5/19/13

PERLUKAH INDONESIA "MEMIMPIN" WTO?

Ditulis Oleh Rachmi Hertanti   
Tuesday, 26 February 2013
Sudah dimuat dalam Website IGJ: http://www.igj.or.id/index.php?option=com_content&task=view&id=697&Itemid=158
 
Perlukah Indonesia ‘Memimpin’ WTO?
 
Menjelang berakhirnya masa jabatan Director General World Trade Organization (Dirjen WTO) saat ini, Pascal Lamy, yang akan jatuh pada 31 Agustus 2013, maka WTO mulai melakukan proses pemilihan Dirjen WTO yang baru. Pengajuan nama kandidat telah berlangsung hingga 31 Desember 2012, dan telah masuk 9 nama kandidat yang salah satunya adalah Mari Elka Pangestu yang dicalonkan oleh Indonesia.
 
Namun, muncul kekhawatiran dari beberapa Negara berkembang terkait pencalonan Mari Pangestu jika melihat paket isu yang diharapkan bisa dicapai pada saat Konferensi Tingkat Menteri (KTM) IX WTO di Bali Desember nanti, yaitu Trade Facilitation dan Paket untuk negara-negara kurang berkembang. Posisi Indonesia akan menjadi abu-abu, apalagi Indonesia sebagai tuan rumah penyelenggaraan KTM sangat diharapkan berperan aktif guna mendukung keberhasilan agenda WTO.
 
Pada 29 Januari 2013 Anggota-anggota WTO telah mendengarkan presentasi dari masing-masing kandidat. Dihadapan Dewan Umum (General Council) WTO, Mari Pangestu telah mempresentasikan pandangan-pandangannya jika ia terpilih menjadi Dirjen WTO. Mari melihat beberapa tantangan yang perlu dijawab dalam situasi perekonomian dunia saat ini, khususnya perkembangan di WTO. Keputusan atas calon DG WTO akan diumumkan pada tanggal 31 Mei 2013.
 
Dorongan Mari Di WTO Merugikan Rakyat Indonesia
 
Ditengah desakan rakyat Indonesia agar Pemerintah Indonesia mereview kembali keanggotaan Indonesia di WTO akibat kegagalannya menciptakan perdagangan yang adil, Mari Pangestu malah mendorong untuk semakin memperkuat kembali peran WTO di dalam dinamisasi perdagangan dunia. Bahkan dalam presentasinya Mari merasa yakin bahwa perbedaan pandangan yang selama ini terjadi antara Negara berkembang/kurang berkembang dengan Negara maju akan dapat dihilangkan dengan dialog yang maksimal.
 
Mari melihat bahwa tindakan proteksionisme saat ini sering dilakukan oleh berbagai Negara sehingga menghambat perdagangan. Situasi krisis ekonomi dunia saat ini mengharapkan Negara-negara untuk tetap membuka pasar sehingga membuka peluang untuk meningkatkan nilai perdagangan dan pertumbuhan ekonomi. Oleh karena itu, Mari akan menjamin penegakan terhadap aturan WTO dengan mendisiplinkan Negara-negara yang melanggar ketentuan tersebut.
 
Padahal jika melihat situasi nasional saat ini, Indonesia perlu melakukan langkah-langkah perlindungan atas serangan produk impor, khususnya produk pangan. Berdasarkan data Kementerian Pertanian tahun 2012, disebutkan bahwa terjadi peningkatan nilai impor sejak tahun 2010-2011 yaitu sebesar 4,86 Juta ton atau setara dengan US$ 3,13 M. Peningkatan nilai impor ini sangat merugikan petani Indonesia.
 
Pendisiplinan terhadap Negara yang melanggar ketentuan WTO telah dirasakan oleh Indonesia saat ini yang sedang menghadapi gugatan Amerika Serikat (AS) terhadap aturan impor hortikultura dan daging yang dikeluarkan oleh Pemerintah Indonesia. Bahwa dikeluarkannya aturan impor tersebut diklaim sebagai bentuk perlindungan Negara terhadap kepentingan nasional. Oleh karena itu, dorongan Mari tersebut justru pada akhirnya merugikan rakyat Indonesia dan bertolak belakang dengan kepentingan nasional.
 
Terkait dengan kemandekan perundingan Putaran Doha dan ekspansifnya regionalisme (melalui free trade agreement/FTA), Mari melihat kedua hal ini sebagai penyebab dari melemahnya peran WTO di dalam perdagangan dunia. Sehingga untuk mengembalikan peran WTO sebagai institusi utama dalam perdagangan dunia, Mari meminta agar perundingan Putaran Doha untuk segera mencapai konsensus dan KTM IX WTO di Bali nanti akan diarahkan sebagai batu pijakan untuk memulai kembali perundingan Putaran Doha yang bisa memenuhi kepentingan masing-masing Negara secara berimbang.
 
Terkait dengan strategi pencapaian konsensus dalam perundingan Putaran Doha, Mari berpandangan bahwa ekspansifnya kesepakatan dalam Regional Trade Agreement (RTA) yang berisikan perjanjian yang lebih luas dan komprehensif bisa menjadi langkah penyelesaian perundingan Doha. Hal ini karena perjanjian-perjanjian RTA yang disepakati nantinya akan menjadi kesepakatan yang dibawa pada tingkat multilateral. Bahkan perjanjian-perjanjian yang disepakati dibawah RTA/FTA kedepannya bisa mendorong dibukanya putaran yang baru sebagai “Doha Plus”.
 
Tawaran strategi Mari Pangestu nampaknya akan menimbulkan petaka kembali bagi Indonesia mengingat perjanjian perdagangan bebas yang ada saat ini (dibawah ASEAN dan 6 negara mitranya) telah menimbulkan dampak negative terhadap perekonomian rakyat. Faktanya, sejak berlakunya FTA dengan ASEAN dan keenam Negara mitranya hingga tahun 2012, neraca perdagangan Indonesia mengalami defisit. Kementerian Perdagangan menyebutkan bahwa disepanjang tahun 2012 terjadi defisit perdagangan sebesar US$ 1,63 Miliar.
 
Hal ini menunjukkan bahwa ekspansifnya FTA yang ditandatangani oleh Pemerintah Indonesia telah meliberalisasi perdagangan Indonesia melalui pembukaan akses pasar seluas-luasnya. Selama ini, penolakan liberalisasi perdagangan yang semakin massif melalui FTA/RTA telah disuarakan oleh rakyat.
 
Dirugikannya rakyat Indonesia dari penerapan aturan WTO, menjadikan WTO tidak strategis bagi upaya peningkatan kesejahteraan rakyat. Dan sepertinya Mari Pangestu tidak berdiri diatas kepentingan bangsa dalam pencalonannya sebagai DG WTO. Jadi, masih perlukah Indonesia ‘memimpin’ WTO?.*@*
 
 
Referensi:
Ø  “Presentation to the General Council of the World Trade Organization by ms mari pangestu”, 29 Januari 2013, diunduh dari   http://www.wto.org/english/news_e/news13_e/dgsel_29jan13_e.htm
Ø   “Statistik Makro Sektor Pertanian”, Volume 4 No.2 Tahun 2012, Pusdatin Kementerian Pertanian, diunduh dari http://www.deptan.go.id/infoeksekutif/e_makro/tw2-2012/buku-saku-tw2-2012.pdf
Ø “Neraca Perdagangan Indonesia Tahun 2012”, diunduh dari website kemendag http://www.kemendag.go.id/id/economic-profile/indonesia-export-import/indonesia-trade-balances
 

No comments:

Post a Comment