Pasar
Bebas ASEAN:
“Regionalisme
Rantai Pasokan Dan Dampaknya Terhadap Buruh[i]”
Oleh: Rachmi Hertanti
Integrasi
ekonomi ASEAN hendak mendorong agenda liberalisasi seluas-luasnya di kawasan.
Agenda integrasi ini didesak oleh perkembangan rantai pasok (supply chain)
industri yang ada di level global atau disebut juga dengan Global Supply Chains
(GSCs).
Hal ini karena GSCs
didorong oleh kepentingan perusahaan transnasional (Transnational
Corporation/TNCs) yang memiliki sistem produksi lintas batas negara. GSCs dilaksanakan dengan
penyebaran dan pembagian kerja dalam sebuah proses produksi dengan cara
mengalihdayakan (outsource)
produksinya kepada perusahaan manufaktur lainnya[ii].
Pada
dasarnya, GSCs
bukanlah sesuatu yang baru bagi perkembangan industri di kawasan Asia, khususnya Negara anggota ASEAN.
Praktek ini telah dimulai sejak tahun 1970an
oleh Jepang yang memindahkan produksinya ke
negara Asia lainnya seperti Indonesia, Thailand, China,
dan Korea. Alasan pemindahan ini ke negara-negara di Asia
adalah untuk menekan biaya produksi dengan mendekatkannya pada pasar dan tenaga
kerja murah.
Praktek
investasi Jepang ini akhirnya merubah bentuk
model perdagangan dan produksi negara-negara di Asia yang tadinya hanya sebagai pemasok sumber daya alam
untuk bahan baku industri menjadi Negara-negara pengeskpor barang-barang
industri. Dari hal inilah yang kemudian menyebabkan terjadinya pembagian kerja
(the division of labour), yakni antara kegiatan
intensif-inovasi (negara industri) dengan kegiatan intensif-produksi (negara
berkembang).
Dalam studi tentang Rantai pasokan global, Bonnie Setiawan (2012) melihat bahwa perubahan pembagian kerja ini kemudian mendorong munculnya regionalisasi. Sebagai contoh Investasi Jepang di ASEAN. Jepang merupakan negara yang memiliki nilai investasi paling tinggi di ASEAN, mengalahkan negara-negara Eropa dan Amerika (Lihat Tabel 1), dan mendominasi di industri elektronik dan outomotif.
Tabel 1-
10 Investor Terbesar Di ASEAN 2012-2013
Sumber: ASEAN Investment Report 2013-2014
Besarnya
pengaruh industri manufaktur Jepang dalam sektor automotif dan elektronik di
ASEAN kemudian membentuk jaring produksi regional dikawasan tersebut. Hal ini
ditunjukan dengan dominasi nilai perdagangan kedua sektor ini dalam
intra-kawasan (lihat Tabel 2).
Tabel 2 Dominasi Segmen Perdagangan
Intra-ASEAN 2011
Sumber:
Pusat Pengelolaan Pengetahuan IGJ (2014) diolah
dari ASEAN Community in Figures 2012.
Sebagaimana
revolusi industri yang terjadi pada abad ke-18 telah merubah cara produksi
kapitalisme, maka perkembangan teknologi pada abad ke 20 dan 21 saat ini juga
menggiring perubahan pada model rantai produksi korporasi. Perkembangan
teknologi informasi yang semakin mempercepat komunikasi, transportasi, dan
memudahkan cara kerja produksi kapitalisme yang semakin menghilangkan
batas-batas negara sehingga proses produksi semakin berbiaya murah.
Pada
sisi inilah Global Supply Chains (GSCs) bekerja Ketika suatu produk tidak lagi
dibuat oleh satu perusahaan secara tunggal, melainkan memecah proses produksi
dari bahan baku hingga ke tangan konsumen (distribusi), maka praktek GVCs akan
sangat bergantung pada infrastruktur yang dibangun, baik dari sisi kebijakan
maupun pembangunan fisik.
Dari
sisi kebijakan, maka GSCs membutuhkan model kebijakan yang mampu menghilangkan
hambatan-hambatan supply chain baik barang, jasa, investasi, maupun tenaga
kerja. Hal inilah yang mendasari pembentukan agenda pasar bebas ASEAN. Untuk
itu penandantangan berbagai perjanjian di ASEAN seperti ATIGA, AFAS, dan ACIA,
hingga MRA untuk tenaga kerja menjadi sangat penting dalam mendukung GSCs yang
dilaksanakan oleh TNCs di kawasan ASEAN (Lihat tabel 3).
BARANG
|
JASA
|
INVESTASI
|
· Mengeliminasi
tariff untuk semua produk, kecuali yang masuk ke dalam kategori produk
sensitive, highly sensitive, general exception, dan negative list;
· Target
waktu pengurangan tariff: Januari 2007 bagi ASEAN-6 dan Januari 2012 bagi
CLMV (Cambodia, Laos, Myanmar, Vietnam).
· Menghapuskan
tindakan hambatan non-tarif.
· Mengadopsi
perjanjian WTO tentang import licensing procedures.
|
· Menetapkan
target dan jadwal untuk melakukan liberalisasi sektor jasa secara progresif
(yang masuk ke dalam moda 1-4).
· Mempercepat
liberalisasi sektor jasa yang masuk ke dalam kategori PIS pada 2010.
· Mempercepat
pembuatan Mutual Recognition Agreement (MRA) – terkait dengan liberalisasi
jasa tenaga kerja. Paling lambat Januari 2008.
|
· Mempercepat
pembukaan akses investasi asing bagi sektor yang saat ini masuk ke dalam
kategori sensitive list dan segera mengubahnya menjadi temporary exclusion
list;
· Mengurangi
tindakan pembatasan investasi untuk sektor yang masuk kategori sensitive list
pada 2004, dan menghapuskan tindakan pembatasan investasi pada sektor yang
masuk dalam temporary exclusion list paling lambat 2010 untuk ASEAN-6, 2013
untuk Vietnam, dan 2015 untuk Kamboja, Laos, dan Myanmar.
· Membentuk
jaringan Free Trade Zones untuk memfasilitasi kegiatan alih daya manufaktur,
serta mempromosikan dan memfasilitasi investasi asing secara berkelanjutan.
|
Sumber:
Pusat data IGJ, 2012.
Selain
kebijakan, keberhasilan GSCs membutuhkan pembangunan infrastruktur yang mampu
menghubungkan seluruh kawasan. Hal ini karena, moda transportasi yang semakin
efisien akan menekan biaya produksi dan distribusi. Agenda MP3EI merupakan
salah satu agenda yang memang sengaja dirancang untuk mendukung pasar bebas
ASEAN sehingga semakin terhubungnya wilayah-wilayah potensi Indonesia dengan
pasar dunia.
Pada
dasarnya, agenda utama yang paling terpenting dari GSCs adalah liberalisasi
sektor jasa dan investasi. Mengapa? Hal ini karena Sektor jasa adalah yang menopang
keberhasilan sektor manufaktur. Terlebih karena cara kerja GSCs yang membagi
proses produksi dan mengalihdayakan pekerjaan menjadikannya proses produksi
utama menjadi sekedar pensuplai (baca: jasa pemasok) produksi.
Liberalisasi Tenaga Kerja Dalam Manajemen Rantai Pasok
Untuk
menjalankan bisnisnya dalam sistem rantai pasok yang semakin terspesialisasi
maka korporasi membutuhkan tenaga kerja yang juga memiliki spesialisasi. Selama
ini, dalam model pembagian kerja, negara berkembang selalu ditempatkan sebagai
wilayah yang melaksanakan proses produksi yang bersifat unskilled labour. Dan
negara industri yang lebih menekankan pada kegiatan yang intensif inovasi
memiliki proses produksi yang bersifat skilled labour.
Dari
hasil survey yang dilakukan oleh International Labour Organization (ILO) pada
2013 memperlihatkan bahwa sebesar 57% industri di kawasan ASEAN lebih memilih
tenaga kerja yang berlatarbelakang pendidikan tinggi dengan skill tertentu
seperti sekolah menengah kejuruan dan universitas (Lihat Grafik 1). Hal ini
karena praktek GSCs di kawasan ASEAN membutuhkan tenaga kerja yang memiliki
spesialisasi tertentu untuk menopang gerak industri di kawasan ASEAN yang
semakin terintegrasi.
Untuk
itu, berdasarkan kesepakatan yang terbentuk dalam AFAS, maka liberalisasi
tenaga kerja di ASEAN akan dilakukan terhadap tenaga kerja yang berskill
(Skilled Labour) dan memenuhi standarisasi keahlian yang dibuktikan dengan
sertifikasi sebagai syarat utama untuk dapat masuk dalam pasar tenaga kerja
ASEAN.
Grafik
1 – Survey Industri Terhadap Permintaan Pasar Tenaga Kerja Berdasarkan
Pendidikan
Sumber: Laporan ILO, 2014 (diolah).
Standarisasi
tersebut dituangkan ke dalam Mutual Recognition Agreement (MRA) atau Perjanjian
Pengakuan Bersama atas standar-standar yang harus dipenuhi suatu keahlian yang
harus dimiliki oleh tenaga kerja. Hingga saat ini ASEAN telah menandatangani
MRA di beberapa profesi seperti dokter gigi, suster dan tenaga kesehatan,
engineering (perteknikan), konsultan keuangan (akuntansi), dan surveyor. Ke
depan MRA akan bertambah sesuai dengan kebutuhan industri di ASEAN seperti
untuk sektor pariwisata.
Jika
melihat beberapa MRA yang ditandatangani nampaknya liberalisasi tenaga kerja
yang berskill ini disesuaikan dengan sektor-sektor strategi yang akan
diintegrasikan di ASEAN, yang memiliki daya saing tinggi. Sektor-sektor
strategis tersebut disebut Priority integration
sector (PIS) dan telah ditetapkan dalam sebuah kerangka kerja The
ASEAN Framework Agreement For The Integration of Priority Sectors.
Sektor-sektor
yang termasuk dalam PIS terdiri dari[iv]: a. Produk berbasis pertanian (Agro based products);
b. Perjalanan udara (Air Travel);
c. Otomotif (Automotives);
d. e-ASEAN; e. Produk Elektonik (Electronic); f. Perikanan (Fisheries); g. Perawatan kesehatan (Healthcare);
h. Produk berbasis karet (Rubber-based products);
i. Tekstil dan pakaian (Textile and apparels);
j. Pariwisata (Tourism); k. Produk berbasis kayu (Wood based products);
l. Logistis (Logistic).[v]
Pasar
tenaga kerja di ASEAN akan ditentukan berdasarkan kebutuhan industri sesuai
dengan spesialisasi yang dimiliki. Dan masing-masing negara ASEAN dikenal memiliki
tenaga kerja dengan keahlian tertentu, misalnya saja beberapa negara yang
mayoritas dari sektor tenaga kerjanya telah melakukan spesialisasi tertentu,
yakni seperti India yang menjadi sasaran perusahaan-perusahaan IT, atau Taiwan
dan Malaysia untuk perusahaan elektronik, atau Singapura untuk perusahaan
bisnis yang membutuhkan tenaga profesional, atau Indonesia yang dikenal sebagai
pemasok tenaga perawat cukup baik di kawasan ASEAN. (Lihat Tabel 4)
Tabel 4 Prioritas Pembangunan
Di Kawasan ASEAN
Sumber: ADB Report 2013
Oleh
karena itu, liberalisasi tenaga kerja ASEAN sangat dibutuhkan untuk menopang
model rantai produksi, dimana yang sebelumnya korporasi kesulitan untuk mencari
tenaga kerja yang sesuai dengan keahlian yang dibutuhkannya disebuah negara,
namun dengan arus bebas tenaga kerja korporasi akan dengan mudah mendatangkan
tenaga kerja dari negara lain yang memiliki keahlian yang dibutuhkannya.
Persoalan
pun timbul. Dengan kebebasan pasar tenaga kerja, maka Indonesia akan berpotensi
meningkatkan angka pengangguran dan kemiskinan karena hilangnya peran negara
untuk memastikan penyerapan tenaga kerja Indonesia. Data BPS menyebutkan, tenaga
kerja Indonesia lebih banyak didominasi oleh mereka yang berlatarbelakang
pendidikan belum tamat SD atau SD dan SMP yang menyentuh hingga angka 77,8 Juta
orang. Jumlah angkatan kerja Indonesia yang berlatar belakang SMA dan
pendidikan tinggi hanya sebanyak 40,2 juta orang (Lihat Tabel 4).
Kompetisi
tenaga kerja di ASEAN semakin ketat. Hal ini karena ada perbedaan skill dan
kualitas pendidikan yang diterapkan di masing-masing negara. Penelitian yang
dilakukan oleh ADB dan ILO menyatakan bahwa tenaga kerja Indonesia paling
banyak yang memiliki skill dibawah kualifikasi standar yaitu sebesar 63% atau
setara dengan 13,3 juta orang.
Mengikuti
sistem GSCs yang bersifat flexibel, maka tenaga kerja pun bersifat fleksibel.
Dia tidak lagi bersifat permanen. Artinya, kedepan tenaga kerja permanen secara
perlahan akan dihilangkan dan digantikan dengan tenaga kerja berskill non-permanen.
PHK besar-besaran akan dilakukan guna menggantinya dengan tenaga kerja yang
non-permanen.
Tabel 4 – Angkatan Kerja Berdasarkan Pendidikan
Sumber: BPS, 2013 (diolah).
Grafik 2 Jumlah Tenaga Kerja ASEAN Dengan Skill Di Bawah
Kualifikasi Standar
Sumber:
ADB Report 2013
Standarisasi Upah ASEAN
Arus
bebas tenaga kerja juga memberikan dampak sensitif terhadap persoalan upah. Perbedaan
upah di negara-negara ASEAN cukup relatif (Lihat Grafik 3), dan dianggap
sebagai competitive advantage bagi korporasi. Kehadiran tenaga kerja asing di
suatu negara memberikan satu ancaman bagi perbedaan upah yang begitu mencolok
terhadap upah tenaga kerja lokal. Bahkan, bagi korporasi akan menjadi persoalan
ketika tenaga kerja berskill yang dibutuhkan tidak mau pindah karena upah di
negara tersebut lebih rendah dari upah dinegaranya.
Laporan
ADB dan ILO pada tahun 2013 mengeluarkan rekomendasi terhadap masalah ini.
Dalam pelaksanaan arus bebas tenaga kerja di ASEAN, penetapan upah minimum di
masing-masing negara menjadi sangat penting. Sehingga institusi yang berwenang
untuk itu wajib dibentuk. Di Indonesia sudah ada Dewan Pengupahan walaupun
tetap menimbulkan kontroversi dalam praktek penetapannya. Tetapi institusi ini
menjadi contoh yang cukup relevan untuk menjawab persoalan upah minimum dalam
rangka AEC.
Pentingnya
dewan upah nasional ditunjukan oleh Vietnam pada 2013 membentuk Dewan Upah
Nasional untuk mempertemukan Perusahaan dan Buruh untuk melakukan negosiasi
upah. Begitu juga dengan Malaysia dalam kali pertama pada 2013 mengeluarkan
kebijakan tentang Upah minimum dan membentuk dewan upah nasional. Myanmar juga
melakukan hal yang sama dengan membentuk Lembaga Tripartit nasional[vi].
Melihat
situasi ini, maka pelaksanaan arus bebas tenaga kerja dalam MEA nanti akan
mendorong terbentuknya standar upah di ASEAN baik batas bawah maupun batas
atas. Namun, negara masih diberikan kewenangan untuk menentukan upah minimum
sesuai dengan standar upah ASEAN. Persoalannya, selama ini mekanisme penetapan
upah di Indonesia dengan pembentukan dewan pengupahan juga masih menyisakan
persoalan, dari permasalahan definisi upah layak, komponen upah hingga kenaikan
upah tiap tahun yang selalu berada dibawah kategori layak. Sehingga, apakah
mekanisme ini akan tetap dipertahankan?
Grafik 3 – Upah Di Beberapa Negara ASEAN 2014
Sumber: Laporan ILO, 2014.
[i] Tulisan ini sebagian diambil dari Riset IGJ tentang Liberalisasi
Pangan ASEAN (Rachmi Hertanti dkk., 2014), untuk Workshop FPBN di Surabaya,
17-18 Jan’15
[ii] ASEAN Investment Report 2012-2013.
[iii] Pasal 4,5, dan 6 Framework the ASEAN Framework Agreement for the Integration of Priority Sectors
[iv] Article 2 Paragraph 1.a. The ASEAN Framework Agreement For The
Integration of Priority Sectors.
[v] Annex XII The ASEAN Framework Agreement for The Integration of
Priority Sectors. (Untuk sektor ini ditambahkan pada tahun 2006)
[vi] ADB and ILO Reports 2014: ASEAN Community 2015: Managing Integration
for Better Jobs and Shared Prosperity.
No comments:
Post a Comment