Diplomasi Poros Maritim: Strategi Memerangi Pencurian Ikan
Oleh: Rachmi Hertanti
Dipublikasikan oleh Jurnal Maritim: http://jurnalmaritim.com/2015/01/diplomasi-poros-maritim-strategi-memerangi-pencurian-ikan/
Komitmen Menteri Susi untuk memerangi pencurian ikan menjadi langkah yang sangat strategis dalam memperkuat sektor perikanan Indonesia untuk menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) 2015. Bahkan, langkah tersebut akan menjadi hal yang sangat penting bagi Indonesia jika ingin menjadi pemain utamanya. Jangan sampai Indonesia yang kaya akan sumber daya ikan hanya menjadi penonton ketika pasar bebas tersebut berlaku. Bahkan, semakin kehilangan kedaulatannya karena tidak mampu menghentikan tindak pencurian ikan yang dilakukan negara lain di kawasan laut Indonesia dan menimbulkan kerugian sangat besar bagi perekonomian Indonesia.
Kementerian Kelautan dan Perikanan (2012) menyebutkan Pencurian ikan yang terjadi selama ini di perairan Indonesia telah mengakibatkan susut hasil hingga sebesar 48% dari total produksi perikanan tangkap Indonesia. Dan ini menyebabkan perdagangan hasil ikan Indonesia jauh tertinggal dengan beberapa negara ASEAN lainnya seperti Thailand dan Vietnam sebagai negara yang memiliki share perdagangan terbesar ketiga dan keempat di dunia. Indonesia hanya menempati posisi ketujuh. Padahal, Indonesia merupakan produsen ikan terbesar kedua di dunia setelah China dengan total produksi sebesar 5,3 juta ton untuk perikanan tangkap dan 4,7 juta ton untuk perikanan budidaya, jauh diatas Thailand dan Vietnam.
Apalagi Dalam kurun 20 tahun terakhir telah terjadi kontinuitas kejahatan perikanan di laut Indonesia secara konsisten oleh 10 negara, yakni enam merupakan anggota ASEAN yakni Thailand, Filipina, Vietnam, Malaysia, Kamboja, Myanmar dan empat: Tiongkok, Korea, Taiwan, dan Panama. Modusnya seperti penggandaan izin, penggunaan bendera Indonesia, nama kapal berbahasa Indonesia, mempekerjakan ABK asal Indonesia, dan bekerja sama dengan oknum aparat hukum Indonesia.
Pencurian Ikan Sebagai Kejahatan Serius
Banyak pekerjaan rumah yang harus dilakukan oleh Menteri Susi. Tentu saja, tidak cukup hanya dengan melakukan penenggelaman kapal asing yang mencuri ikan dan menghukum ABK-nya. Hal ini karena pencurian ikan melibatkan banyak pemain besar atau mafia pencuri ikan dengan aparat. Pengamatan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) disebutkan adanya indikasi ‘permainan’ antara aparat dengan mafia internasional (Tribun, 24/12/14) yang nota bene adalah pemilik kapal atau pemilik perusahaan yang berada di luar wilayah Indonesia. Bahkan cenderung sangat terorganisir dan rapi atau disebut dengan Transnational Organized Crimes.
Dalam UN Convention on Transnational Organized Crimes disebutkan suatu kejahatan dianggap sebagai suatu tindak pidana transnasional karena dilakuan di lebih dari satu wilayah negara, terorganisir, dan mengancam kedaulatan suatu negara. Namun, dalam konvesi tersebut baru 5 bentuk kejahatan yang dikategorikan sebagai tindak pidana transnational, yakni korupsi, pencucian uang, perdagangan orang khususnya perempuan dan anak, penyelundupan kelompok migran, dan perdagangan senjata api ilegal.
Oleh karena itu, komitmen Menteri Susi dalam memerangi pencurian ikan harus diperkuat dengan meletakan pencurian ikan sebagai kejahatan serius dan terorganisir lintas negara yang dapat menyentuh pada pemain-pemain besar atau Mafia pencuri ikannya baik yang berada di Indonesia maupun yang berada di luar Indonesia. Penegakan hukumnya harus melampaui batas-batas yuridiksi suatu negara yang mewajibkan negara lain turut serta melakukan penegakan hukum tindak pencurian ikan atau disebut dengan Extraterritorial Obligations.
Pencurian ikan sebagai kejahatan yang sangat serius juga harus dikategorikan sebagai kejahatan luar biasa (Extraordinary Crimes). Sebagaimana disebutkan dalam Statuta Roma, pencurian ikan sebagai kejahatan luar biasa harus dianggap sebagai suatu kejahatan yang melanggar hak asasi manusia atau crimes against humanity.
Hal ini sangat tepat, karena kerugian yang ditimbulkan oleh tindak pencurian ikan telah menghilangkan hak-hak asasi masyarakat Indonesia. Data KNTI 2014 menyebutkan Sekitar 40 hingga 50 persen dari total 3,6 juta ton kapasitas industri pengolahan ikan dalam negeri gagal berproduksi sehingga berdampak terhadap hilangnya penyediaan pekerjaan yang layak untuk masyarakat. Serta hilangnya sumber pendapatan negara yang hanya sekitar Rp300 miliar dari potensi Rp1,3 triliun, yang dapat digunakan untuk meningkatkan kualitas pendidikan dan kesehatan rakyat (KNTI 2014).
Diplomasi Poros Maritim: Menuntut Kewajiban Penegakan Hukum Lintas Negara
Persoalan pencurian ikan yang melampaui batas negara bukan hanya tanggung jawab Indonesia saja untuk memeranginya. Tetapi menjadi kewajiban dan tanggung jawab negara-negara lain yang terlibat untuk juga menegakan hukum bagi pelanggarnya. Sehingga Pemerintah Indonesia harus mendesak negara-negara di dunia untuk turut serta menegakan hukum bagi para pencuri ikan yang berada di wilayah yuridiksi hukumnya.
Oleh karena itu, sejalan dengan visi-misi Pemerintahan Jokowi yang hendak menjadikan Indonesia sebagai Poros Maritim Dunia, maka pencurian ikan harus menjadi prioritas diplomasi Indonesia di dunia Internasional. Diperlukan suatu upaya diplomasi untuk membentuk kerangka kerjasama penegakan hukum internasional yang memasukan Pencurian Ikan sebagai sebuah kejahatan transnasional dan kejahatan luar biasa. Sekaligus mempertegas kewajiban lintas negara (extrateritorial obligations) dalam memerangi pencurian ikan.
Untuk pelaksanaan penegakan hukum yang melampaui batas negara atau ekstrateritorial dapat dilakukan sepanjang memang diatur dalam sebuah konvensi internasional atau diperoleh dari sebuah kebiasaan internasional sebagaimana yang disebutkan dalam Pendapat International Court of Justice dalam perkara Lotus (Lotus Case) tahun 1927. Misalnya saja kerangka kerjasama hukum yang dibentuk sebagaimana perjanjian bilateral yang dibuat antara Indonesia dengan Australia dalam memerangi kejahatan transnasional pada 2008 dimana pencurian ikan sebagai salah satu fokus utama kerjasamanya. Atau, Pemerintah Indonesia bisa mendesak agar UN mengeluarkan sebuah konvensi khusus terkait dengan Penegakan hukum pencurian ikan sebagai kejahatan transnational organized crimes.
Oleh karena itu, Diplomasi Poros Maritim yang dilakukan oleh Pemerintah Indonesia dalam forum-forum Internasional harus dijadikan ruang diplomasi dalam memperkuat kedaulatan wilayah perairan Indonesia khususnya dalam memerangi pencurian ikan. Sehingga bukan sekedar hanya sebagai ajang memasarkan investasi di Indonesia.
No comments:
Post a Comment