizinan, tata ruang, dan zonasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan atau berdasarkan Peraturan
Presiden.
|
Pengaturan zonasi
mengenai keberadaan pasar modern selama ini tidak memberikan dampak positif,
bahkan pembangunan pasar modern semakin banyak. Hal ini membuktikan
pengaturan ke dalam Kepmen ataupun Perpres tidak akan cukup kuat mengatur
mengenai hal tersebut. Sehingga pengaturan zonasi ke dalam peraturan presiden
telah menimbulkan hilangnya jaminan kepastian hukum bagi pedagang
tradisional.
|
||
Pasal 25 ayat (3): barang kebutuhan pokok dan barang penting
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Presiden.Penjelasan: yang dimaksud dengan barang kebutuhan pokok adalah barang yang menyangkut hajat hidup
orang banyak dengan skala pemenuhan kebutuhan yang tinggi serta menjadi
factor pendukung kesejahteraan masyarakat.
Yang dimaksud dengan barang penting adalah barang strategis yang berperan
penting dalam menentukan kelancaran pembangunan nasional.
|
Pengendalian barang kebutuhan
pokok dan/atau barang penting. Suatu hal yang strategis bagi kesejahteraan rakyat Hanya
ditetapkan melalui peraturan presiden yang secara hirarki lebih rendah dari
PP. Hal ini mengakibatkan hilangnya jaminan kepastian hukum masyarakat dalam
upaya melindungi kepentingan nasional.
|
||
Pasal 26 ayat (3): Dalam menjamin pasokan dan stabilisasi
harga barang kebutuhan pokok dan barang penting, Menteri menetapkankebijakan harga, pengelolaan stok dan
logistic, serta pengelolaan ekspor dan impor.
|
Ayat (3): pentingnya
suatu tindakan penjaminan pasokan dan stabilisasi harga hanya ditetapkan
dengan Kepmen. Sehingga jaminan kepastian hukum bagi masyarakat tidak ada.
|
||
Pasal 35 ayat (2): Barang dan/atau jasa yang dilarang atau
dibatasi perdagangannya dimaksud pada ayat (1)ditetapkan dengan Peraturan
Presiden.
|
Larangan dan Pembatasan
perdagangan barang dan/atau jasa. Ayat 2 hanya ditetapkan dengan Perpres. Secara hirarki lebih
rendah dari PP. Hal ini menyebabkan hilangnya kepastian hukum masyarakat
dalam mendapatkan perlindungan dari praktik perdagangan bebas demi
kepentingan nasional. Seharusnya pelarangan dan pembatasan perdagangan
tersebut dijelaskan secara memadai dalam undang-undang dan PP.
|
||
Pasal 50 ayat (2): Pemerintah melarang impor atau ekspor
barang untuk kepentingan
nasional dengan alasan:
1.
Untuk melindungi keamanan nasional atau kepentingan umum, termasuk sosial, budaya, dan moral masyarakat.
b. Untuk melindungi
hak kekayaan intelektual, dan/atau Untuk melindungi kesehatan dan keselamatan
manusia, hewan, ikan, tumbuhan, dan lingkungan hidup.
|
Larangan dan Pembatasan
Ekspor dan Impor. UU ini tidak
menjelaskan secara memadai terkait alasan kepentingan naisonal untuk
melindungi keamanan nasional atau kepentingan umum. Sehingga kepastian hukum
dalam hal ini menjadi abu-abu. Oleh karena itu, perlindungan terhadap petani,
nelayan, dan UMKM akibat dampak buruk praktik perdagangan bebas belum
terakomodir dalam aturan tersebut.
|
||
Pasal 54 ayat (1): Pemerintah dapat membatasi ekspor dan
impor barang untuk kepentingan nasional dengan alasan:
1.
Untuk
melindungi kepentingan nasional atau kepentingan umum, dan/atau
b. Untuk melindungi
kesehatan dan keselamatan manusia, hewan, ikan, tumbuhan, dan lingkungan
hidup.
Pasal 54 ayat (3): Pemerintah dapat membatasi impor barang
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan alasan:
1.
Untuk
membangun, mempercepat, dan melindungi industri tertentu di dalam negeri;
dan/atau
Untuk menjaga neraca
pembayaran dan/atau neraca perdagangan.
|
tidak ada penjelasan
yang memadai dalam konteks melindungi kepentingan nasional sehingga jaminan
kepastian hukum dari pasal ini tidak ada.
|
||
Pasal 57 ayat (2): Pelaku usaha dilarang memperdagangkan
barang di dalam negeri yang tidak memenuhi SNI yang telah diberlakukan secara
wajib atau persyaratan teknis yang telah diberlakukan secara wajib.Pasal 57 ayat (4): Pemberlakuan SNI atau persyaratan teknis sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) dilakukan dengan mempertimbangkan aspek:
c/ Kemampuan dan kesiapan
dunia usaha nasional.
|
Ketentuan ini tidak
dibarengi dengan ketentuan yang dapat memberikan fleksibilitas waktu bagi
pelaku usaha kecil untuk memenuhi kewajibannya (masa transisi). Sehingga hal
ini menghilangkan jaminan kepastian hukum bagi pelaku usaha kecil.
|
||
Pasal 66: Ketentuan lebih lanjut mengenai transaksi
perdagangan melalui system elektronik diatur dengan atau berdasarkan
Peraturan Pemerintah.
|
Perdagangan Melalui Sistem
Elektronik. Pada dasarnya
ketentuan ini telah diatur tersendiri melalui UU No.11 Tahun 2008 tentang
Informasi dan Transaksi Elektronik. Benturan ini telah menimbulkan
ketidakpastian hukum.
|
||
Pasal 83: Pemerintah dalam melakukan perundingan
perjanjian perdagangan internasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 82 ayat
(2) dapat berkonsultasi dengan DPR.
|
Kerjasama Perdagangan
Internasional. Dalam hal ini
tidak memberikan kepastian hukum dimana sifat dari konsultasi sangat tidak
mengikat. Seharusnya konteksnya adalah memberikan persetujuan dalam
perundingan.
|
||
Pasal 84 ayat (1): Setiap perjanjian perdagangan
internasional sebagaimana dimaksud Pasal 82 ayat (2) disampaikan kepada DPR
paling lama 90 hari kerja setelah
penandatanganan perjanjian.Pasal 84 ayat (7): Peraturan
presiden mengenai pengesahan perjanjian perdagangan internasional sebagaiman
dimaksud pada ayat (3) huruf b diberitahukan kepada DPR.
|
Penyampaian
perjanjian perdagangan internasional setelah penandatanganan perjanjian oleh
Pemerintah semakin tidak memberikan jaminan kepastian hukum, dimana kontrol
dari DPR menjadi tidak relevan mengingat kemudian ada ketentuan yang secara
tersendiri pemerintah dapat mengesahkan melalui Perpres sehingga
kewenangannya menjadi amat luas.Pada ayat 7, pengesahan perjanjian
perdagangan internasional melalui perpres sifatnya hanya pemberitahuan kepada
DPR.
|
||
Pasal 85 ayat (2): Pemerintah dapat meninjau kembali dan
membatalkan perjanjian perdagangan internasional yang pengesahannya dilakukan
dengan peraturan presiden berdasarkan pertimbangan kepentingan nasional.
|
Sangat tidak memberikan
kepastian hukum, khususnya mengenai pengesahan melalui Perpres dimana hanya
akan menjadi subyektifitas pemerintah dalam menentukan kepentingan nasional.
Seharusnya DPR juga memiliki kewenangan untuk dapat membatalkan pengesahan
perjanjian perdagangan internasional yang dibuat dengan Perpres. Dan sifatnya
mengikat.
|
||
Pasal 113: Pelaku usaha yang memperdagangkan barang
di dalam negeri yang tidak memenuhi SNI yang telah diberlakukan secara wajib
atau persyaratan teknis yang telah diberlakukan secara wajib sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 57 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5
tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp.5 miliar.
|
Ketentuan Pidana, tentang barang yang diperdagangkan tidak
memenuhi SNI. Hal ini akan merugikan pelaku usaha kecil yang sangat jauh dari
kemampuan tersebut. Terlebih lagi tidak ada pasal yang mengatur mengenai
fleksibilitas bagi pelaku usaha kecil dalam memenuhi SNI.
|
||
3.
|
UU Perdagangan telah
menghilangkan hak-hak petani, nelayan, dan UMKM untuk mendapatkan
perlindungan dan melakukan pembelaan untuk mempertahankan kepentingannya.
·
Dalam
hal pengambilan kebijakan perdagangan yang akan berdampak terhadap kehidupan
dan kesejahteraan masyararakat, Negara tidak melibatkan petani, nelayan, dan
UMKM sebagai unsur utama. Terlebih lagi pengadopsian mekanisme perlindungan
dan pengamanan perdagangan yang diambil dari perjanjian WTO sama sekali tidak
mencerminkan suatu mekanisme yang diperuntukan bagi perlindungan pelaku usaha
kecil. Hal ini karena mekanisme WTO diperuntukan bagi perusahaan
multinasional yang dirugikan dari kebijakan sebuah Negara yang melakukan
proteksi terhadap kepentingan nasionalnya.
·
Oleh
karena itu, setiap warga Negara mempunyai hak untuk melakukan pembelaan dan
memperjuangkan haknya demi mempertahankan kepentingannya. Hal ini telah
dilindungi di dalam Konstitusi.
|
||
Pasal 28 C ayat (2): Setiap orang berhak untuk memajukan
dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun
masyarakat, bangsa, dan negaranya.
Pasal 28 D ayat (1): Setiap orang berhak atas pengakuan,
jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum.
|
Pasal 67 ayat (3): Kebijakan perlindungan dan pengamanan
perdagangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi:
1.
Pembelaan
atas tuduhan dumping dan/atau subsidi terhadap ekspor barang nasional;
2.
Pembelaan
terhadap eksportir yang barang ekspornya dinilai oleh Negara mitra dagang
telah menimbulkan lonjakan impor di negara tersebut;
3.
Pembelaan
terhadap ekspor barang nasional yang dirugikan akibat penerapan kebijakan
dan/atau regulasi Negara lain;
4.
Pengenaan
tindakan antidumping atau tindakan imbalan untuk mengatasi praktik
perdagangan yang tidak sehat;
5.
Pengenaan
tindakan pengamanan perdagangan untuk mengatasi lonjakan impor;
6.
Pembelaan
terhadap kebijakan nasional terkait perdagangan yang ditentang oleh Negara
lain.
|
Perlindungan dan Pengamanan
Perdagangan. Tidak mengatur
tentang perlindungan dan pengamanan perdagangan bagi pelaku usaha kecil yang
terkena dampak dari perdagangan bebas. Karena aturan ini mengadopsi dari WTO
sehingga aspek-aspek pembelaannya sangat pro terhadap mekanisme pasar dan
industri besar.
|
|
Pasal 70 ayat (1): Dalam hal terdapat produk impor dengan
harga yang lebih rendah daripada nilai normal yang menyebabkan kerugian atau ancaman kerugian pada industri dalam negeri atau menghambat berkembangnya industri dalam negeri yang terkait, pemerintah berkewajiban mengambil tindakan
anti-dumping untuk menghilangkan atau mengurangi kerugian atau ancaman
kerugian atau hambatan tersebut.
|
tidak menjadikan
pelaku usaha kecil sebagai salah satu actor utama dalam perdagangan yang juga
mengalami kerugian dari praktek perdagangan bebas.
|
||
Pasal 97 ayat (3): Keanggotaan Komite Perdagangan Nasional
terdiri atas unsure:
1.
Pemerintah
b. Lembaga yang
bertugas melaksanakan penyelidikan tindakan antidumping dan tindakan imbalan.
1.
Lembaga
yang bertugas melaksanakan penyelidikan dalam rangka tindakan pengamanan
perdagangan.
d. Lembaga yang
bertugas memberikan rekomendasi mengenai perlindungan konsumen.
e. Pelaku usaha atau
asosiasi usaha di bidang perdagangan
1.
Akademisi
atau pakar di bidang perdagangan.
|
Komite Perdagangan Nasional. Tidak melibatkan unsur kelompok masyarakat
rentan seperti kelompok koperasi petani, nelayan, dan UMKM dalam menetapkan
kebijakan dan regulasi di bidang perdagangan.
|
||
4.
|
UU Perdagangan telah
menghilangkan kedaulatan rakyat untuk dapat mempertahankan penghidupannya.
·
Pembukaan
pasar telah mendorong lonjakan impor yang akhirnya menyingkirkan keberadaan
produk lokal yang kalah bersaing dengan produk impor. Selain itu, pembukaan
pasar tidak lagi mewajibkan pemerintah untuk mengutamakan produksi dalam
negeri sebagai satu-satunya sumber dalam memenuhi kebutuhan domestiknya.
Pengelolaan Negara terhadap cabang-cabang produksi yang penting dan strategis
menjadi hilang. Sehingga pilihan impor selalu menjadi jalan keluar.
·
Hal
ini kemudian berdampak terhadap pelaku usaha kecil lokal yang semakin
tersingkir perannya dan pada akhirnya menghilangkan sumber penghidupannya.
Kedaulatan rakyat atas ekonominya menjadi hilang.
|
||
Pasal 28A ayat (1): Setiap orang berhak untuk hidup serta
mempertahankan hidup dan kehidupannya.
|
Pasal 26 ayat (1): Dalam kondisi tertentu yang dapat mengganggu kegiatan
perdagangan nasional,
pemerintah berkewajiban menjamin pasokan dan stabilisasi harga barang
kebutuhan pokok dan barang penting.
|
·
Ayat
(1): Pengendalian barang kebutuhan pokok dan/atau barang penting. Dalam hal
ini pasal 26 hanya merujuk pada kondisi tertentu, dimana hal ini menimbulkan
suatu ketidakpastian terhadap perlindungan kesejahteraan masyarakat dalam
mempertahankan kehidupannya.
·
Ayat
(3): tidak ada jaminan dari Negara untuk memastikan ketersediaan barang pokok
dari produksi dalam negeri dan menghentikan ketergantungan terhadap impor.
|
|
Pasal 57 ayat (4): Pemberlakuan SNI atau persyaratan teknis
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan dengan mempertimbangkan aspek:c/ Kemampuan dan kesiapan dunia usaha nasional.
Pasal 57 ayat (7): Pelaku usaha yang memperdagangkan barang
yang telah diberlakukan SNI atau persyaratan teknis secara wajib, tetapi
tidak membubuhi tanda SNI, tanda kesesuaian, atau tidak melengkapi sertifikat
kesesuaian sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dikenai sanksi administrative berupa
penarikan barang dari distribusi.
|
Pelaku usaha kecil akan
sulit mempertahankan keberlangsungan usahanya yang merupakan sumber
penghidupannya ketika tidak mampu memenuhi standarisasi yang ditetapkan
akibat tidak adanya waktu yang relevan untuk beradaptasi dengan ketentuan
standarisasi, akhirnya hanya akan menjadikan pelaku usaha kecil korban dari
pelaksanaan pasal tersebut.
|
||
5.
|
UU Perdagangan telah
menghilangkan jaminan dan hak rakyat untuk mendapatkan pekerjaan dan
penghidupan yang layak.Berdasarkan
Point 5 diatas, ketika kedaulatan rakyat telah hilang dalam mempertahankan
kepentinganya, dalam halini adalah sumber-sumber penghidupan ekonominya, maka
hal ini sudah tentu juga telah menghilangkan jaminan perlindungan terhadap
hak pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi rakyat.
|
||
Pasal 27 ayat (2):
Tiap-tiap warga Negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi
kemanusiaan.
|
Pasal 26 ayat (1) dan Pasal
57 ayat (4) dan ayat (7).
|
||
6.
|
UU Perdagangan telah
melanggar kedaulatan ekonomi nasional. Bahwa esensi dari pengaturan perdagangan dalam uu ini didasari
pada semangat liberalisasi ekonomi, bukan kepada semangat ekonomi kerakyatan
yang didasari pada Pasal 33 ayat (1), (2), dan (3).
|
||
Pasal 33 ayat (1):Perekonomian disusun sebagai usaha bersama
berdasar atas asas kekeluargaan. ayat (2):Cabang-cabang
produksi yang penting bagi Negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak
dikuasai oleh Negara. Ayat
(3): bumi, air, dan
kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan
dipergunakan sebesar-besar kemakmuran rakyat.
|
Pasal 13 ayat (1): Pemerintah bekerja sama dengan Pemerintah
Daerah melakukan pembangunan, pemberdayaan, dan peningkatan kualitas
pengelolaan pasar rakyat dalam rangka peningkatan daya saing.
|
Frasa ‘peningkatan
daya saing’ telah mengarahkan perekonomian nasional dilakukan berdasarkan
prinsip liberalisasi perdagangan yang menganut persaingan bebas. Pemerintah
telah mendorong perekonomian nasional masuk ke dalam jebakan kompetisi bebas.
Sehingga daya saing tidak sesuai dengan asas kekeluargaan yang menjadi unsur
utama dalam kedaulatan ekonomi rakyat sebagaimana dilindungi dalam
Konstitusi.
|
No comments:
Post a Comment