I. Pendahuluan
Hak Cipta merupakan salah satu bentuk di dalam Hak Kekayaan Intelektual (HKI). Di Indonesia pengaturan tentang hak cipta telah diatur di dalam Undang-undang No.19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta. Pada pokoknya, HKI merupakan hak untuk menikmati hasil kreativitas intelektual manusia secara ekonomis. Oleh karena itu, objek yang diatur dalam HKI adalah karya yang timbul atau lahir dari kemampuan intelektual. Kenikmatan dari sisi ekonomis inilah yang pada akhirnya muncul kebutuhan untuk memberikan perlindungan. Mengacu pada teori dari Robert C.Sherwood yang dikutip oleh Ranti Fauza Mayana dalam bukunya Perlindungan Desain Industri di Indonesia Dalam Era Perdagangan Bebas, terdapat lima teori dasar perlindungan HKI, yaitu:
1. Reward Theory, yaitu pengakuan terhadap karya intelektual yang telah dihasilkan oleh penemu/pencipta/pendesain sehingga ia harus diberi penghargaan sebagai imbangan atas upaya kreatifnya dalam menemukan/menciptakan karya intelektualnya.
2. Recovery Theory, yaitu bahwa penemu/pencipta/pendesain yang telah mengeluarkan waktu, biaya, serta tenaga untuk menghasilkan karya intlektualnya harus memperoleh kembali apa yang telah dikeluarkannya.
3. Incentive Theory, dimana dalam teori ini dikaitkan antara pengembangan kreativitas dengan memberikan insentif kepada para penemu/pencipta/pendesain. Berdasarkan teori ini, insentif perlu diberikan untuk mengupayakan terpacunya kegiatan-kegiatan penelitian yang berguna.
4. Risk Theory, bahwa karya mengandung resiko. HKI yang merupakan hasil penelitian mengandung resiko yang memungkinkan orang lain yang terlebih dahulu menemukan cara tersebut atau memperbaikinya. Dengan demikian, adalah wajar memberikan bentuk perlindungan hukum terhadap upaya atau kegiatan yang mengandung resiko tersebut.
5. Economic Growth Stimulus Theory, bahwa perlindungan atas HKI merupakan alat pembangunan ekonomi. Pembangunan ekonomi adalah keseluruhan tujuan dibangunnya sistem perlindungan atau HKI yang efektif.
Pada HKI terdapat hak eksklusif, yaitu hak yang hanya dimiliki oleh pemilik HKI dan tidak seorang pun berhak menikmatinya tanpa izin pemiliknya. Hak eksklusif meliputi hak ekonomi dan hak moral. Hak ekonomi adalah hak untuk mendapatkan manfaat ekonomi atas HKI yang dimilikinya, sedangkan hak moral adalah hak yang melekat pada pemilik HKI berupa hak atas keutuhan karyanya serta hak namanya tetap dicantumkan sebagai pencipta HKI.2.Sudaryat, dkk
Hak cipta itu sendiri adalah hak ekslusif bagi pencipta atau penerima hak untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya atau memberikan izin untuk itu dengan tidak mengurangi batasan-batasan menurut peraturan perundang-undangan.3. Karya yang timbul di dalam hak cipta merupakan karya setiap pencipta yang menunjukkan keasliannya dalam lapangan ilmu pengetahuan, seni, dan sastra. Hak eksklusif yang ada di dalam hak cipta merupakan hak yang khusus hanya dimiliki oleh pencipta. Isi hak itu adalah hak untuk mengumumkan (right to publish atau right to perform) dan hak untuk memperbanyak (right to copy).4-Agus Sardjono, Hak Cipta dalam desain grafis.hal.8. Oleh karena itu, maka perlindungan diberikan kepada pemegang hak cipta.
Lalu bagaimana jika seseorang menggunakan karya orang lain? Misalnya penggunaan desain arsitektur rumah orang lain yang digunakan seseorang dalam membangun rumahnya. Permasalahan inilah yang akan dibahas di dalam tulisan ini.
II. Pengaturan Tentang Hak Cipta
Pengaturan Hak Cipta diatur di dalam undang-undang No.19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta. Undang-undang ini merupakan kewajiban yang diharuskan kepada anggota World Trade Center (WTO) di dalam TRIP’s (Trade Related on Intellektual Properties). Ada beberapa hal yang menjadi fokus pembahasan di dalam Hak Cipta, meminjam istilah dari Prof.Dr.Agus Sardjono, SH di dalam bukunya Hak Cipta Dalam Desain Grafis, yaitu Pencipta, Ciptaan, dan Hak atas ciptaan itu sendiri (Hak Eksklusif).
Di dalam UU No.19/2002 tentang Hak Cipta, selanjutnya disebut dengan UUHC, Pasal 1 angka (1), disebutkan bahwa Hak Cipta adalah hak eksklusif bagi pencipta atau penerima hak untuk mengumumkan, memperbanyak ciptaannya, atau memberikan izin untuk itu dengan tidak mengurangi batasan-batasan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pencipta dan pemegang hak cipta tidak selalu sama. Jika mengacu pada Pasal 1 angka (2) UUHC, Pencipta adalah seorang atau beberapa orang secara bersama-sama yang atas inspirasinya melahirkan suatu ciptaan berdasarkan kemampuan pikiran, imajinasi, kecekatan, keterampilan, atau keahlian yang dituangkan ke dalam bentuk yang khas dan bersifat pribadi. Pemegang hak cipta, dalam pasal 1 angka (4) UUHC, adalah pencipta sebagai pemilik hak cipta, pihak lain yang menerima hak cipta dari pencipta, atau pihak lain yang menerima lebih lanjut hak cipta dari pihak tersebut.
Prof.Dr.Agus Sardjono, SH., dalam bukunya Hak Cipta Dalam Desain Grafis, memberikan 2 (dua) istilah mengenai siapa yang dilindungi dan dilindungi dari apa, yaitu author’s right dan copyright. Di dalam author’s right maka yang dilindungi adalah pencipta (author), dan di dalam copyright yang dilindungi adalah pemilik hak cipta (copyright owner). Mengacu pada UUHC, maka yang dilindungi adalah pemegang hak cipta, yaitu pencipta sebagai pemilik hak cipta, atau orang lain yang menerima hak dari pencipta.
Di dalam dunia bisnis, keterkaitan antara pencipta dengan pemegang hak cipta tidak dapat dipisahkan. Karya-karya yang diciptakan oleh pencipta di dalam suatu perusahaan dapat dengan segera menjadi hak dari perusahaan tersebut. Tetapi, harus didasarkan atas perjanjian di antara pencipta dengan perusahaan, dimana si pencipta menandatangani perjanjian dengan perusahaan yang menjadikan karyanya itu sepenuhnya menjadi milik dari perusahaan. Dalam hal ini, meminjam istilah dari Prof.Dr.Agus Sardjono, SH., dalam bukunya Hak Cipta Dalam Desain Grafis, disebut dengan work for hire, yaitu seseorang dibayar untuk melakukan suatu jenis pekerjaan tertentu, termasuk desain, dan hasilnya akan menjadi milik perusahaan yang membayar, sehingga dari kegiatan ini telah terjadi transfer of rights dari pencipta kepada perusahaan yang menjadi pemegang hak cipta.
Menurut Pasal 3 ayat (1) UUHC, hak cipta merupakan benda bergerak. Prof.Dr.Agus Sardjono, SH., dalam bukunya Hak Cipta Dalam Desain Grafis, menyebutkan bentuk-bentuk ciptaan (works) antara lain: karya tulis; program komputer, lagu atau musik, tari atau koreografi, fotografi, sinematografi, dan desain grafis.
Di dalam karya cipta (ciptaan) terdapat prinsip fixation yang ada di dalam doktrin copyright. Prinsip fixation ini tidak memungkinkan ide untuk mendapatkan perlindungan hak cipta. Hal ini didasari atas UUHC Pasal 12 ayat (3) yang menyebutkan, “Ciptaan yang dilindungi adalah ciptaan yang sudah merupakan suatu bentuk kesatuan yang nyata (fixed), yang memungkinkan perbanyakan hasil karya itu.5. Prof.Dr.Agus Sardjono, SH., dalam bukunya Hak Cipta Dalam Desain Grafis.
Oleh karena itu, Prof.Dr.Agus Sardjono, SH., dalam bukunya Hak Cipta Dalam Desain Grafis, menyebutkan agar ide dilindungi hak cipta maka ia harus diwujudkan terlebih dahulu dalam suatu bentuk kesatuan yang nyata. Selain itu, di dalam prinsip fixation ini mengharuskan adanya ‘bentuk’ (form) tertentu dari suatu ciptaan. Ia, juga menyebutkan, bahwa yang terpenting dari semua itu adalah ciptaan haruslah sesuatu yang ‘Original’. Original disini bukan berarti belum pernah ada sebelumnya.
Intinya adalah bahwa obyek yang dapat dilindungi dengan hak cipta adalah ekspresi dari kreativitas seseorang yang dituangkan dalam bentuk tertentu, misalnya ekspresi yang dituangkan dalam bentuk buku adalah naskahnya, ekspresi musik atau lagu yang dituangkan dalam media rekaman suara adalah bunyinya, ekspresi dari tari-tarian adalah geraknya, ekspresi dari desain grafis adalah komposisi gambar, huruf, angka, atau warna atau kombinasi dari semuanya itu. Ekspresi tersebut harus berbentuk kesatuan yang nyata yang memungkinkan perbanyakan.6. Prof.Dr.Agus Sardjono, SH., dalam bukunya Hak Cipta Dalam Desain Grafis
Hak eksklusif yang ada di dalam hak cipta adalah untuk melindungi pencipta atau pemegang hak cipta dari penggunaan karya ciptanya secara tidak sah atau tanpa izin oleh pihak lain. Hak eksklusif di dalam hak cipta ada 2 (dua), yaitu (1) hak untuk mengumumkan dan (2) hak untuk memperbanyak. Di dalam Pasal 1 angka (5) UUHC, disebutkan yang dimaksud dengan “Pengumuman” adalah pembacaan, penyiaran, pameran, penjualan, pengedaran, atau penyebaran ciptaan dengan menggunakan alat apa pun, termasuk media apa pun, sehingga suatu ciptaan dapat dibaca, didengar, atau dilihat orang lain. Prof.Dr.Agus Sardjono, SH., dalam bukunya Hak Cipta Dalam Desain Grafis hak mengumumkan atau right to publish atau right to perform, biasanya berhubungan dengan scientific and literary works, sedangkan right to perform biasanya berhubungan dengan musical and artistic works, seperti lagu, tari, dan sejenisnya. Hak mengumumkan ini biasanya melekat pada penciptanya.
Dalam Pasal 1 angka (6) UUHC disebutkan, bahwa yang dimaksud dengan perbanyakan adalah penambahan jumlah ciptaan, baik secara keseluruhan maupun bagian yang sangat substansial, dengan menggunakan bahan-bahan yang sama ataupun tidak sama, termasuk pengalih-wujudan secara permanen atau temporer. Prof.Dr.Agus Sardjono, SH., dalam bukunya Hak Cipta Dalam Desain Grafis hak memperbanyak (right to copy) ini biasanya berhubungan dengan perbanyakan atau reproduction dari karya cipta (works) yang bersangkutan.
Kata-kata ‘Pengalihwujudan’ yang ada di dalam Pasal 1 angka (6) UUHC diatas, mengandung 2 (dua) arti yaitu:8. Prof.Dr.Agus Sardjono, SH., dalam bukunya Hak Cipta Dalam Desain Grafis
1. Mengubah media ekspresinya
Contohnya adalah, mengubah dari media digital seperti softcopy naskah tulisan menjadi media kertas, atau sebaliknya. Atau dari e-book menjadi buku biasa atau sebaliknya.
2. Mengubah bentuk ekspresinya
Contohnya adalah mengubah bentuk ekspresi dari buku menjadi film.
Pengalihwujudan inilah yang disebut dengan adaptasi di dalam hak cipta. Tindakan adaptasi sebuah karya yang dilindungi hukum ini haruslah dengan izin dari pemilik hak cipta. Pada dasarnya, ide yang ditiru dari orang lain bukanlah pelanggaran hak cipta, tetapi meng-copy (reproduce) desain yang sudah dituangkan dalam bentuk tertentu (fixation) inilah yang dilarang.
Hak eksklusif di dalam HKI, khususnya hak cipta, meliputi 2 (dua) hak, yaitu hak ekonomi dan hak moral. Hak ekonomi adalah hak untuk mendapatkan manfaat ekonomi atas HKI yang dimilikinya, sedangkan hak moral adalah hak yang melekat pada pemilik HKI berupa hak atas keutuhan karyanya serta hak namanya tetap dicantumkan sebagai pencipta HKI. Hak ekonomi inilah yang menjadi substansi di dalam perlindungan hak cipta. Tindakan hak mengumumkan dan hak memperbanyak merupakan tindakan yang bertujuan untuk mendapatkan manfaat ekonomis dari karya ciptaan. Maka, apabila seseorang melakukan kedua tindakan ini tanpa izin dari para pemilik hak ini, maka ia telah melanggar hak cipta.
Hak cipta memiliki prinsip-prinsip pengaturan berikut ini:7.Sudaryat, dkk
1. Yang dilindungi hak cipta adalah ide yang telah berwujud. Artinya perlindungan hukum hak cipta diberikan apabila karya cipta telah melalui proses konkretisasi dan asli-menunjukkan identitas penciptanya.
2. Hak cipta timbul dengan sendirinya (otomatis). Artinya hak cipta diberi perlindungan sejak kali pertama dipublikasikan. Hal itu sejalan dengan stelsel yang digunakan dalam hak cipta, yaitu deklaratif.
3. Ciptaan tidak perlu didaftarkan untuk memperoleh hak cipta.
4. Hak cipta sebagai suatu ciptaan merupakan hak yang diakui hukum yang harus dipisahkan dan harus dibedakan dari penguasaan fisik ciptaan.
5. Hak cipta bukanlah hak mutlak (absolut), melainkan hak eksklusif. Artinya hanya pencipta yang berhak atas ciptaan, kecuali atas izin penciptanya.
6. Meskipun pendaftaran bukan suatu keharusan, untuk kepentingan pembuktian kalau terjadi sengketa di kemudian hari, sebaiknya hak cipta didaftarkan ke Dirjen HKI. Hal ini terkait dengan stelsel pendaftaran yang digunakan yaitu deklaratif yang mengandung makna bahwa perlindungan hukum mulai berlaku sejak kali pertama diumumkan.
Ciptaan yang tidak dapat didaftarkan adalah ciptaan diluar ilmu pengetahuan, seni dan sastra; ciptaan yang tidak orisinal; ciptaan yang belum terwujud dalam bentuk yang nyata (masih berupa ide); serta ciptaan yang sudah merupakan milik umum.
Walaupun, hak cipta tidak memiliki keharusan untuk didaftarkan, namun agar memiliki bukti hukum yang kuat untuk dapat membuktikan bahwa karya cipta tersebut merupakan karya seseorang, maka proses pendaftaran diperlukan, apalagi jika karya cipta tersebut bertujuan untuk mendapat manfaat ekonomis. Sehingga pemilik hak tidak kehilangan hak ekonomisnya atas tindakan pelanggaran hak cipta yang dilakukan oleh orang lain.
Analisis Permasalahan
Mengacu pada pokok permasalahan dalam tulisan ini, yaitu apakah suatu desain arsitektur rumah yang wujudkan dalam bentuk rumah (3 dimensi) merupakan pelanggaran hak cipta, maka pada sub bab ini akan dibahas.
Bahwa desain arsitektur rumah merupakan suatu bentuk ide yang telah dituangkan dalam bentuk kesatuan yang nyata (fixation) yang termasuk dalam bentuk karya cipta scientific and literary works, yakni arsitektur (Pasal 12 ayat (1) UUHC). Sehingga, hak eksklusif yang dimiliki bagi si arsitek di dalam karya ciptanya merupakan right to publish (mengumumkan). Hak eksklusif yang ada di dalam arsitektur rumah tersebut melindungi arsitek atau pemegang hak cipta dari penggunaan arsitektur rumah tersebut secara tidak sah atau tanpa izin oleh pihak lain. UUHC mengenal sistem perlindungan otomatis, sehingga sejak saat seorang arsitek menuangkan desainnya dalam suatu media apapun, maka sejak saat itu pula ia berhak atas perlindungan hukum.
Perlu diingat, bahwa tanpa adanya tujuan manfaat ekonomi atas suatu karya cipta, maka perlindungan menjadi tidak signifikan. Hal ini dikarenakan tidak dimilikinya hak ekonomis di dalam karya ciptanya. Di dalam Hak cipta terdapat hak eksklusif yang meliputi hak ekonomi dan hak moral.
Apabila Arsitek adalah sebuah berprofesi yang memberikan jasanya kepada orang lain, maka arsitektur rumah yang dibuatnya memiliki hak ekonomis. Untuk mengalihkan hak cipta atas arsitektur rumahnya tersebut, baik seluruhnya maupun sebagian, kepada pengguna jasanya, maka diperlukan perjanjian (assignment) diantara mereka, sebagaimana diatur di dalam Pasal 3 ayat (2.d) UUHC. Maka, dari hal itu, si arsitek telah mendapatkan hak ekonominya serta hak moralnya yang selalu melekat dalam karya ciptanya tersebut.
Begitu juga, jika di dalam sebuah perusahaan developer yang mempekerjakan seorang arsitek untuk membuat desain property yang akan dipasarkan oleh perusahaan tersebut, maka perjanjian antara arsitek dengan perusahaan developer tersebut menjadi dasar beralihnya hak cipta arsitektur rumah/property tersebut dari si arsitek kepada perusahaan dan sepenuhnya menjadi milik perusahaan dan si arsitek mendapatkan bayaran atas kerjanya. Inilah yang disebut dengan work for hire.
Apabila, arsitektur rumah diwujudkan dalam bangunan rumah (tiga dimensi), telah terjadi proses adaptasi atau peng-alihwujud-an dari karya cipta arsitektur rumah ke dalam bentuk bangunan rumah. Di dalam Pasal 1 angka 6 UUHC, peng-alihwujudan- termasuk ke dalam hak untuk memperbanyak atau right to copy. Untuk hak cipta atas arsitektur rumah yang telah diserahkan atau dialihkan kepada pihak lain, dalam pembahasan diatas yakni pengguna jasa arsitektur ataupun perusahaan developer, maka merekalah yang menjadi penerima hak untuk memperbanyak atas karya cipta tersebut. Maka, bangunan atau rumah yang dibangun berdasar atas arsitektur rumah tersebut diperbolehkan karena telah mendapatkan izin dari penciptanya melalui perjanjian yang telah dibuat diantara mereka.
Pada bentuk inilah, pendaftaran hak cipta atas arsitektur rumah diperlukan. Agar pemberi jasa arsitektur ataupun perusahaan developer ini tidak kehilangan hak ekonominya, maka mereka perlu untuk mendaftarkan ke Dirjen HKI, sehingga mereka bisa membuktikan bahwa desain rumah tersebut merupakan miliknya. Apabila ada orang lain yang menggunakan desain rumah tersebut untuk membangun rumah tanpa meminta izin mereka, maka orang yang tidak meminta izin tersebut telah melanggar undang-undang hak cipta dan bisa digugat atas tindakannya tersebut.
Kesimpulan
Dari penjelasan analisis permasalahan diatas, maka dapat disimpulkan bahwa pembangunan rumah yang dilakukan seseorang berdasarkan arsitektur rumah yang dibuat orang lain, perlu mendapatkan izin terlebih dahulu dari pemegang hak cipta, apalagi jika karya cipta tersebut memiliki tujuan ekonomis (ataupun tidak tujuan ekonomis) dan telah didaftarkan kepada Dirjen HKI, sehingga tidak melakukan pelanggaran terhadap UUHC.