3/7/14

RUU Perdagangan Tetap Liberal

RACHMI HERTANTI
Kepala Bidang Penelitian Strategis, Indonesia for Global Justice (IGJ)
(Ditulis ketika akan menyikapi pengesahan UU Perdagangan di DPR RI)

Sesaat sebelum pengumuman resmi pengunduran diri Gita Wirjawan sebagai Menteri Perdagangan pada 31 Januari yang lalu, DPR RI memastikan akan mengesahkan RUU perdagangan.

Substansi RUU Perdagangan diklaim telah berhasil dicapai dengan misi melindungi kepentingan nasional dari praktik liberalisasi perdagangan yang berjalan hari ini. Padahal dalam perjalanannya, liberalisasi perdagangan telah menimbulkan dampak buruk bagi perekonomian nasional, khususnya bagi petani, nelayan, buruh, dan usaha mikro.

Secara multilateral, Indonesia telah terikat dengan World Trade Organization (WTO) sejak tahun 1995, dan diperkuat kembali dengan politik pencitraan yang dilakukan Gita dengan menyepakati Paket Bali WTO pada Desember 2013 yang lalu di Bali.

Sedang pada level regional, ASEAN Free Trade Area (AFTA) telah menjadi komitmen liberalisasi perdagangan Indonesia di ASEAN sejak 1996. Komitmen ini diperluas dengan pemantapan Integrasi Ekonomi ASEAN (ASEAN Economic Community) yang akan diimplementasikan pada 2015 nanti. Namun, sebelum AEC liberalisasi perdagangan juga telah berjalan antara enam negara mitra ekonomi ASEAN yang diikatkan secara bilateral oleh Indonesia, yakni kerja sama dengan Jepang, China, India, Korea, Australia, dan New Zealand.

Bukan Untuk Mengkoreksi Kebijakan
Pengesahan RUU Perdagangan yang akan dilakukan pada selasa, 11 Februari 2014, seakan-akan hendak menebus dosa yang telah dilakukan selama ini. Hal ini karena RUU Perdagangan dianggap sebagai solusi tepat untuk menjawab persoalan buruk yang ditimbulkan oleh liberalisasi perdagangan di Indonesia. Padahal jika ditilik lebih lanjut, substansi yang diatur dalam RUU Perdagangan tidak lebih sebagai bentuk pengadopsian Perjanjian Perdagangan Bebas yang diatur dalam WTO.

Misalnya saja, pasal yang mengatur tentang perlindungan dan pengamanan perdagangan, sebenarnya mengacu pada ketentuan WTO tentang General Agreement on Tariff and Trade (GATT) yang membolehkan negara melakukan tindakan balasan ketika terjadi kerugian yang ditimbulkan dalam perdagangan, yakni dengan menerapkan tindakan anti-dumping, safeguards, dan subsidies and countervailing duties.

Selama ini, aturan tersebut telah diatur melalui Peraturan Pemerintah No.34 Tahun 2011 yang merupakan aturan turunan dari UU No.7 tahun 1994 tentang ratifikasi keanggotaan Indonesia di WTO. Namun, sayangnya Indonesia tidak secara pro-aktif menggunakannya dalam rangka melindungi kepentingan nasional yang telah dirugikan dari praktik buruk liberalisasi perdagangan selama ini. Tercatat dalam Dispute Settlement Body (DSB) di WTO, sejak 1995 Indonesia hanya menggunakan ketentuan perlindungan dan pengamanan perdagangan WTO sebanyak 8 kali sebagai complainant dan sebagai responden tercatat sebanyak 7 kali. Jumlah ini sangat jauh jika dibandingkan dengan Thailand dan India yang mengajukan protes sebanyak 13 kasus dan 21 kasus. Bahkan sebagai pihak ketiga Thailand berjumal 65 kasus dan India sebanyak 93 kasus, sedangkan Indonesia hanya sebanyak 9 kasus.

Selain itu, ketentuan RUU Perdagangan yang mengatur tentang pelarangan dan pembatasan ekspor-impor. Pada dasarnya ketentuan ini memang telah diterapkan dalam Pasal 20 dan 21 GATT tentang Pengecualian umum (General Exception) dan Pengecualian untuk Keamanan (Security Exception). Dan kemudian pasal ini diatur kembali di dalam RUU Perdagangan.

Bahkan, pasal tentang standarisasi memang suatu ketentuan yang boleh diatur tetapi tidak boleh melanggar ketentuan Technical barriers to trade (TBT) dan Sanitary and Phytosanitary (SPS) sepanjang untuk melindungi kesehatan dan keamanan bagi manusia, kesehatan, tanaman, dan makhluk hidup lainnya.
Oleh karena itu, RUU Perdagangan dibuat bukan untuk mengkoreksi kebijakan perdagangan internasional yang telah diikatkan selama ini. Bahkan, hanya sebatas obat penenang sementara dan tidak untuk menjadi landasan regulasi dalam menyusun kebijakan perdagangan internasional Indonesia yang mengedepankan kepentingan nasional.

Melindungi Kepentingan Nasional Dengan Mengubah Komitmen
Apa yang hendak diatur di dalam RUU Perdagangan pada dasarnya hanya berupa pengulangan regulasi yang telah diatur sebelumnya dalam peraturan perundang-undangan sebelumnya. RUU ini hendak menselaraskan peraturan perundang-undangan yang telah ada sebelumnya. Hal ini karena perjanjian perdagangan internasional telah banyak diadopsi ke berbagai regulasi nasional.

Pemerintah tidak serius melindungi kepentingan nasional dari ancaman liberalisasi perdagangan. Hal ini karena Pemerintah tidak berani keluar dari komitmen perjanjian perdagangan internasional. Bahkan, tidak bermaksud mengubah komitmennya atau mengevaluasi komitmen.

Misalnya saja, jika memang RUU Perdagangan dimaksudkan untuk memperkuat kepentingan nasional dalam menyeimbangkan penyelenggaraan perdagangan sektor hulu dan hilir, maka seharusnya RUU ini mendorong revisi terhadap Undang-undang Penanaman Modal No. 25 tahun 2007 yang telah menjadi pintu masuk bagi pendominasian asing di sektor-sektor strategis bagi perekonomian nasional hingga 95%.

Selain itu, ketentuan tentang pelibatan DPR RI dalam melakukan ratifikasi perjanjian perdagangan internasional, seharusnya perlu juga mengubah Undang-undang tentang Perjanjian Internasional No.24 tahun 2000 dimana kewenangan DPR sangat terbatas dan tidak berlaku surut. Sebelumnya, pengesahan berbagai perjanjian perdagangan internasional dilakukan melalui Keputusan Presiden (Keppres), seperti kerjasama ekonomi antara Indonesia dengan Jepang, China, India, Korea, Australia, dan lain sebagainya.
Semua perjanjian ini telah berjalan dan memberikan dampak buruk terhadap perekonomian Indonesia. Maka, jika diinginkan adanya kontrol rakyat dalam pengesahan perjanjian perdagangan internasional melalui DPR, seharusnya RUU ini memberikan kewenangan DPR untuk dapat mengkoreksi dan mengevaluasi seluruh perjanjian perdagangan internasional yang telah diikatkan hingga seluruh ketentuan turunannya, seperti penetapan tarif masuk, penetapan besaran kepemilikan asing, penentuan komitmen subsidi, hingga penetapan Mutual Recognition Agreement yang digunakan untuk menentukan standarisasi tenaga kerja dalam liberalisasi tenaga kerja.

Oleh karena itu, pengesahan RUU Perdagangan tanpa adanya keseriusan untuk mengubah komitmen liberalisasi perdagangan dalam berbagai perjanjian perdagangan bebas yang telah ditandatangani, sama saja membiarkan rakyat Indonesia masuk ke dalam perangkap perdagangan bebas yang menyengsarakan. 

No comments:

Post a Comment