Ancaman MEA 2015, Momentum Bangkitnya Gerakan Buruh ASEAN
Selama ini Pemerintah Indonesia memaksakan masyarakat untuk menerima
MEA tanpa memberi kesempatan untuk mempertanyakan secara kritis tentang ‘apa
itu MEA’.
Indonesia akan segera menyongsong
kehadiran Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) pada Desember 2015. Namun, hingga saat
ini belum banyak masyarakat yang mengetahui apa itu MEA, termasuk dampak bila
MEA dilaksanakan. Selama ini Pemerintah Indonesia memaksakan masyarakat untuk menerima
MEA tanpa diberikan kesempatan untuk mempertanyakan secara kritis tentang MEA.
Pembentukan MEA
Inisiatif pembentukan integrasi
ASEAN sebenarnya telah muncul pada 1997. Saat itu, ASEAN meluncurkan inisiatif
pembentukan integrasi kawasan ASEAN atau komunitas masyarakat ASEAN melalui
ASEAN Vision 2020 saat berlangsungnya ASEAN Second Informal Summit di Kuala
Lumpur, Malaysia. Inisiatif ini kemudian diwujudkan dalam bentuk roadmap jangka panjang yang bernama
Hanoi Plan of Action yang disepakati pada 1998.
Kemudian melalui deklarasi Bali
Concord II pada 2003 di Bali, Komunitas ASEAN 2020 diimplementasikan melalui 3
pilar, yakni ASEAN Security Community, ASEAN Economic Community, dan ASEAN
Socio-Cultural Community. Namun, pada saat ASEAN Summit ke-12 pada 2007, dalam
Cebu Declaration, ASEAN memutuskan untuk mempercepat pembentukan integrasi
kawasan ASEAN menjadi 2015.
Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) hadir untuk
menggantikan ASEAN Free Trade Area
(AFTA) yang telah ada sejak tahun
2003. AFTA disahkan pada saat ASEAN Summit ke IV di Singapura pada Januari 1992 bersama
penandatanganan Deklarasi Singapura dan Perjanjian untuk Meningkatkan Kerjasama
Ekonomi ASEAN (Singapore Declaration and
Agreement for Enhancing ASEAN Economic Cooperation). Kehadiran AFTA juga
telah menjadi pembuka pintu liberalisasi dengan Negara-negara di luar anggota
ASEAN melalui pembentukan ASEAN Bilateral FTA dengan beberapa Negara mitra
seperti China, Jepang, Korea Selatan, Australia, New Zealand, dan India.
Dengan berlakunya ASEAN Bilateral
FTA, maka secara otomatis telah mengikat komitmen Negara-negara anggota ASEAN
untuk juga bermitra secara bilateral. Indonesia telah mengadopsi FTA ke dalam
hukum nasional yang dilanjutkan dengan menandatangani perjanjian perdagangan
secara bilateral antara Indonesia dengan keenam Negara mitra ekonomi ASEAN,
yakni China, Jepang, Korea Selatan, Australia, New Zealand, dan India.
Agenda Liberalisasi Dalam MEA
MEA hadir dengan tema Pasar
Tunggal dan Basis Produksi ASEAN, yang hendak menjadikan Indonesia sebagai
basis pasar dan basis produksi dengan menggantungkan pada melimpahnya jumlah populasi, tenaga kerja
produktif dan murah, serta sumber-sumber kekayaan alam. Pembentukan MEA
mendorong pembukaan pasar bebas yang menghilangkan batas-batas antar Negara melalui
penghapusan tariff bea masuk dan menghapus pembatasan investasi asing hingga 100%
di seluruh sektor ekonomi.
Alasan yang paling mendasar dalam pembentukan MEA 2015 adalah karena
ASEAN merupakan kawasan pasar potensial di dunia. Faktor inilah yang dipercaya akan mendorong
pertumbuhan ekonomi ditengah melandanya krisis ekonomi global. Jumlah populasi ASEAN mencapai kurang lebih hingga 616 juta orang atau 8,6% dari total penduduk dunia. Angka ini
melebihi populasi di Uni Eropa yang hanya sebesar 506 juta orang dan dua kali
lipat penduduk di Amerika Serikat[2].
Tingginya jumlah populasi ASEAN juga didukung dengan
pertumbuhan penduduk berusia produktif yang mencapai hingga 50,8%[3].
Indonesia merupakan negara yang memiliki jumlah populasi tertinggi diantara
Negara-negara ASEAN lainnya. Pada
2020 diprediksi terjadi peningkatan jumlah usia
produktif (15-24 tahun) sebanyak
50-60% dari penduduk
Indonesia. Namun sebaliknya, terjadi penurunan jumlah
usia produktif di negara maju
khususnya Eropa, Amerika Utara, Asia Timur dan Australia[4].
Keunggulan demografi inilah yang
akhirnya menjadi nilai tambah bagi terbentuknya basis produksi di ASEAN,
khususnya Indonesia. Ketersediaan
tenaga kerja produktif yang juga berpotensi sebagai pasar menjadi magnet bagi
masuknya arus investasi di Indonesia. Bersatunya antara pasar dengan
ketersediaan tenaga kerja produktif mampu menciptakan efesiensi produksi,
ditambah bonus kekayaan alam di kawasan ASEAN yang menjadi sumber bahan baku.
Jaring produksi industri dari hulu hingga hilir akan semakin mudah dan berbiaya
rendah. Itulah mengapa Pasar Tunggal & Basis
Produksi menjadi tema utama dalam MEA 2015.
Untuk itu, kunci pelaksanaan MEA terletak pada elemen utamanya, yakni liberalisasi. Beberapa hal
yang diliberalisasi yaitu, (1) liberalisasi perdagangan barang, (2)
liberalisasi jasa, (3) liberalisasi
investasi dan (4) liberalisasi tenaga kerja. Liberalisasi
sector barang, jasa, dan investasi akan semakin mempermudah
pergerakan/perpindahan barang dan modal, serta mengefisiensikan proses dan
biaya produksi.
Liberalisasi
sektor barang akan menghapus tarif bea masuk untuk seluruh jenis barang
sehingga memudahkan masuknya barang impor baik berupa impor bahan baku maupun
impor konsumsi. Liberalisasi jasa akan mendorong pendominasian industri jasa
asing, seperti sektor keuangan, kesehatan, konstruksi, teknologi informasi,
dll. Sektor-sektor jasa tersebut merupakan kegiatan penunjang proses produksi. Liberalisasi
investasi dilakukan untuk memudahkan pergerakan modal asing yang dimungkinkan
kepemilikannya hingga 100%. Liberalisasi tenaga kerja akan mendorong terjadinya
pergerakan tenaga kerja asing yang memiliki keahlian khusus.
Liberalisasi Tenaga Kerja ASEAN
Pembentukan
basis produksi ASEAN akan mendorong kebutuhan pasar tenaga kerja yang sangat
besar. Industrialisasi akan menjadi strategi utama yang semakin memperkuat
peran korporasi multinasional. Berbagai kebijakan tenaga kerja Indonesia akan
didorong untuk dapat memenuhi kepentingan industri seperti penciptaan tenaga
kerja yang berdaya saing tinggi dan mampu meningkatkan produktifitas industri.
Dalam perjanjian
perdagangan jasa ASEAN disebutkan bahwa liberalisasi tenaga kerja akan
dilakukan terhadap tenaga kerja yang berskill tinggi. Liberalisasi tenaga kerja
ASEAN akan dilakukan melalui standarisasi keahlian yang dibuktikan dengan
sertifikasi sebagai syarat utama untuk dapat masuk dalam pasar tenaga kerja
ASEAN.
Untuk menuju
pasar tenaga kerja yang berskill tinggi, maka ASEAN menerapkan standarisasi
pendidikan di beberapa sektor. Standarisasi tersebut dituangkan ke dalam Mutual
Recognition Agreement (MRA) atau Perjanjian Pengakuan Bersama atas
standar-standar yang harus dipenuhi suatu keahlian yang harus dimiliki oleh
tenaga kerja. Hingga saat ini ASEAN telah menandatangani MRA di beberapa
profesi seperti konstruksi, dokter gigi, suster dan tenaga kesehatan,
engineering (perteknikan), konsultan keuangan (akuntansi), teknologi informasi,
perbankan dan asuransi. Ke depan MRA akan bertambah sesuai dengan kebutuhan
industri di ASEAN.
Standarisasi dan
sertifikasi tenaga kerja ASEAN telah mendorong sistem pendidikan di Indonesia
dikembangkan ke arah sekolah kejuruan yang diharapkan siswa mendapatkan
keahlian khusus dan dapat berkompetisi di dunia kerja yang dibutuhkan industri.
Sistem pendidikan inilah yang menggambarkan bahwa sekolah merupakan penciptaan
robot pekerja untuk memenuhi kebutuhan industri. Sehingga pendidikan hingga SMK
dianggap sudah cukup tanpa harus melanjutkan ke jenjang perguruan tinggi
terlebih dengan mahalnya biaya kuliah.
Artinya, kedepan
Indonesia hanya akan menciptakan tenaga kerja siap pakai (Pekerja fisik) dibandingkan
dengan menciptakan sumber daya manusia yang mampu menelurkan inovasi baru dalam
ilmu pengetahuan (pekerja otak). Hal ini bisa dilihat dari data BPS tentang
angka partisipasi pada pendidikan tinggi hanya sebesar 17,92% dimana angka ini
berbanding jauh dengan angka partisipasi pendidikan SMA/SMK yang menyentuh
hingga 53,74% (Lihat Tabel 1). Selain itu, tenaga kerja
bersertifikasi kedepannya akan menggeser keberadaan tenaga kerja manufaktur
Indonesia yang mayoritas berpendidikan rendah. Sehingga kedepan MEA berpotensi
mendorong terjadinya Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) besar-besaran untuk
mengganti tenaga kerja yang dianggap memiliki skill tinggi.
Tabel 1 - Angka Partisipasi Pendidikan 2009-2013

Sumber: BPS,
Indikator Pendidikan (diolah).
Tabel 2 – Angkatan Kerja Berdasarkan Pendidikan

Sumber: BPS,
2013 (diolah).
Dari hasil
survey yang dilakukan oleh International Labour Organization (ILO) pada 2013
memperlihatkan bahwa sebesar 57% industri di kawasan ASEAN lebih memilih tenaga
kerja yang berlatarbelakang pendidikan SMA/K dan universitas. Jika dilihat dari
rata-rata upah terendah, Indonesia berada pada level yang paling terendah yakni
hanya sebesar US$ 74 (atau setara Rp.851.000[5]). nilai rata-rata upah
terendah ini kalah jauh dibandingkan dengan Kamboja, Laos, dan Filipina yang
sudah berada pada nilai berturut-turut: US$ 100, US$ 74, dan US$ 120 (Lihat Grafik 1 & 2). Artinya
kualitas buruh Indonesia berada pada level terendah dibandingkan negara-negara
ASEAN lainnya.
Grafik 1
– Survey Industri Terhadap Permintaan Pasar Tenaga Kerja Berdasarkan Pendidikan

Sumber: Laporan
ILO, 2014 (diolah).
Grafik 2 – Upah Di Beberapa Negara ASEAN 2014

Sumber: Laporan
ILO, 2014.
Persoalan
pendidikan di Indonesia akan sangat berpengaruh terhadap daya saing tenaga
kerja Indonesia ketika liberalisasi tenaga kerja ASEAN berjalan pada 2015. Mahalnya biaya pendidikan memberikan pengaruh
cukup besar terhadap akses masyarakat atas pendidikan di Indonesia. Sehingga,
ketika hilang akses masyarakat terhadap pendidikan maka penciptaan tenaga kerja
berskill tinggi akan semakin berkurang. Sehingga berpotensi meningkatkan angka
pengangguran dan kemiskinan di Indonesia akibat rendahnya daya saing tenaga
kerja Indonesia.
Pemerintah saat
ini juga sedang menggalakkan Balai Latihan Kerja (BLK). Namun persoalan di BLK
tak jauh lebih besar dari persoalan pendidikan. BLK justru menambah persoalan
tenaga kerja di Indonesia. Kualitas BLK hingga saat ini masih dipertanyakan.
Bahkan BLK kemudian beralih fungsi menjadi perusahaan penyalur tenaga kerja
(outsorce). Belum lagi persyaratan biaya untuk dapat menikmati proses
pendidikan di BLK juga menjadi hambatan bagi buruh yang ingin mendapatkan pendidikan
keahlian di BLK.
Persoalan lain
yang juga akan muncul atas dampak dari pelaksanaan MEA 2015 adalah terkait
dengan politik upah murah. Pembentukan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) dalam skema
konektivitas ASEAN tidak lebih mensyaratkan kebijakan iklim investasi yang kondusif.
Hal ini berujung pada penciptaan kepastian hukum terkait dengan peraturan
ketenagakerjaan di Indonesia, khususnya tentang upah, kebebasan berorganisasi,
dan sistem outsourching. Sebagaimana hukum kapitalisme, maka penanaman modal akan
bergantung pada kebijakan upah murah yang diterapkan oleh Pemerintah. Rencana
revisi UU ketenagakerjaan juga tidak lepas dari kepentingan MEA. Misalnya saja
ada beberapa materi revisi yakni terkait isu sistem kerja kontrak dan outsource
serta mekanisme dan besaran pesangon.
Agenda Gerakan Buruh Kedepan
Ditengah
pasang-surut peran gerakan buruh hari ini, kesolidan dalam memperjuangkan isu
masih dipertanyakan. Terpecahnya gerakan buruh pada diaspora politik hari ini
semakin mempersulit perjuangan buruh dalam menghadapi skema liberalisasi yang
semakin massif. Belum lagi fokus perjuangan ekonomi yang menghabiskan energi
internal organisasi semakin melemahkan kekuatan gerakan buruh. Sudah seharusnya
strategi perjuangan buruh mulai diformulasikan kembali, khususnya dalam gerak
modal hari ini yang lintas negara.
Gerak modal yang
semakin tidak mengenal batas negara akan membutuhkan pembangunan gerakan
perjuangan buruh lintas negara. Kesamaan nasib diantara kaum buruh harus mampu
mendorong perjuangan kelas, sehingga tidak terbatas dengan menyuarakan
penolakan terhadap pelaksanaan MEA 2015. Tetapi penolakan terhadap agenda
liberalisasi yang berdampak ke semua sektor politik, ekonomi, sosial, dan
budaya.
Penolakan
terhadap MEA 2015 dapat dijadikan titik awal konsolidasi gerakan buruh dalam
menyusun kekuatan perjuangan kelas buruh di kawasan ASEAN. Momentum ini harus
digunakan sebelum pada akhirnya menuju pada gerakan perjuangan kelas buruh
internasionale**.
[1]
Penulis adalah Anggota PPI
Jakarta, Juga bekerja di Indonesia for Global Justice
[2] ILO Report 2014, “AEC
2015: Managing Integration for Better Jobs and Shared Prosperity”.
[3] ASEAN Statistical Yearbook 2013.
[4] Pusat Data Indonesia for Global Justice (IGJ)
2014, diolah dari Kementerian Perindustrian.
[5] Kurs US$1 = Rp.11.500,-
No comments:
Post a Comment