I. Pengantar
World Trade Organization (WTO) diberlakukan sejak 1 Januari 1995. Tujuan dari WTO adalah Pengurangan hambatan-hambatan perdagangan dan penghilangan diskriminasi. Untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut, WTO telah mengaturnya di dalam prinsip-prinsip dasarnya, yaitu sebagai berikut:
a. Peraturan mengenai non-diskriminasi
b. Peraturan mengenai akses pasar.
c. Peraturan mengenai perdagangan yang tidak adil
d. Peraturan mengenai hubungan antara liberalisasi perdagangan dan nilai-nilai serta kepentingan sosial lainnya
e. Peraturan mengenai harmonisasi perangkat hukum nasional dalam bidang-bidang khusus.
f. Peraturan mengenai perlakuan khusus dan berbeda untuk Negara berkembang.
Yang akan dibahas pada tulisan ini adalah mengenai hambatan non-tarif. Hambatan non-tarif adalah salah satu aturan yang diterapkan untuk menegakkan prinsip Akses pasar. Prisip Akses pasar adalah prinsip yang paling penting untuk mencapai tujuan pengurangan hambatan-hambatan dagang.
II. Hambatan-hambatan Non-Tarif (Non-Tariff Barriers)
Hambatan non-tarif adalah suatu hambatan dalam perdagangan yang tidak berupa tariff. Aturan-aturan mengenai hambatan non-tarif diatur di dalam Annex 1A GATT. Yang termasuk tindakan hambatan non-tarif adalah sebagai berikut:
a. Hambatan teknis dalam perdagangan barang dan tindakan sanitasi serta phitosanitasi
b. Kurangnya transparansi regulasi nasional
c. Penerapan hukum dan regulasi perdagangan yang tidak adil dan subyektif
d. Prosedur dan formalitas pajak.
Dibawah ini akan dibahas satu-persatu mengenai tindakan hambatan non-tarif tersebut diatas.
a. Sanitasi dan Phitosanitary
Dalam ketentuan WTO, ada kategori khusus yang bisa diidentifikasi yang merupakan bagian dari kategori umum dari hambatan teknis terhadap perdagangan, yaitu tindakanyang berkaitan dengan kehidupan atau kesehatan manusia, binatang, atau tumbuhan atau yang seringkali disebut sebagai tindakan sanitary and phytosanitary. Tindakan ini diatur di dalam Agreement on The Application of Sanitary and Phytosanitary Measures atau yang sering disebut dengan istilah SPS Agreement.
Tindakan SPS adalah suatu tindakan yang adalah:
a. Ditujukan untuk melindungi kehidupan atau kesehatan manusia atau binatang dari resiko yang berkaitan dengan makanan (Food-Borne Risk)
b. Ditujukan untuk melindungi kehidupan atau kesehatan manusia, binatang atau tumbuhan dari resiko hama (pests) atau penyakit.
SPS Agreement berlaku untuk seluruh tindakan SPS yang memberikan dampak bagi perdagangan internasional. Berikut apa yang menjadi prinsip-prinsip di dalam SPS Agreement.
SPS Agreement secara eksplisit mengakui adanya kebebasan hak dari anggota WTO untuk menerapkan tindakan SPS dalam rangka perlindungan terhadap kehidupan atau kesehatan manusia, binatang, atau tumbuhan dalam wilayah mereka. Diatur di dalam Article 2.1. SPS Agreement.:
“Members have the right to take sanitary and phytosanitary measures necessary for the protection of human, animal or plant life or health, provided that such measures are non inconsistent with the provisions of this Agreement”.
Tetapi bersamaan dengan itu, SPS Agreement juga memberikan kewajiban-kewajiban tertentu bagi anggota yang ingin menerapkan tindakan SPS tersebut. Anggota WTO hanya dapat menerapkan tindakan SPS sepanjang diperlukan untuk melindungi kehidupan atau kesehatan manusia, binatang atau tumbuhan. Tindakan tersebut harus didasarkan pada prinsip-prinsip ilmiah dan standar internasional dan tidak boleh dipertahankan tanpa adanya bukti ilmiah yang memadai. Diatur di dalam Article 2.2. SPS Agreement,
Anggota WTO tidak boleh mengenakan tindakan SPS yang mendiskriminasi secara sepihak atau tidak berdasar atau yang menyebabkan suatu hambatan terselubung terhadap perdagangan. Diatur di dalam Article 2.3. SPS Agreement.
Dalam pelaksanaan SPS di Negara anggota, maka SPS Agreement terutama mensyaratkan anggota WTO harus:
1. Memastikan bahwa tindakan SPS tersebut tidaklah lebih menghambat perdagangan dari apa yang diperlukan untuk mencapai tingkat perlindungan dari apa yang diperlukan untuk mencapai tingkat perlindungan yang seharusnya. (Article 5.6. SPS Agreement)
2. Menghindari perbedaan secara sepihak atau tidak mendasar mengenai tingkatan perlidungan yang seharusnya dalam situasi yang berbeda, jika perbedaan ini akan mengarah kepada diskriminasi atau hambatan terselubung terhadap perdagangan. (Article 5.5. SPS Agreement).
b. Transparansi Regulasi Nasional
Ketidakpedulian, ketidakpastian, atau kebingungan atas hukum, regulasi, dan prosedur perdagangan yang dapat diterapkan pada pasar impor yang potensial merupakan hambatan penting dalam perdagangan barang. Untuk menjamin tingginya tingkat transparansi hukum, regulasi, prosedur perdagangan para anggota, WTO mengaturnya di dalam Article X GATT 1994, yang mensyaratkan para anggota untuk:
1. Menginformasikan secara berkelanjutan kepada Sekretariat WTO mengenai peraturan-peraturan baru atau perubahan pada peraturan yang sudah ada (persyaratan notifikasi).
2. Segera mempublikasikan peraturan perdagangan mereka sebelum menerapkannya (persyaratan publikasi).
3. Menyediakan pusat-pusat informasi dimana para anggota lainnya dan pelaku perdagangan di Negara anggota agar dapat meminta informasi atas hukum dan regulasi yang mempengaruhi perdagangan.
Beberapa peraturan, harus diberitahukan kepada secretariat WTO sebelum mereka disahkan dan berlaku, untuk memberi kesempatan kepada para anggota WTO lainnya untuk menyampaikan keberatan apapun dalam waktu yang cukup.
Article X.1. & X.2.:
(X.1.) Laws, regulations, judicial decisions and administrative rulings of general application, made effective by any contracting party, pertaining to the classification or the valuation of products for customs purposes, or to rates of duty, taxes or other charges, or to requirements, restrictions or prohibitions on imports or exports or on the transfer of payments therefor, or affecting their sale, distribution, transportation, insurance, warehousing inspection, exhibition, processing, mixing or other use, shall be published promptly in such a manner as to enable governments and traders to become acquainted with them. Agreements affecting international trade policy which are in force between the government or a governmental agency of any contracting party and the government or governmental agency of any other contracting party shall also be published. The provisions of this paragraph shall not require any contracting party to disclose confidential information which would impede law enforcement or otherwise be contrary to the public interest or would prejudice the legitimate commercial interests of particular enterprises, public or private.
(X.2.) No measure of general application taken by any contracting party effecting an advance in a rate of duty or other charge on imports under an established and uniform practice, or imposing a new or more burdensome requirement, restriction or prohibition on imports, or on the transfer of payments therefor, shall be enforced before such measure has been officially published.
c. Hambatan Teknis Dalam Perdagangan
Hambatan teknis dalam perdagangan adalah suatu bentuk hambatan perdagangan dalam bentuk persyaratan-persyaratan yang berkaitan dengan komposisi, kualitas produk, keamanan, proses produksi, kemasan, label, dan lain-lain suatu produk yang diperdagangkan. Kegiatan ini biasanya diatur di dalam peraturan nasional yang seringkali menyebabkan hambatan perdagangan.
Pengaturan di dalam WTO yang mengatur segala kegiatan hambatan teknis perdagangan diatur di dalam Agreement on Technical Barriers to Trade (TBT Agreement). TBT Agreement terutama berlaku pada:
1. Peraturan teknis
2. Standard
3. Prosedur penilaian kepatuhan
Pada dasarnya penentuan mengenai stadarisasi dan peraturan teknis haruslah diartikan pada pengertian yang mengacu kepada United Nations System dan badan standar internasional (Article 1.1.TBT Agreement).
Article 1.1.TBT Agreement:
“General terms for standardization and procedures for assessment of conformity shall normally have the meaning given to them by definitions adopted within the united nations system and by international standardizing bodies taking into account their context and in the light of the object and purpose of this Agreement”.
Jenis-jenis peraturan teknis yang dapat diperbolehkan diatur di dalam peraturan nasional, jika suatu tindakan tersebut:
Ø Tindakan tersebut berlaku pada suatu produk atau sekelompok produk yang bisa diidentifikasi;
Ø Tindakan tersebut menyebutkan karakteristik dari produk dan/atau proses atau cara produksi yang berkaitan dengan produk tersebut
Ø Kepatuhan terhadap karakteristik produk yang disebutkan dalam tindakan tersebut adalah wajib.
Prosedur penilaian kepatuhan merupakan suatu prosedur, seperti inspeksi, pengambilan sample atau test, yang digunakan untuk memverifikasi kepatuhan terhadap persyaratan yang terkandung dalam peraturan teknis atau standar.
Dalam TBT Agreement memiliki beberapa kewajiban-kewajiban yang harus dipenuhi oleh Negara-negara anggota dalam pelaksanaan TBT, yaitu:
Ø Mensyaratkan agar peraturan teknis, standar, dan prosedur penilaian kepatuhan tidak menyebabkan hambatan yang tidak perlu terhadap perdagangan internasional; (Article 2.1.TBT Agreement)
Ø Persyaratan teknis, standar, dan prosedur penilaian kepatuhan harus dicabut bilamana kondisi tertentu yang menyebabkan diaturnya ketentuan tersebut tidak ada lagi; (Article 2.3.TBT Agreement)
Ø Persyaratan bilamana ada standar internasional atau akan tercapainya standar internasional tersebut dalam waktu terdekat, persyaratan teknis, standard, dan prosedur penilaian kepatuhan nasional harus didasarkan pada standar internasional tersebut. Namun, jika standar internasional itu menyebabkan ketidakefektifan atau ketidakpantasan terhadap pencapaian tujuannya, misalnya dikarenakan kondisi cuaca tertentu, maka tidak harus didasarkan pada standar internasional. (Article 2.4.TBT Agreement)
d. Prosedur dan formalitas pajak
Banyak kasus dalam perdagangan ekspor dan impor, bahwa sering terjadinya keterlambatan di perbatasan karena persyaratan dokumentasi yang tidak perlu dan prosedur serta formalitas kepabeanan yang besarnya melebihi biaya-biaya tariff yang pada akhirnya menimbulkan kerugian.
Untuk itu WTO mengatur mengenai prosedur dan formalitas kepabeanan yang bertujuan mengurangi dampak negative yang diakibatkan dalam perdagangan. Peraturan yang mengatur hal-hal tersebut diatur di dalam Article VIII.1.c. GATT 1994, Agreement on Preshipment Inspection, dan Agreemen on Import Licensing Procedures.
Pada saat ini, perundingan-perundingan dilakukan untuk menciptakan peraturan-peraturan khusus yang dapat menyederhanakan prosedur-prosedur dan formalitas-formalitas kepabeanan, yang umumnya disebut sebagai fasilitas perdagangan (trade facilitation).
Article VIII.1.c.:
“The Contracting Parties also recognize the need for minimizing the incidence and complexity of import and export formalities and for decreasing and simplifying import and export documentation requirements.”
***@***
TUGAS MATA KULIAH HUKUM & KEBIJAKAN PERDAGANGAN INTERNASIONAL Prof. Erman Radjagukguk S.H., LL.M., Ph.D
No comments:
Post a Comment