10/16/14



Ancaman MEA 2015, Momentum Bangkitnya Gerakan Buruh ASEAN
Oleh: Rachmi Hertanti[1]

Selama ini Pemerintah Indonesia memaksakan masyarakat untuk menerima MEA tanpa memberi kesempatan untuk mempertanyakan secara kritis tentang ‘apa itu MEA’.
                                                                                                                                                                                              
Indonesia akan segera menyongsong kehadiran Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) pada Desember 2015. Namun, hingga saat ini belum banyak masyarakat yang mengetahui apa itu MEA, termasuk dampak bila MEA dilaksanakan. Selama ini Pemerintah Indonesia memaksakan masyarakat untuk menerima MEA tanpa diberikan kesempatan untuk mempertanyakan secara kritis tentang MEA.


Pembentukan MEA
Inisiatif pembentukan integrasi ASEAN sebenarnya telah muncul pada 1997. Saat itu, ASEAN meluncurkan inisiatif pembentukan integrasi kawasan ASEAN atau komunitas masyarakat ASEAN melalui ASEAN Vision 2020 saat berlangsungnya ASEAN Second Informal Summit di Kuala Lumpur, Malaysia. Inisiatif ini kemudian diwujudkan dalam bentuk roadmap jangka panjang yang bernama Hanoi Plan of Action yang disepakati pada 1998.
Kemudian melalui deklarasi Bali Concord II pada 2003 di Bali, Komunitas ASEAN 2020 diimplementasikan melalui 3 pilar, yakni ASEAN Security Community, ASEAN Economic Community, dan ASEAN Socio-Cultural Community. Namun, pada saat ASEAN Summit ke-12 pada 2007, dalam Cebu Declaration, ASEAN memutuskan untuk mempercepat pembentukan integrasi kawasan ASEAN menjadi 2015.
Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) hadir untuk menggantikan ASEAN Free Trade Area (AFTA) yang telah ada sejak tahun 2003. AFTA disahkan pada saat ASEAN Summit ke IV di Singapura pada Januari 1992 bersama penandatanganan Deklarasi Singapura dan Perjanjian untuk Meningkatkan Kerjasama Ekonomi ASEAN (Singapore Declaration and Agreement for Enhancing ASEAN Economic Cooperation). Kehadiran AFTA juga telah menjadi pembuka pintu liberalisasi dengan Negara-negara di luar anggota ASEAN melalui pembentukan ASEAN Bilateral FTA dengan beberapa Negara mitra seperti China, Jepang, Korea Selatan, Australia, New Zealand, dan India.
Dengan berlakunya ASEAN Bilateral FTA, maka secara otomatis telah mengikat komitmen Negara-negara anggota ASEAN untuk juga bermitra secara bilateral. Indonesia telah mengadopsi FTA ke dalam hukum nasional yang dilanjutkan dengan menandatangani perjanjian perdagangan secara bilateral antara Indonesia dengan keenam Negara mitra ekonomi ASEAN, yakni China, Jepang, Korea Selatan, Australia, New Zealand, dan India.

Agenda Liberalisasi Dalam MEA
MEA hadir dengan tema Pasar Tunggal dan Basis Produksi ASEAN, yang hendak menjadikan Indonesia sebagai basis pasar dan basis produksi dengan menggantungkan pada melimpahnya jumlah populasi, tenaga kerja produktif dan murah, serta sumber-sumber kekayaan alam. Pembentukan MEA mendorong pembukaan pasar bebas yang menghilangkan batas-batas antar Negara melalui penghapusan tariff bea masuk dan menghapus pembatasan investasi asing hingga 100% di seluruh sektor ekonomi.
Alasan yang paling mendasar dalam pembentukan MEA 2015 adalah karena ASEAN merupakan kawasan pasar potensial di dunia. Faktor inilah yang dipercaya akan mendorong pertumbuhan ekonomi ditengah melandanya krisis ekonomi global. Jumlah populasi ASEAN mencapai kurang lebih hingga 616 juta orang atau 8,6% dari total penduduk dunia. Angka ini melebihi populasi di Uni Eropa yang hanya sebesar 506 juta orang dan dua kali lipat penduduk di Amerika Serikat[2].
Tingginya jumlah populasi ASEAN juga didukung dengan pertumbuhan penduduk berusia produktif yang mencapai hingga 50,8%[3]. Indonesia merupakan negara yang memiliki jumlah populasi tertinggi diantara Negara-negara ASEAN lainnya. Pada 2020 diprediksi terjadi peningkatan jumlah usia produktif (15-24 tahun) sebanyak 50-60% dari penduduk Indonesia. Namun sebaliknya, terjadi penurunan jumlah usia produktif di negara maju khususnya Eropa, Amerika Utara, Asia Timur dan Australia[4].
Keunggulan demografi inilah yang akhirnya menjadi nilai tambah bagi terbentuknya basis produksi di ASEAN, khususnya Indonesia. Ketersediaan tenaga kerja produktif yang juga berpotensi sebagai pasar menjadi magnet bagi masuknya arus investasi di Indonesia. Bersatunya antara pasar dengan ketersediaan tenaga kerja produktif mampu menciptakan efesiensi produksi, ditambah bonus kekayaan alam di kawasan ASEAN yang menjadi sumber bahan baku. Jaring produksi industri dari hulu hingga hilir akan semakin mudah dan berbiaya rendah. Itulah mengapa Pasar Tunggal & Basis Produksi menjadi tema utama dalam MEA 2015.
Untuk itu, kunci pelaksanaan MEA terletak pada elemen utamanya, yakni liberalisasi. Beberapa hal yang diliberalisasi yaitu, (1) liberalisasi perdagangan barang, (2) liberalisasi jasa, (3) liberalisasi investasi dan (4) liberalisasi tenaga kerja. Liberalisasi sector barang, jasa, dan investasi akan semakin mempermudah pergerakan/perpindahan barang dan modal, serta mengefisiensikan proses dan biaya produksi.
Liberalisasi sektor barang akan menghapus tarif bea masuk untuk seluruh jenis barang sehingga memudahkan masuknya barang impor baik berupa impor bahan baku maupun impor konsumsi. Liberalisasi jasa akan mendorong pendominasian industri jasa asing, seperti sektor keuangan, kesehatan, konstruksi, teknologi informasi, dll. Sektor-sektor jasa tersebut merupakan kegiatan penunjang proses produksi. Liberalisasi investasi dilakukan untuk memudahkan pergerakan modal asing yang dimungkinkan kepemilikannya hingga 100%. Liberalisasi tenaga kerja akan mendorong terjadinya pergerakan tenaga kerja asing yang memiliki keahlian khusus.






Liberalisasi Tenaga Kerja ASEAN

Pembentukan basis produksi ASEAN akan mendorong kebutuhan pasar tenaga kerja yang sangat besar. Industrialisasi akan menjadi strategi utama yang semakin memperkuat peran korporasi multinasional. Berbagai kebijakan tenaga kerja Indonesia akan didorong untuk dapat memenuhi kepentingan industri seperti penciptaan tenaga kerja yang berdaya saing tinggi dan mampu meningkatkan produktifitas industri.
Dalam perjanjian perdagangan jasa ASEAN disebutkan bahwa liberalisasi tenaga kerja akan dilakukan terhadap tenaga kerja yang berskill tinggi. Liberalisasi tenaga kerja ASEAN akan dilakukan melalui standarisasi keahlian yang dibuktikan dengan sertifikasi sebagai syarat utama untuk dapat masuk dalam pasar tenaga kerja ASEAN.
Untuk menuju pasar tenaga kerja yang berskill tinggi, maka ASEAN menerapkan standarisasi pendidikan di beberapa sektor. Standarisasi tersebut dituangkan ke dalam Mutual Recognition Agreement (MRA) atau Perjanjian Pengakuan Bersama atas standar-standar yang harus dipenuhi suatu keahlian yang harus dimiliki oleh tenaga kerja. Hingga saat ini ASEAN telah menandatangani MRA di beberapa profesi seperti konstruksi, dokter gigi, suster dan tenaga kesehatan, engineering (perteknikan), konsultan keuangan (akuntansi), teknologi informasi, perbankan dan asuransi. Ke depan MRA akan bertambah sesuai dengan kebutuhan industri di ASEAN.
Standarisasi dan sertifikasi tenaga kerja ASEAN telah mendorong sistem pendidikan di Indonesia dikembangkan ke arah sekolah kejuruan yang diharapkan siswa mendapatkan keahlian khusus dan dapat berkompetisi di dunia kerja yang dibutuhkan industri. Sistem pendidikan inilah yang menggambarkan bahwa sekolah merupakan penciptaan robot pekerja untuk memenuhi kebutuhan industri. Sehingga pendidikan hingga SMK dianggap sudah cukup tanpa harus melanjutkan ke jenjang perguruan tinggi terlebih dengan mahalnya biaya kuliah.
Artinya, kedepan Indonesia hanya akan menciptakan tenaga kerja siap pakai (Pekerja fisik) dibandingkan dengan menciptakan sumber daya manusia yang mampu menelurkan inovasi baru dalam ilmu pengetahuan (pekerja otak). Hal ini bisa dilihat dari data BPS tentang angka partisipasi pada pendidikan tinggi hanya sebesar 17,92% dimana angka ini berbanding jauh dengan angka partisipasi pendidikan SMA/SMK yang menyentuh hingga 53,74% (Lihat Tabel 1). Selain itu, tenaga kerja bersertifikasi kedepannya akan menggeser keberadaan tenaga kerja manufaktur Indonesia yang mayoritas berpendidikan rendah. Sehingga kedepan MEA berpotensi mendorong terjadinya Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) besar-besaran untuk mengganti tenaga kerja yang dianggap memiliki skill tinggi.
Tabel 1 - Angka Partisipasi Pendidikan 2009-2013

Sumber: BPS, Indikator Pendidikan (diolah).
Tabel 2 – Angkatan Kerja Berdasarkan Pendidikan
Sumber: BPS, 2013 (diolah).

Dari hasil survey yang dilakukan oleh International Labour Organization (ILO) pada 2013 memperlihatkan bahwa sebesar 57% industri di kawasan ASEAN lebih memilih tenaga kerja yang berlatarbelakang pendidikan SMA/K dan universitas. Jika dilihat dari rata-rata upah terendah, Indonesia berada pada level yang paling terendah yakni hanya sebesar US$ 74 (atau setara Rp.851.000[5]). nilai rata-rata upah terendah ini kalah jauh dibandingkan dengan Kamboja, Laos, dan Filipina yang sudah berada pada nilai berturut-turut: US$ 100, US$ 74, dan US$ 120 (Lihat Grafik 1 & 2). Artinya kualitas buruh Indonesia berada pada level terendah dibandingkan negara-negara ASEAN lainnya.

Grafik 1 – Survey Industri Terhadap Permintaan Pasar Tenaga Kerja Berdasarkan Pendidikan
Sumber: Laporan ILO, 2014 (diolah).


Grafik 2 – Upah Di Beberapa Negara ASEAN 2014
Sumber: Laporan ILO, 2014.

Persoalan pendidikan di Indonesia akan sangat berpengaruh terhadap daya saing tenaga kerja Indonesia ketika liberalisasi tenaga kerja ASEAN berjalan pada 2015.  Mahalnya biaya pendidikan memberikan pengaruh cukup besar terhadap akses masyarakat atas pendidikan di Indonesia. Sehingga, ketika hilang akses masyarakat terhadap pendidikan maka penciptaan tenaga kerja berskill tinggi akan semakin berkurang. Sehingga berpotensi meningkatkan angka pengangguran dan kemiskinan di Indonesia akibat rendahnya daya saing tenaga kerja Indonesia.
Pemerintah saat ini juga sedang menggalakkan Balai Latihan Kerja (BLK). Namun persoalan di BLK tak jauh lebih besar dari persoalan pendidikan. BLK justru menambah persoalan tenaga kerja di Indonesia. Kualitas BLK hingga saat ini masih dipertanyakan. Bahkan BLK kemudian beralih fungsi menjadi perusahaan penyalur tenaga kerja (outsorce). Belum lagi persyaratan biaya untuk dapat menikmati proses pendidikan di BLK juga menjadi hambatan bagi buruh yang ingin mendapatkan pendidikan keahlian di BLK.
Persoalan lain yang juga akan muncul atas dampak dari pelaksanaan MEA 2015 adalah terkait dengan politik upah murah. Pembentukan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) dalam skema konektivitas ASEAN tidak lebih mensyaratkan kebijakan iklim investasi yang kondusif. Hal ini berujung pada penciptaan kepastian hukum terkait dengan peraturan ketenagakerjaan di Indonesia, khususnya tentang upah, kebebasan berorganisasi, dan sistem outsourching. Sebagaimana hukum kapitalisme, maka penanaman modal akan bergantung pada kebijakan upah murah yang diterapkan oleh Pemerintah. Rencana revisi UU ketenagakerjaan juga tidak lepas dari kepentingan MEA. Misalnya saja ada beberapa materi revisi yakni terkait isu sistem kerja kontrak dan outsource serta mekanisme dan besaran pesangon.




Agenda Gerakan Buruh Kedepan

Ditengah pasang-surut peran gerakan buruh hari ini, kesolidan dalam memperjuangkan isu masih dipertanyakan. Terpecahnya gerakan buruh pada diaspora politik hari ini semakin mempersulit perjuangan buruh dalam menghadapi skema liberalisasi yang semakin massif. Belum lagi fokus perjuangan ekonomi yang menghabiskan energi internal organisasi semakin melemahkan kekuatan gerakan buruh. Sudah seharusnya strategi perjuangan buruh mulai diformulasikan kembali, khususnya dalam gerak modal hari ini yang lintas negara.
Gerak modal yang semakin tidak mengenal batas negara akan membutuhkan pembangunan gerakan perjuangan buruh lintas negara. Kesamaan nasib diantara kaum buruh harus mampu mendorong perjuangan kelas, sehingga tidak terbatas dengan menyuarakan penolakan terhadap pelaksanaan MEA 2015. Tetapi penolakan terhadap agenda liberalisasi yang berdampak ke semua sektor politik, ekonomi, sosial, dan budaya.
Penolakan terhadap MEA 2015 dapat dijadikan titik awal konsolidasi gerakan buruh dalam menyusun kekuatan perjuangan kelas buruh di kawasan ASEAN. Momentum ini harus digunakan sebelum pada akhirnya menuju pada gerakan perjuangan kelas buruh internasionale**.


[1] Penulis adalah Anggota PPI Jakarta, Juga bekerja di Indonesia for Global Justice
[2] ILO Report 2014, “AEC 2015: Managing Integration for Better Jobs and Shared Prosperity”. 
[3] ASEAN Statistical Yearbook 2013.
[4] Pusat Data Indonesia for Global Justice (IGJ) 2014, diolah dari Kementerian Perindustrian.
[5] Kurs US$1 = Rp.11.500,-

No comments:

Post a Comment