2/16/15

Pasar Bebas ASEAN: “Regionalisme Rantai Pasokan Dan Dampaknya Terhadap Buruh ”

Pasar Bebas ASEAN:
“Regionalisme Rantai Pasokan Dan Dampaknya Terhadap Buruh[i]
Oleh: Rachmi Hertanti

Integrasi ekonomi ASEAN hendak mendorong agenda liberalisasi seluas-luasnya di kawasan. Agenda integrasi ini didesak oleh perkembangan rantai pasok (supply chain) industri yang ada di level global atau disebut juga dengan Global Supply Chains  (GSCs). Hal ini karena GSCs didorong oleh kepentingan perusahaan transnasional (Transnational Corporation/TNCs) yang memiliki sistem produksi lintas batas negara. GSCs dilaksanakan dengan penyebaran dan pembagian kerja dalam sebuah proses produksi dengan cara mengalihdayakan (outsource) produksinya kepada perusahaan manufaktur lainnya[ii].
Pada dasarnya, GSCs bukanlah sesuatu yang baru bagi perkembangan industri di kawasan Asia, khususnya Negara anggota ASEAN. Praktek ini telah dimulai sejak tahun 1970an oleh Jepang yang memindahkan produksinya ke negara Asia lainnya seperti Indonesia, Thailand, China, dan Korea. Alasan pemindahan ini ke negara-negara di Asia adalah untuk menekan biaya produksi dengan mendekatkannya pada pasar dan tenaga kerja murah.
 Praktek investasi Jepang ini akhirnya merubah bentuk model perdagangan dan produksi negara-negara di Asia yang tadinya hanya sebagai pemasok sumber daya alam untuk bahan baku industri menjadi Negara-negara pengeskpor barang-barang industri. Dari hal inilah yang kemudian menyebabkan terjadinya pembagian kerja (the division of labour), yakni antara kegiatan intensif-inovasi (negara industri) dengan kegiatan intensif-produksi (negara berkembang).

Dalam studi tentang Rantai pasokan global, Bonnie Setiawan (2012) melihat bahwa perubahan pembagian kerja ini kemudian mendorong munculnya regionalisasi. Sebagai contoh Investasi Jepang di ASEAN. Jepang merupakan negara yang memiliki nilai investasi paling tinggi di ASEAN, mengalahkan negara-negara Eropa dan Amerika (Lihat Tabel 1), dan mendominasi di industri elektronik dan outomotif.

Tabel 1- 10 Investor Terbesar Di ASEAN 2012-2013

















Sumber: ASEAN Investment Report 2013-2014

Besarnya pengaruh industri manufaktur Jepang dalam sektor automotif dan elektronik di ASEAN kemudian membentuk jaring produksi regional dikawasan tersebut. Hal ini ditunjukan dengan dominasi nilai perdagangan kedua sektor ini dalam intra-kawasan (lihat Tabel 2).

Tabel 2 Dominasi Segmen Perdagangan Intra-ASEAN 2011











Sumber: Pusat Pengelolaan Pengetahuan IGJ (2014) diolah dari ASEAN Community in Figures 2012.

Sebagaimana revolusi industri yang terjadi pada abad ke-18 telah merubah cara produksi kapitalisme, maka perkembangan teknologi pada abad ke 20 dan 21 saat ini juga menggiring perubahan pada model rantai produksi korporasi. Perkembangan teknologi informasi yang semakin mempercepat komunikasi, transportasi, dan memudahkan cara kerja produksi kapitalisme yang semakin menghilangkan batas-batas negara sehingga proses produksi semakin berbiaya murah.
Pada sisi inilah Global Supply Chains (GSCs) bekerja Ketika suatu produk tidak lagi dibuat oleh satu perusahaan secara tunggal, melainkan memecah proses produksi dari bahan baku hingga ke tangan konsumen (distribusi), maka praktek GVCs akan sangat bergantung pada infrastruktur yang dibangun, baik dari sisi kebijakan maupun pembangunan fisik.
Dari sisi kebijakan, maka GSCs membutuhkan model kebijakan yang mampu menghilangkan hambatan-hambatan supply chain baik barang, jasa, investasi, maupun tenaga kerja. Hal inilah yang mendasari pembentukan agenda pasar bebas ASEAN. Untuk itu penandantangan berbagai perjanjian di ASEAN seperti ATIGA, AFAS, dan ACIA, hingga MRA untuk tenaga kerja menjadi sangat penting dalam mendukung GSCs yang dilaksanakan oleh TNCs di kawasan ASEAN (Lihat tabel 3).

Tabel 3 Liberalisasi Barang, Jasa, dan Investasi Dalam Priority Integration Sectors[iii]
BARANG
JASA
INVESTASI
·       Mengeliminasi tariff untuk semua produk, kecuali yang masuk ke dalam kategori produk sensitive, highly sensitive, general exception, dan negative list;
·       Target waktu pengurangan tariff: Januari 2007 bagi ASEAN-6 dan Januari 2012 bagi CLMV (Cambodia, Laos, Myanmar, Vietnam).
·       Menghapuskan tindakan hambatan non-tarif.
·       Mengadopsi perjanjian WTO tentang import licensing procedures.
·     Menetapkan target dan jadwal untuk melakukan liberalisasi sektor jasa secara progresif (yang masuk ke dalam moda 1-4).
·     Mempercepat liberalisasi sektor jasa yang masuk ke dalam kategori PIS pada 2010.
·     Mempercepat pembuatan Mutual Recognition Agreement (MRA) – terkait dengan liberalisasi jasa tenaga kerja. Paling lambat Januari 2008.
·      Mempercepat pembukaan akses investasi asing bagi sektor yang saat ini masuk ke dalam kategori sensitive list dan segera mengubahnya menjadi temporary exclusion list;
·      Mengurangi tindakan pembatasan investasi untuk sektor yang masuk kategori sensitive list pada 2004, dan menghapuskan tindakan pembatasan investasi pada sektor yang masuk dalam temporary exclusion list paling lambat 2010 untuk ASEAN-6, 2013 untuk Vietnam, dan 2015 untuk Kamboja, Laos, dan Myanmar.
·      Membentuk jaringan Free Trade Zones untuk memfasilitasi kegiatan alih daya manufaktur, serta mempromosikan dan memfasilitasi investasi asing secara berkelanjutan.
Sumber: Pusat data IGJ, 2012.

Selain kebijakan, keberhasilan GSCs membutuhkan pembangunan infrastruktur yang mampu menghubungkan seluruh kawasan. Hal ini karena, moda transportasi yang semakin efisien akan menekan biaya produksi dan distribusi. Agenda MP3EI merupakan salah satu agenda yang memang sengaja dirancang untuk mendukung pasar bebas ASEAN sehingga semakin terhubungnya wilayah-wilayah potensi Indonesia dengan pasar dunia.
Pada dasarnya, agenda utama yang paling terpenting dari GSCs adalah liberalisasi sektor jasa dan investasi. Mengapa? Hal ini karena Sektor jasa adalah yang menopang keberhasilan sektor manufaktur. Terlebih karena cara kerja GSCs yang membagi proses produksi dan mengalihdayakan pekerjaan menjadikannya proses produksi utama menjadi sekedar pensuplai (baca: jasa pemasok) produksi.

Liberalisasi Tenaga Kerja Dalam Manajemen Rantai Pasok

Untuk menjalankan bisnisnya dalam sistem rantai pasok yang semakin terspesialisasi maka korporasi membutuhkan tenaga kerja yang juga memiliki spesialisasi. Selama ini, dalam model pembagian kerja, negara berkembang selalu ditempatkan sebagai wilayah yang melaksanakan proses produksi yang bersifat unskilled labour. Dan negara industri yang lebih menekankan pada kegiatan yang intensif inovasi memiliki proses produksi yang bersifat skilled labour.
Dari hasil survey yang dilakukan oleh International Labour Organization (ILO) pada 2013 memperlihatkan bahwa sebesar 57% industri di kawasan ASEAN lebih memilih tenaga kerja yang berlatarbelakang pendidikan tinggi dengan skill tertentu seperti sekolah menengah kejuruan dan universitas (Lihat Grafik 1). Hal ini karena praktek GSCs di kawasan ASEAN membutuhkan tenaga kerja yang memiliki spesialisasi tertentu untuk menopang gerak industri di kawasan ASEAN yang semakin terintegrasi.
Untuk itu, berdasarkan kesepakatan yang terbentuk dalam AFAS, maka liberalisasi tenaga kerja di ASEAN akan dilakukan terhadap tenaga kerja yang berskill (Skilled Labour) dan memenuhi standarisasi keahlian yang dibuktikan dengan sertifikasi sebagai syarat utama untuk dapat masuk dalam pasar tenaga kerja ASEAN.

Grafik 1 – Survey Industri Terhadap Permintaan Pasar Tenaga Kerja Berdasarkan Pendidikan













Sumber: Laporan ILO, 2014 (diolah).

Standarisasi tersebut dituangkan ke dalam Mutual Recognition Agreement (MRA) atau Perjanjian Pengakuan Bersama atas standar-standar yang harus dipenuhi suatu keahlian yang harus dimiliki oleh tenaga kerja. Hingga saat ini ASEAN telah menandatangani MRA di beberapa profesi seperti dokter gigi, suster dan tenaga kesehatan, engineering (perteknikan), konsultan keuangan (akuntansi), dan surveyor. Ke depan MRA akan bertambah sesuai dengan kebutuhan industri di ASEAN seperti untuk sektor pariwisata.
Jika melihat beberapa MRA yang ditandatangani nampaknya liberalisasi tenaga kerja yang berskill ini disesuaikan dengan sektor-sektor strategi yang akan diintegrasikan di ASEAN, yang memiliki daya saing tinggi. Sektor-sektor strategis tersebut disebut Priority integration sector (PIS) dan telah ditetapkan dalam sebuah kerangka kerja The ASEAN Framework Agreement For The Integration of Priority Sectors.
Sektor-sektor yang termasuk dalam PIS terdiri dari[iv]: a. Produk berbasis pertanian (Agro based products); b. Perjalanan udara (Air Travel); c. Otomotif (Automotives); d. e-ASEAN; e. Produk Elektonik (Electronic); f. Perikanan (Fisheries); g. Perawatan kesehatan (Healthcare); h. Produk berbasis karet (Rubber-based products); i. Tekstil dan pakaian (Textile and apparels); j. Pariwisata (Tourism); k. Produk berbasis kayu (Wood based products); l. Logistis (Logistic).[v]
Pasar tenaga kerja di ASEAN akan ditentukan berdasarkan kebutuhan industri sesuai dengan spesialisasi yang dimiliki. Dan masing-masing negara ASEAN dikenal memiliki tenaga kerja dengan keahlian tertentu, misalnya saja beberapa negara yang mayoritas dari sektor tenaga kerjanya telah melakukan spesialisasi tertentu, yakni seperti India yang menjadi sasaran perusahaan-perusahaan IT, atau Taiwan dan Malaysia untuk perusahaan elektronik, atau Singapura untuk perusahaan bisnis yang membutuhkan tenaga profesional, atau Indonesia yang dikenal sebagai pemasok tenaga perawat cukup baik di kawasan ASEAN. (Lihat Tabel 4)

Tabel 4 Prioritas Pembangunan Di Kawasan ASEAN













Sumber: ADB Report 2013

Oleh karena itu, liberalisasi tenaga kerja ASEAN sangat dibutuhkan untuk menopang model rantai produksi, dimana yang sebelumnya korporasi kesulitan untuk mencari tenaga kerja yang sesuai dengan keahlian yang dibutuhkannya disebuah negara, namun dengan arus bebas tenaga kerja korporasi akan dengan mudah mendatangkan tenaga kerja dari negara lain yang memiliki keahlian yang dibutuhkannya.
Persoalan pun timbul. Dengan kebebasan pasar tenaga kerja, maka Indonesia akan berpotensi meningkatkan angka pengangguran dan kemiskinan karena hilangnya peran negara untuk memastikan penyerapan tenaga kerja Indonesia. Data BPS menyebutkan, tenaga kerja Indonesia lebih banyak didominasi oleh mereka yang berlatarbelakang pendidikan belum tamat SD atau SD dan SMP yang menyentuh hingga angka 77,8 Juta orang. Jumlah angkatan kerja Indonesia yang berlatar belakang SMA dan pendidikan tinggi hanya sebanyak 40,2 juta orang (Lihat Tabel 4).
Kompetisi tenaga kerja di ASEAN semakin ketat. Hal ini karena ada perbedaan skill dan kualitas pendidikan yang diterapkan di masing-masing negara. Penelitian yang dilakukan oleh ADB dan ILO menyatakan bahwa tenaga kerja Indonesia paling banyak yang memiliki skill dibawah kualifikasi standar yaitu sebesar 63% atau setara dengan 13,3 juta orang.
Mengikuti sistem GSCs yang bersifat flexibel, maka tenaga kerja pun bersifat fleksibel. Dia tidak lagi bersifat permanen. Artinya, kedepan tenaga kerja permanen secara perlahan akan dihilangkan dan digantikan dengan tenaga kerja berskill non-permanen. PHK besar-besaran akan dilakukan guna menggantinya dengan tenaga kerja yang non-permanen.

Tabel 4 – Angkatan Kerja Berdasarkan Pendidikan












Sumber: BPS, 2013 (diolah).

Grafik 2 Jumlah Tenaga Kerja ASEAN Dengan Skill Di Bawah Kualifikasi Standar












Sumber: ADB Report 2013

Standarisasi Upah ASEAN

Arus bebas tenaga kerja juga memberikan dampak sensitif terhadap persoalan upah. Perbedaan upah di negara-negara ASEAN cukup relatif (Lihat Grafik 3), dan dianggap sebagai competitive advantage bagi korporasi. Kehadiran tenaga kerja asing di suatu negara memberikan satu ancaman bagi perbedaan upah yang begitu mencolok terhadap upah tenaga kerja lokal. Bahkan, bagi korporasi akan menjadi persoalan ketika tenaga kerja berskill yang dibutuhkan tidak mau pindah karena upah di negara tersebut lebih rendah dari upah dinegaranya.
Laporan ADB dan ILO pada tahun 2013 mengeluarkan rekomendasi terhadap masalah ini. Dalam pelaksanaan arus bebas tenaga kerja di ASEAN, penetapan upah minimum di masing-masing negara menjadi sangat penting. Sehingga institusi yang berwenang untuk itu wajib dibentuk. Di Indonesia sudah ada Dewan Pengupahan walaupun tetap menimbulkan kontroversi dalam praktek penetapannya. Tetapi institusi ini menjadi contoh yang cukup relevan untuk menjawab persoalan upah minimum dalam rangka AEC.
Pentingnya dewan upah nasional ditunjukan oleh Vietnam pada 2013 membentuk Dewan Upah Nasional untuk mempertemukan Perusahaan dan Buruh untuk melakukan negosiasi upah. Begitu juga dengan Malaysia dalam kali pertama pada 2013 mengeluarkan kebijakan tentang Upah minimum dan membentuk dewan upah nasional. Myanmar juga melakukan hal yang sama dengan membentuk Lembaga Tripartit nasional[vi].
Melihat situasi ini, maka pelaksanaan arus bebas tenaga kerja dalam MEA nanti akan mendorong terbentuknya standar upah di ASEAN baik batas bawah maupun batas atas. Namun, negara masih diberikan kewenangan untuk menentukan upah minimum sesuai dengan standar upah ASEAN. Persoalannya, selama ini mekanisme penetapan upah di Indonesia dengan pembentukan dewan pengupahan juga masih menyisakan persoalan, dari permasalahan definisi upah layak, komponen upah hingga kenaikan upah tiap tahun yang selalu berada dibawah kategori layak. Sehingga, apakah mekanisme ini akan tetap dipertahankan?

Grafik 3 – Upah Di Beberapa Negara ASEAN 2014

Sumber: Laporan ILO, 2014.



[i] Tulisan ini sebagian diambil dari Riset IGJ tentang Liberalisasi Pangan ASEAN (Rachmi Hertanti dkk., 2014), untuk Workshop FPBN di Surabaya, 17-18 Jan’15
[ii] ASEAN Investment Report 2012-2013.
[iii] Pasal 4,5, dan 6 Framework the ASEAN Framework Agreement for the Integration of Priority Sectors
[iv] Article 2 Paragraph 1.a. The ASEAN Framework Agreement For The Integration of Priority Sectors.
[v] Annex XII The ASEAN Framework Agreement for The Integration of Priority Sectors. (Untuk sektor ini ditambahkan pada tahun 2006)
[vi] ADB and ILO Reports 2014: ASEAN Community 2015: Managing Integration for Better Jobs and Shared Prosperity.

No comments:

Post a Comment