RACHMI HERTANTI
Kepala Bidang
Penelitian Strategis, Indonesia for Global Justice (IGJ)
(Ditulis ketika akan menyikapi pengesahan UU Perdagangan di DPR RI)
Sesaat sebelum pengumuman resmi pengunduran diri Gita Wirjawan sebagai Menteri
Perdagangan pada 31 Januari
yang lalu, DPR RI memastikan akan mengesahkan RUU perdagangan.
Substansi RUU
Perdagangan diklaim telah berhasil dicapai dengan misi melindungi kepentingan nasional dari
praktik liberalisasi perdagangan yang berjalan hari ini. Padahal dalam
perjalanannya, liberalisasi perdagangan telah menimbulkan dampak buruk bagi
perekonomian nasional, khususnya bagi petani, nelayan, buruh, dan usaha mikro.
Secara multilateral, Indonesia telah terikat dengan World Trade
Organization (WTO) sejak tahun 1995, dan diperkuat kembali dengan politik
pencitraan yang dilakukan Gita dengan menyepakati Paket Bali WTO pada Desember
2013 yang lalu di Bali.
Sedang pada level regional, ASEAN Free Trade Area (AFTA) telah menjadi
komitmen liberalisasi perdagangan Indonesia di ASEAN sejak 1996. Komitmen ini
diperluas dengan pemantapan Integrasi Ekonomi ASEAN (ASEAN Economic Community) yang
akan diimplementasikan pada 2015 nanti. Namun, sebelum AEC liberalisasi
perdagangan juga telah berjalan antara enam negara mitra ekonomi ASEAN yang
diikatkan secara bilateral oleh Indonesia, yakni kerja sama dengan Jepang,
China, India, Korea, Australia, dan New Zealand.
Bukan Untuk Mengkoreksi Kebijakan
Pengesahan RUU Perdagangan yang akan dilakukan pada
selasa, 11 Februari 2014, seakan-akan hendak menebus dosa yang telah dilakukan
selama ini. Hal ini karena RUU Perdagangan dianggap sebagai solusi tepat untuk
menjawab persoalan buruk yang ditimbulkan oleh liberalisasi perdagangan di
Indonesia. Padahal jika ditilik lebih lanjut, substansi yang diatur dalam RUU
Perdagangan tidak lebih sebagai bentuk pengadopsian Perjanjian Perdagangan
Bebas yang diatur dalam WTO.
Misalnya saja, pasal yang mengatur tentang perlindungan dan pengamanan
perdagangan, sebenarnya mengacu pada ketentuan WTO tentang General Agreement on
Tariff and Trade (GATT) yang membolehkan negara melakukan tindakan balasan
ketika terjadi kerugian yang ditimbulkan dalam perdagangan, yakni dengan
menerapkan tindakan anti-dumping, safeguards, dan subsidies and countervailing
duties.
Selama ini, aturan tersebut telah diatur melalui Peraturan Pemerintah No.34
Tahun 2011 yang merupakan aturan turunan dari UU No.7 tahun 1994 tentang
ratifikasi keanggotaan Indonesia di WTO. Namun, sayangnya Indonesia tidak
secara pro-aktif menggunakannya dalam rangka melindungi kepentingan nasional
yang telah dirugikan dari praktik buruk liberalisasi perdagangan selama ini. Tercatat
dalam Dispute Settlement Body (DSB) di WTO, sejak 1995 Indonesia hanya
menggunakan ketentuan perlindungan dan pengamanan perdagangan WTO sebanyak 8
kali sebagai complainant dan sebagai responden tercatat sebanyak 7 kali. Jumlah
ini sangat jauh jika dibandingkan dengan Thailand dan India yang mengajukan
protes sebanyak 13 kasus dan 21 kasus. Bahkan sebagai pihak ketiga Thailand
berjumal 65 kasus dan India sebanyak 93 kasus, sedangkan Indonesia hanya
sebanyak 9 kasus.
Selain itu, ketentuan RUU Perdagangan yang mengatur tentang pelarangan dan
pembatasan ekspor-impor. Pada dasarnya ketentuan ini memang telah diterapkan
dalam Pasal 20 dan 21 GATT tentang Pengecualian umum (General Exception) dan
Pengecualian untuk Keamanan (Security Exception). Dan kemudian pasal ini diatur
kembali di dalam RUU Perdagangan.
Bahkan, pasal tentang standarisasi memang suatu ketentuan yang boleh diatur tetapi tidak boleh
melanggar ketentuan Technical barriers to trade (TBT) dan Sanitary
and Phytosanitary
(SPS) sepanjang untuk
melindungi kesehatan dan keamanan bagi manusia, kesehatan, tanaman, dan makhluk
hidup lainnya.
Oleh karena itu, RUU Perdagangan dibuat bukan untuk mengkoreksi kebijakan
perdagangan internasional yang telah diikatkan selama ini. Bahkan, hanya
sebatas obat penenang sementara dan tidak untuk menjadi landasan regulasi dalam
menyusun kebijakan perdagangan internasional Indonesia yang mengedepankan
kepentingan nasional.
Melindungi Kepentingan Nasional Dengan
Mengubah Komitmen
Apa yang hendak diatur di dalam RUU Perdagangan pada dasarnya hanya berupa
pengulangan regulasi yang telah diatur sebelumnya dalam peraturan
perundang-undangan sebelumnya. RUU ini hendak menselaraskan peraturan
perundang-undangan yang telah ada sebelumnya. Hal ini karena perjanjian
perdagangan internasional telah banyak diadopsi ke berbagai regulasi nasional.
Pemerintah tidak serius melindungi kepentingan nasional dari ancaman
liberalisasi perdagangan. Hal ini karena Pemerintah tidak berani keluar dari
komitmen perjanjian perdagangan internasional. Bahkan, tidak bermaksud mengubah
komitmennya atau mengevaluasi komitmen.
Misalnya saja, jika memang RUU Perdagangan dimaksudkan untuk memperkuat kepentingan nasional dalam menyeimbangkan penyelenggaraan perdagangan sektor hulu dan hilir, maka seharusnya RUU ini mendorong revisi terhadap Undang-undang Penanaman Modal No. 25 tahun 2007 yang telah menjadi pintu masuk bagi pendominasian asing di sektor-sektor strategis bagi perekonomian nasional hingga 95%.
Selain itu, ketentuan tentang pelibatan DPR RI dalam melakukan ratifikasi
perjanjian perdagangan internasional, seharusnya perlu juga mengubah
Undang-undang tentang Perjanjian Internasional No.24 tahun 2000 dimana
kewenangan DPR sangat terbatas dan tidak berlaku surut. Sebelumnya, pengesahan
berbagai perjanjian perdagangan internasional dilakukan melalui Keputusan
Presiden (Keppres), seperti kerjasama ekonomi antara Indonesia dengan Jepang,
China, India, Korea, Australia, dan lain sebagainya.
Semua perjanjian ini telah berjalan dan memberikan dampak buruk terhadap
perekonomian Indonesia. Maka, jika diinginkan adanya kontrol rakyat dalam
pengesahan perjanjian perdagangan internasional melalui DPR, seharusnya RUU ini
memberikan kewenangan DPR untuk dapat mengkoreksi dan mengevaluasi seluruh
perjanjian perdagangan internasional yang telah diikatkan hingga seluruh
ketentuan turunannya, seperti penetapan tarif masuk, penetapan besaran
kepemilikan asing, penentuan komitmen subsidi, hingga penetapan Mutual
Recognition Agreement yang digunakan untuk menentukan standarisasi tenaga kerja
dalam liberalisasi tenaga kerja.
Oleh
karena itu, pengesahan RUU Perdagangan tanpa adanya keseriusan untuk mengubah
komitmen liberalisasi perdagangan dalam berbagai perjanjian perdagangan bebas
yang telah ditandatangani, sama saja membiarkan rakyat Indonesia masuk ke dalam
perangkap perdagangan bebas yang menyengsarakan.
No comments:
Post a Comment