Materi pokok
dalam WTO Public Forum yang diadakan
pada 24 September 2012 yang lalu telah menarik perhatian banyak pihak dalam
mempertegas kembali keberadaan lembaga perdagangan internasional (WTO).
Salah satu
pembicara utama dalam diskusi WTO tersebut, Micheline Calmy-Rey (Mantan Presiden Konfederasi Swiss), menyatakan
bahwa Multilateral telah gagal di berbagai bidang dan dengan jelas tidak mampu
memberikan dampak dalam masa-masa krisis saat ini. Apalagi kemandekan Doha Round juga memiliki pengaruh besar
terhadap perjalanan WTO.
Pernyataan
tersebut diperkuat kembali oleh Direktur WTO, Pascal Lamy, dimana ia
berpendapat bahwa multilateralisme tidak dalam keadaan yang baik karena ia
sudah usang akibat dari perubahan cepat yang terjadi di dunia karena
globalisasi. Untuk itu, Lamy menambahkan, sistem WTO yang ada saat ini sudah
tidak lagi sesuai dengan perubahan tersebut apalagi ditambah dengan situasi
krisis yang akhirnya sistem tidak berjalan.
Tidak banyak
yang optimis terhadap keberhasilan WTO dalam menghadapi masa krisis. Berbagai pihak menyatakan bahwa
WTO perlu melakukan reformasi sehingga mampu beradaptasi dengan kondisi buruk
saat ini. Namun, mengembalikan prinsip-prinsip dasar liberalisasi perdagangan
di dalam WTO tetap menjadi point terpenting dalam mengembalikan WTO
ke-khitahnya.
Point penting
tersebut adalah menghilangkan friksi
di dalam WTO, melakukan
negosiasi mengenai
fasilitasi perdagangan dalam rangka memfasilitasi prosedur kepabeanan untuk menghapus "hambatan perdagangan", perang
melawan proteksionisme melalui
mekanisme pemantauan WTO, dan juga mendorong
lebih banyak
lagi pembiayaan perdagangan.
Krisis Terus Berlanjut
Seruan
untuk memperkuat sistem perdagangan multilateral menjadi jalan keluar bagi
krisis multilateralisme. Pascal Lamy secara terus-menerus membawa misi ini
diberbagai kesempatan. Beberapa misi penguatan yang dibawa oleh Lamy tersebut
ditekankan pada hal-hal sebagai berikut:
Pertama, Perlambatan
ekonomi global telah mengarahkan banyak negara untuk melakukan langkah proteksi
yang terjadi akhir-akhir ini. Bahwa kebutuhan saat ini adalah tetap membuka
pasar dan menjaganya untuk tetap terbuka dalam rangka peningkatan pertumbuhan
ekonomi, sehingga penegasan kembali terhadap komitmen liberalisasi perdagangan
dengan tidak melakukan tindakan proteksi sangat diharapkan.
Kedua, perkembangan
regionalisme saat ini yang memiliki banyak preferensi perdagangan diantara
negara yang terlibat telah menimbulkan ketidak-efisienan dalam perdagangan
internasional dan akhirnya menimbulkan ketidak-stabilan perdagangan. Ke-eklusifan
perdagangan dalam regionalisme akan berdampak pada keengganan untuk memajukan
multilateralisme.
Ketiga, untuk
menghilangkan kemandekan dalam memajukan sistem perdagangan multilateral maka diperlukan
kemajuan dalam proses negosiasi WTO sehingga mampu mengeluarkan dunia dari
krisis.
Menguatnya
Proteksionisme
Krisis ekonomi
di Eropa telah membuat kebangkrutan industri dan kalah bersaing dengan negara
kompetitornya seperti China, Korea Selatan, dan negara BRICS lainnya. Sebagai
bukti kuat adalah Peugeot, produsen mobil legendaris di Perancis, telah
mengakumulasikan kerugiannya disepanjang tahun 2011-2012 ini sebesar 1,2 juta
Euro dan telah mem-PHK 8000 pekerjanya, serta merelokasi industrinya ke Eropa
Timur.
Kerugian ini
ditengarai akibat kalah bersaing dengan perusahaan automotif asal Korea
Selatan, Hyundai dan KIA, yang mengalami peningkatan ekspor ke Eropa sebesar
48% disepanjang pertengahan tahun 2012 ini.
Kebangkrutan
lainnya adalah seperti yang dialami oleh manufaktur Solar Panel dari Jerman
yang kalah bersaing dengan China akibat praktik dumping dan subsidi illegal
yang diberikan oleh Pemerintah Beijing. Hal ini kemudian mendorong EU untuk
segera memberlakukan tindakan anti-dumping terhadap produk sejenis dari China.
Dua kondisi
tersebut pada akhirnya dijadikan dasar bagi pemerintah EU dalam membuat
kebijakan perdagangan baru yang cenderung mengarah pada pemberlakuan
proteksionisme. Kebijakan perdagangan baru tersebut akan diarahkan untuk
mereformasi The Generalised System of
Preferences (GSP) milik EU yang mengatur perdagangan Eropa terhadap negara-negara berkembang sejak tahun 1971.
Menurut aturan
baru
tersebut, beberapa negara berkembang yang kuat,
seperti negara-negara BRICS, akan
dikeluarkan dari GSP. Selain itu, ‘The new GSP’ akan menetapkan
standar baru yang terkait dengan lingkungan, tenaga kerja, dan aturan-aturan sosial yang harus dihormati oleh negara-negara berkembang dalam melakukan perdagangan dengan
Uni Eropa.
Menguatnya
proteksionisme yang dilakukan oleh EU telah membuktikan bahwa hukum persaingan
dalam liberalisasi tidak membawa efek positif bagi perekonomian nasional,
sehingga dibutuhkan langkah-langkah dalam melindungi kepentingan nasional.
Berakhirnya Multilateralisme
Optimime
dalam mengembalikan sistem perdagangan multilateral ke jalurnya dalam rangka
solusi memecahkan krisis menjadi suatu hal yang konyol. Seharusnya lembaga
multilateral berkaca kembali pada pendiskusian mengenai akar dari krisis itu
sendiri. Bahwa liberalisasi-lah yang menjadi nyawa dalam krisis ekonomi yang
terjadi saat ini.
Sistem
perdagangan multilateral mengusung liberalisasi perdagangan seluas-luasnya. Krisis
yang dialami oleh lembaga perdagangan multilateral merupakan akumulasi dari
kegagalan liberalisasi yang dipraktekan selama ini.
Sudah
seharusnya kita kembali merenungkan, apakah kita masih membutuhkan
multilateralisme dimana kemassifan regionalisme juga tidak membawa dampak
positif bagi perbaikan perekonomian dunia dan tinggal menunggu waktu bahwa
liberalisasi akan menggali kuburnya sendiri. ***
|
No comments:
Post a Comment