10/26/12

Multilateralisme Dalam Krisis ?

 (Artikel Update yang saya tulis untuk update free trade di website IGJ http://www.igj.or.id/index.php?option=com_content&task=view&id=667&Itemid=53)


Ditulis Oleh Rachmi Hertanti   
 
Materi pokok dalam WTO Public Forum yang diadakan pada 24 September 2012 yang lalu telah menarik perhatian banyak pihak dalam mempertegas kembali keberadaan lembaga perdagangan internasional (WTO).
Salah satu pembicara utama dalam diskusi WTO tersebut, Micheline Calmy-Rey (Mantan Presiden Konfederasi Swiss), menyatakan bahwa Multilateral telah gagal di berbagai bidang dan dengan jelas tidak mampu memberikan dampak dalam masa-masa krisis saat ini. Apalagi kemandekan Doha Round juga memiliki pengaruh besar terhadap perjalanan WTO.
Pernyataan tersebut diperkuat kembali oleh Direktur WTO, Pascal Lamy, dimana ia berpendapat bahwa multilateralisme tidak dalam keadaan yang baik karena ia sudah usang akibat dari perubahan cepat yang terjadi di dunia karena globalisasi. Untuk itu, Lamy menambahkan, sistem WTO yang ada saat ini sudah tidak lagi sesuai dengan perubahan tersebut apalagi ditambah dengan situasi krisis yang akhirnya sistem tidak berjalan.
Tidak banyak yang optimis terhadap keberhasilan WTO dalam menghadapi  masa krisis. Berbagai pihak menyatakan bahwa WTO perlu melakukan reformasi sehingga mampu beradaptasi dengan kondisi buruk saat ini. Namun, mengembalikan prinsip-prinsip dasar liberalisasi perdagangan di dalam WTO tetap menjadi point terpenting dalam mengembalikan WTO ke-khitahnya.
Point penting tersebut adalah menghilangkan friksi di dalam WTO, melakukan negosiasi mengenai fasilitasi perdagangan dalam rangka memfasilitasi prosedur kepabeanan untuk menghapus "hambatan perdagangan", perang melawan proteksionisme melalui mekanisme pemantauan WTO, dan juga mendorong lebih banyak lagi pembiayaan perdagangan.
 
Krisis Terus Berlanjut
 

Reformasi Arsitektur Keuangan Global

“Negara Berkembang Dorong untuk Revisi GATS”  

(Artikel Update yang saya tulis untuk update free trade di website IGJ  bisa dilihat pada link berikut: http://www.igj.or.id/index.php?option=com_content&task=view&id=670&Itemid=56)



 
Terkait dengan situasi krisis ekonomi global yang belum kunjung usai, telah banyak pendiskusian mengenai gagalnya liberalisasi keuangan global, dimana liberalsiasi dirasa tidak mampu menciptakan stabilitas keuangan dunia dan menimbulkan banyak kekhawatiran terhadap kondisi perbankan nasional masing-masing Negara.

Dalam sistem perdagangan multilateral (WTO), sektor perbankan diatur dalam perjanjian GATS (General Agreement Trade on Services). Transaksi keuangan lintas batas dan kehadiran bank asing di sebuah negara adalah bentuk liberalisasi sektor perbankan dalam GATS.  Sedikit-banyak, aturan GATS memiliki peran dalam liberalisasi sektor perbankan dan mempengaruhi kondisi perbankan lokal. Beberapa pandangan dari negara-negara berkembang telah memperlihatkan keresahannya.
 
Beberapa keresahan negara-negara berkembang terhadap GATS digarisbawahi terhadap aturan GATS yang lebih banyak mengatur mengenai keharusan negara anggota untuk membatasi regulasinya, karena dalam perkembangannya telah menjadi hambatan terbesar dalam pelaksanaan perdagangan jasa perbankan. Namun, disatu sisi GATS tidak mengatur mengenai hak negara untuk membuat aturan, kompensasi dalam perselisihan, dan prosedur untuk tindakan-tindakan pengamanan. Hal-hal inilah yang kemudian mendorong negara-negara berkembang untuk melakukan revisi terhadap GATS.

My New Book

INVASI BANK ASING DI INDONESIA

Sebuah karya pertama dari saya bersama dengan rekan peneliti yang pernah di IGJ (Indonesia for Global Justice), Herjuno Ndaru. Buku ini ingin memperlihatkan mengenai liberalisasi sektor perbankan dan kaitannya terhadap kredit mikro yang saat ini semakin gencar dilakukan oleh bank-bank swasta nasional yang didominasi kepemilikan asing di Indonesia.


Referensinya:

Pembukaan sektor jasa keuangan melalui berbagai skema di World Trade Organization (WTO), Free Trade Agreementa (FTA), dan kesepakatan di Association of Southeast  Asian Nations (ASEAN) telah membuat sektor jasa keuangan di Indonesia semakin terbuka bagi invasi perbankan asing. Indonesia bahkan salah satu Negara dengan sistem perbankan paling liberal dikawasan Asia Tenggara. Liberalisasi sektor keuangan dan perbankan di Indonesia telah dimulai sejak Letter of Intent (LoI) International Monetary Fund (IMF) 1998-2003.
Beberapa perbankan berdiri sebagai perbankan asing di Indonesia,dan sebagian lagi melebur sebagai perusahaan Indonesia meskipun kepemilikannya adalah asing dan campuran tersebut tidak hanya dikuasai kegiatan bisnis besar,namun juga menginvasi sektor Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM).
Dalam prakteknya keberadaan dana asing dalam perbankan memicu ekspansi utang yang sifatnyafee-based income yang rata-rata bersifat konsumtif,misalnya kartu kredit dan pinjaman kredit mikro dengan suku bunga yang relative tinggi. Kehadiran perbankan dengan unsur dana asing tersebut semakin menggeser eksistensi lembaga mikro kredit local yang telah melayani anggotanya dengan prinsip-prinsip kerjasama dan loyalitas.
Lemahnya peran pemerintah dalam mengembangkan dan melayani UMKM menyebabkan usaha yang dijalankan oleh sebagian besar rakyat semakin rentan terhadap kemiskinan. Selain itu, tidak adanya penyegaran dalamupaya pemberdayaan koperasi sebagai bentuk institusi keuangan yang berlandaskan semangat kemajuan bersama, akan menyebabkan UMKM terperosok dalam ketergantungan pada perbankan asing. Oleh karena itu, diperlukan peran pemerintah yang lebih besar dalam membuat regulasi yang mengatur operasi sektor perbankan yang berpihak pada kepentingan rakyat dan mengembangkan lembaga keuangan alternative yang salah satunya melalui koperasi**(Diambil dari http://www.igj.or.id/index.php?option=com_content&task=view&id=664&Itemid=193)