BAB I
PENDAHULUAN
a. Latarbelakang
Perdagangan bebas multilateral khususnya bidang perdagangan menuju pasar bebas dimulai secara resmi pada tahun 1994, sejak terbentuknya World Trade Organization (WTO) yang merupakan hasil Perundingan Putaran Uruguay yang diselenggarakan dalam kerangka General Agreement on Tariff and Trade (GATT), yang dimulai pada September 1986 di Punta del Este, Uruguay dan berakhir pada 15 April 1994 di Marrakesh, Maroko.
Dengan penandatangan persetujuan akhir yang memuat hasil-hasil Perundingan Perdagangan Multilateral Putaran uruguay (Final Act Embodying The Results of The Uruguay Round of Multilateral Trade Negotiations) pada tanggal 15 April 1994 di Marrakesh, Maroko, negara peserta perundingan menyepakati bahwa Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia (Agreement Establishing The World Trade Organization) beserta seluruh Lampirannya diharapkan akan dapat mulai diberlakukan pada tanggal 1 Januari 1995. Namun demikian, kepastian mengenai tanggal mulai berlaku efektifnya Persetujuan tingkat Menteri yang bertanggung jawab di bidang Perdagangan dari negara-negara penandatangan Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia yang akan diadakan selambat-lambatnya sebelum akhir tahun 1994.
Indonesia pada tahun 1994 dengan menandatangani dan meratifikasi Perjanjian Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia melalui undang-undang Nomor 7 tahun 1994 tentang Pengesahan Agreement Establishing The World Trade Organization maka resmi menjadi anggota dari WTO dan tunduk serta patuh atas aturan-aturan perdagangan dunia yang telah disepakati dan tercantum dalam GATT 1994. Seluruh perjanjian WTO dianggap sebagai single undertaking, semua negara anggota WTO menandatangani perjanjian-perjanjian WTO sebagai satu kesatuan paket.
Selain mengatur perdagangan barang di dalam General Agreement on Tariff and Trade (GATT), WTO juga telah melakukan pengaturan terhadap perdagangan komoditas pertanian, melalui mekanisme Agreement on Agriculture (AoA), yang merupakan bagian tak terpisahkan dari dokumen hukum WTO. Setidaknya terdapat tiga komitmen dalam AoA, yakni perluasan akses pasar, pengurangan subsidi domestik, dan pengurangan subsidi impor, ditambah satu klausula perlakukan khusus dan berbeda bagi Negara Berkembang.
Masuknya Indonesia dalam WTO, telah membuat liberalisasi pertanian di Indonesia berlangsung secara radikal dan lebih cepat dari yang direncanakan. Beberapa kebijakan pemerintah sebagai dampak dari patuhnya Indonesia sebagai Negara anggota WTO adalah, mencabut subsidi pertanian; subsidi pupuk, subsidi dalam bentuk kredit, dan subsidi harga dikurangi. Pada saat bersama, pemerintah menghapus kebijakan tariff dan hambatan-hambatan lain bagi perdagangan bebas.
Aturan AoA di dalam WTO, dengan bantuan IMF dan Bank Dunia, telah menghancurkan tembok kedaulatan nasional negara-negara merdeka. Negara-negara di dunia, khususnya Negara Dunia Ketiga, dipaksa untuk tunduk patuh terhadap segala aturan AoA-WTO. Berbeda dengan Negara Maju, sebagai pihak yang mendesakkan AoA-WTO, mereka justru lebih banyak melakukan pengingkaran. Akibatnya, janji keterbukaan dan keadilan urung terlaksana, dan hanya sekedar menjadi keniscayaan.
Indonesia yang masuk dalam kesepakatan AOA WTO terpaksa memenuhi beberapa komitmen ekonomi-politik AOA. Pertama, perluasan pasar. Pemerintah Indonesia harus menerima kenyataan bahwa pasar domestik bisa diintervensi oleh produk pertanian negara lain. Kedua, subsidi domestik. Dalam nota kesepakatan AOA, setiap negara harus mengurangi beban subsidi bagi petani dan pertanian agar subsidi dari negara tidak mendistorsi pasar. Sejak 1998, pemerintah akhirnya mencabut subsidi atas input-input pertanian, termasuk subsudi pupuk, benih ataupun racun hama. Ketiga, pengeliminasian peran STE (State Trading Enterprises). Negara yang menyepakati perjanjian pertanian (AOA) WTO harus menghapus peran monopoli Bulog dalam proses distribusi dan jual beli produk pertanian.[1]
Dengan diberlakukannya AOA pada tahun 1994, sektor pertanian akan menghadapi ancaman besar, karena produk-produk pertanian dan tanaman pangan yang diimpor harus diberikan akses ke pasar domestik. Salah satu contoh mencolok adalah masuknya beras impor dan gula yang merusak penjualan beras domestik dan gula pada awal tahun 2000. Demikian juga, semua dukungan bagi petani kita akan dibasmi atau dikurangi ketika peraturan tentang pengurangan dukungan domestik menjadi efektif. Ini berarti bahwa program-program pinjaman lunak untuk petani dan subsidi pada input pertanian tidak akan lagi diperbolehkan. Selain itu, negara tidak akan lagi dapat mendukung kapasitas ekspor petani kita. Petani harus bersaing di pasar sendirian tanpa dukungan negara. Ini semua ditentukan oleh AOA tersebut.
Liberalisasi perdagangan di bidang pertanian ini akan semakin membuat keterpurukan pertanian di Indonesia. Apalagi pertanian merupakan sektor vital bagi rakyat Indonesia. Tekanan WTO terhadap Negara ketiga, khususnya Indonesia, untuk mematuhi seluruh aturan di dalam WTO tidak memberi banyak pilihan kepada pemerintah Indonesia untuk dapat memberikan proteksi terhadap pertanian Indonesia. Namun, apakah sikap pemerintah Indonesia ini merupakan pilihan rakyat Indonesia, mengingat bahwa liberalisasi pertanian akan semakin memarjinalkan rakyat Indonesia.
b. Rumusan Masalah
Latarbelakang inilah yang kemudian membawa makalah ini untuk menguraikan dan menganalisis lebih dalam lagi mengenai dampak pertanian Indonesia dari keterikatan Indonesia pada Agreement on Agriculture (AoA), khususnya jika ditinjau dari ilmu Sosiologi Hukum.
Untuk itu, makalah ini akan menyajikan dua permasalahan untuk dikaji dan dianalisis dengan pisau ilmu sosiologi hukum dan ilmu hukum internasional, serta ilmu hukum perdagangan internasional. Adapun rumusan masalah yang disusun adalah sebagai berikut:
1. Bagaimanakah Pengaruh World Trade Organization (WTO) terhadap kebijakan pertanian di Indonesia?
2. Bagaimanakah dampak Agreement on Agriculture (AoA) dan kebijakan pertanian Indonesia terhadap rakyat Indonesia, khususnya terhadap petani kecil?
BAB II
TEORI SOSIOLOGI HUKUM
a. Pengertian Sosiologi Hukum
Ilmu sosiologi hukum merupakan cabang baru dari ilmu sosiologi. Ia lahir dari sebuah proses perubahan didalam masyarakat. Perkembangan yang begitu cepat didalam masyarakat yang dipengaruhi oleh faktor internal masyarakat itu sendiri, misalnya konflik yang tercipta didalam masyarakat, yang akhirnya mengantarkan pada pembaruan pada metode pengkajian didalam ilmu hukum yang tidak lagi berpusat hanya pada metode analitis-positivis.
Ada dua Model dalam mengkaji hukum, yang menurut George Gurvitch dalam bukunya Sosiologi Hukum (1961) yaitu yang pertama adalah yang ada hubungannya dengan positivism hukum (Logical Normativism) atau disebut dengan Analitis-Positivis dimana analitis positivis ini menyamakan hukum dengan keseluruhan peraturan dan asas yang dipakai oleh pengadilan untuk menjatuhkan putusannya (Jurisprudence Analitical)
Model Analitis-positivis hanya melihat ansich hukum murni tanpa ada pengaruh lain diluar hukum dalam mengkaji hukum yang menggunakan cara penyelidikan hukum secara normatif dan formalistis serta menganggap cara lainnya itu merusak obyek yang diselidiki. Itulah sebabnya, aliran analitis-positivis menganggap sosiologi tidak dapat menyelidiki hukum dan ilmu hukum dan tidak dapat menerangkan kenyataan sosial.
Ahli utama aliran analitis-positivis, Hans Kelsen menganggap, bahwa sangat mudah untuk mengakui suatu sistem hukum yang telah dikembalikan kepada norma asasinya adalah identik dengan Negara nasional dan dengan Negara sedunia.[2]
Ilmu hukum yang memuat metode dogmatis pada gilirannya merupakan ilmu yang tidak lagi sepenuhnya bersifat obyektif, hal ini dikarenakan sudah memihak dan membuat penilaian (judgement), yaitu dengan memihak kepada hukum yang berlaku. Maka ilmu hukum yang demikian itu lebih baik dimasukkan kedalam kategori ilmu hukum praktis (practical science) oleh karena menjadi acuan keilmuan bagi para professional hukum, seperti hakim, jaksa, dan advokat. Mereka ini membutuhkan ilmu, metode, dan teori hukum yang dapat memberikan semacam ketenangan dalam menjalankan pekerjaannya.
Model yang kedua, yaitu Analitical Jurisprudence melihat dan mengkaji hukum dengan cara tidak lagi berpusat hanya pada perundang-undangan, melainkan dalam konteks yang lebih luas. Lebih luas disini dengan meminjam definisi Donald Black, yang artinya adalah memungkinkan hukum itu juga dilihat sebagai perilaku dan struktur sosial.[3]
Menurut Roscoe Pound yang juga menganut Analitical Jurisprudence atau yang juga disebut sociological jurisprudence menyatakan, semua hukum bergantung pada praktek serta putusan pengadilan daripada kepada Negara atau kekuasaan berdaulat manapun, argumentasi inilah yang kemudian dijadikan dasar pada Negara yang menganut sistem Anglo-saxon, karena dibangun di atas cita keunggulan hukum adat, terpaut pada Judicial Empiricism (Pound).[4]
Roscoe Pound juga menyatakan argumennya mengenai kajian Analitical Jurisprudence, yaitu:
“Hukum harus mantap (stable), tetapi tidak boleh berhenti (Dinamis)”[5]
Model ini tidak ada pemihakan dan penilaian yang subyektif terhadap hukum. Dalam membuat atau menuliskan logika sosiologis tersebut orang tidak menilai atau menghakimi kenyataan, melainkan membiarkan kenyataan itu berbicara dengan sendirinya. Dengan demikian, logika yang dipakai adalah logika perjalanan kenyataan itu sendiri. Perkembangan yang akhirnya melahirkan sosiologi hukum dapat juga diproyeksikan kepada latar belakang pemikiran anti-formalisme dalam hukum.
Dari model kedua tersebut diatas, maka kebutuhan untuk mengkaji hukum berdasarkan atas kondisi sosial masyarakat yang ada, yang akhirnya mendorong akan ilmu sosiologi. Sosiologi adalah ilmu yang mengkaji masyarakat atau kondisi sosial masyarakat, sehingga sosiologi hukum adalah ilmu yang mengkaji hukum dengan menggunakan analisis kondisi sosial masyarakat.
Pada dasarnya ilmu sosiologi hukum dilandaskan pada filsafat. Penulis melihat bahwa ada hubungan yang sangat terkait antara filsafat dengan ilmu sosiologi hukum. Filsafat menjadi pembuka jalan bagi kelahiran sosiologi hukum. Filsafat selalu berusaha untuk mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang tuntas.
Perubahan-perubahan dalam masyarakat yang barang tentu dihadapkan pada tradisi dan pemikiran yang sudah mapan, niscaya menimbulkan situasi-situasi konflik. Keadaan seperti itu ditunjuk sebagai faktor yang mendorong kehadiran sosiologi hukum. Schuyt menghubungkan perkembangan serta kemajuan sosiologi hukum di Skandinavia, Amerika Serikat, dan Jerman dengan perubahan sosial serta situasi-situasi konflik yang terjadi di Negara-negara tersebut.[6]
b. Hukum dan Perubahan Sosial
Kajian sosiologi hukum yang bersandar pada kondisi masyarakat dan segala perubahan-perubahannya yang selalu melekatkan hukum dengan perubahan sosial yang ada didalam masyarakat. Perubahan-perubahan tersebut disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu kondisi masyarakat itu sendiri, teknologi dan penemuan baru, pengetahuan, perubahan nilai-nilai, dan perilaku.
Perubahan itu dapat terjadi dengan tiga hal, yaitu pertama secara cepat ataupun secara lambat. Kedua, karena pengaruh kecil atau pengaruh besar, dan yang ketiga, perubahan dapat terjadi karena dikehendaki dan direncanakan ataupun tidak dikehendaki dan tidak direncanakan.
Salah satu pelopor hukum dan perubahan sosial adalah Roscoe Pound, yang pada tahun 1912 membuat suatu gagasan yang kemudian dikenal satu ajarannya, yaitu Social Engineering (Rekayasa Sosial), yang lengkapnya adalah “Law as a tool of social engineering” yang artinya bahwa hukum merupakan sarana yang dilakukan secara sadar dan sengaja untuk merubah masyarakat.
Penggunaan hukum sebagai sarana rekayasa sosial membawa pada penelitian mengenai kaitan antara pembuatan hukum atau cara-cara yang dilakukan oleh hukum dengan hasil atau akibat yang kemudian muncul. Kaitan tersebut tidak dapat dilepaskan dari anggapan bahwa hukum itu merupakan sarana atau instrument yang dipakai untuk mencapai tujuan-tujuan yang jelas. Dengan demikian, hukum sudah masuk pada kawasan politik, karena hukum sudah menjadi sarana implementasi keputusan-keputusan politik.
Penguasaan badan-badan sebagai alat pembuat peraturan oleh kekuasaan kelompok tertentu pastinya mengharapkan aturan yang diciptakan akan membuat suatu ketertiban hukum berdasarkan perspektif penguasa, dan bukanlah suatu ketertiban hukum yang lahir dari keinginan masyarakat dengan tujuan kesejahteraan dan kemakmuran bangsa.
Perubahan sosial yang dikehendaki dengan teori Social Engineering ini pada akhirnya mendapatkan pertentangan dengan paradigma hukum lainnya. Paradigma hukum lainnya ingin selalu mengontrol hukum dari nilai yang dijunjungnya dan dengan demikian menjadi kaidah tolak ukur. Dalam doktri “Rule of Law”, dikatakan bahwa control terhadap hukum dikehendaki untuk mengendalikan kekuasaan untuk tidak bebas mengatur seperti dikehendakinya sendiri. Kritik dan kontrol inilah yang tidak menjadi perhatian dari teori “Social Engineering”, dimana teori ini melihat kekuasaan sebagai hal yang diterima tanpa ada persoalan lagi, untuk kemudian perhatian lebih diarahkan kepada usaha apa yang harus dilakukan untuk dapat menggunakan hukum sebagai tujuan-tujuan yang dikehendaki secara efektif. Dari hal ini, maka penguasa hanya melihat hukum sebagai alat untuk memperoleh segala tujuannya secara efektif tanpa mau dikontrol dan dikritik serta tanpa mempedulikan kehendak rakyat yang sebenarnya. Itulah mengapa, dalam social engineering dikatakan bahwa hukum telah menjadi sarana implementasi keputusan-keputusan politik.
Pelopor lain yang juga berbicara tentang perubahan sosial adalah Karl Marx, dengan teori filsafatnya materialisme dialektika historis, menyatakan bahwa: Sejarah dari semua masyarakat yang ada hingga sekarang ini adalah sejarah perjuangan kelas.[7] Perjuangan kelas antara kepentingan kelas feodal dan kelas borjuasi beserta kelas proletar inilah yang akhirnya membawa pertentangan kelas tersebut kearah revolusi, yang akhirnya membawa satu perubahan penting di Negara-negara maju, seperti Eropa. Dalam revolusi itulah feodalisme tumbang dan digantikan dengan sistem kapitalisme yang menguasai seluruh tatanan negeri, baik ekonomi, hukum, politik, dan sosial budaya.
Perubahan masyarakat kedalam masyarakat kapitalis sejak Abad ke-18, telah membagi masyarakat pada dua kelas masyarakat, yakni antara masyarakat kelas berpunya (Kelompok borjuis) dan masyarakat kelas tidak berpunya (Kelompok pekerja/Mayoritas Rakyat/Proletar). Dua kelas ini merupakan kelas yang saling berlawanan (secara kepentingannya), dimana kelas Borjuasi menginginkan tegaknya sistem kapitalisme dan kelas Proletar menginginkan tegaknya sistem sosialisme.
Perbedaan antara dua kepentingan ini, saling bertentangan dan sulit untuk didamaikan. Hal ini dikarenakan, kekuasaan yang dimiliki kaum borjuasi teramat besar, dimana mereka menguasai politik dan hukum yang menguasai lembaga eksekutif, legislative, serta yudikatif oleh Kaum Borjuasi (Pengusaha untuk masa sekarang ini) semakin memperkokoh tujuan mereka dengan membuat peraturan dan perundang-undangan yang mendukung kepentingan ekonomi mereka. Inilah yang dikatakan oleh Marx bahwa, “Law is instrumentalist and views the legal system in function of its role as an instrument of control serving bourgeois interest”.[8] (hukum merupakan alat bagi penguasa borjuis untuk mempertahankan kepentingannya).
Yang juga dalam bukunya, Deflem menyebutkan bahwa, politik dan sosial kebudayaan dari sebuah masyarakat merupakan hasil dari pertentangan yang dikarenakan kepentingan ekonomi.
“The political, cultural, and socio-historical conditions of a society are explained as the outcome of opposing forces that are of an economic nature”.[9]
c. Efektivitas Hukum dan Penegakan Hukum
Menilik pada teori Social Engineering-nya Roscoe Pound, maka pertanyaan mendasar dalam hukum sebagai sarana rekayasa sosial adalah tentang kemungkinan bagi terlaksananya aktivitas tersebut, yaitu apakah hukum itu memang mampu menjadi sarana untuk menciptakan sesuatu atau untuk menimbulkan perubahan. Karena hukum hanya berfungsi sebagai institusi untuk mempertahankan status quo.
Membicarakan efektivitas hukum hanya dapat dilakukan dengan pendekatan sosiologis, yaitu mengamati interaksi antara hukum dengan lingkungan sosialnya. Hukum harus senantiasa diuji kehadirannya dari hasil dan akibat yang ditimbulkannya dalam kehidupan masyarakat yang luas. Pertanyaan-pertanyaan yang relevan untuk menguji efektivas sebuah hukum adalah pertanyaan-pertanyaan yang bersifat sosiologis, seperti:
1. Apakah hukum itu betul-betul mengatur masyarakat?
2. Apakah hukum itu memang melakukan hal-hal seperti dikatakanya?
3. Apakah hukum betul-betul menimbulkan akibat seperti dikehendakinya?
4. Apakah sesuatu itu timbul memang karena disebabkan oleh dikeluarkannya suatu undang-undang? Ataukah karena sebab-sebab yang lain?
5. Apakah undang-undang yang dikeluarkan dengan tujuan tertentu tidak malah memunculkan hasil yang sebaliknya? Apakah hukum juga dapat berhasil kriminogen?[10]
Dalam hal suatu hukum ingin mendapatkan suatu akibat yang diinginkan sesuai dengan tujuan, maka Adam Podgorecki mengajukan beberapa langkah yang harus ditempuh, apabila pembuatan hukum ingin memberikan akibat seperti yang dikehendaki.[11] Langkah-langkah dalam rekayasa sosial tersebut adalah:
1. Mendeskripsikan situasi yang dihadapi dengan baik
2. Analisis terhadap penilaian-penilaian mengenai situasi tersebut dan menentukan jenjang susunannya
3. Melakukan verivikasi hipotesa-hipotesa
4. Pengukuran efek hukum yang dibuat.
Dalam pemahaman hukum sebagai sarana, maka pembuatan peraturan/hukum dimaksudkan untuk mencapai sasaran sebagaimana yang telah ditentukan didalam peraturan/hukum tersebut. Namun, pembuat peraturan/hukum tidak mampu mengantisipasi akibat yang akan muncul akibat dari tindakannya membuat peraturan/hukum tersebut. Sehingga ketidakbersediaan masyarakat untuk tunduk dan patuh dengan apa yang telah ditentukan dalam peraturan/hukum tersebut yang pada akhirnya menimbulkan akibat atau hasil yang tidak dapat diantisipasi sebelumnya.
Misalnya saja, seperti pembuatan undang-undang No.25 tahun 2007 tentang Penanaman Modal, dimana maksud dan tujuan legislative adalah untuk membuka pintu bagi investor untuk menanamkan modalnya di Indonesia dengan mudah dan tidak terdiskriminasi dengan investor lokal guna peningkatan perekonomian Indonesia. Namun, pembuat perundang-undangan tidak mampu membendung gejolak penolakan mayoritas rakyat terhadap undang-undang tersebut, dikarenakan undang-undang tersebut akan membawa rakyat Indonesia pada proses permajinalan dan membawa Indonesia pada keterpurukan karena tidak mampu bersaing dalam persaingan bebas akibat pemberlakuan prinsip-prinsip liberalisme di dalam pasar.
Inilah keterbatasan pembuat undang-undang berkaitan dengan ketidakmampuannya untuk memperkirakan jalinan perikatan yang akan terjadi antar undang-undang dan lingkungannya, yang pada akhirnya menghalangi kemampuannya untuk memprediksi tentang hasil pekerjaannya yang sesungguhnya.
Efektivitas hukum sebagai instrument rekayasa sosial harus dilihat dari 2 (dua) proses, yakni, proses institutionalization dan proses internalization. Pertama, proses institutionalization, penanaman instrument dilakukan oleh sebuah institusi dan memiliki waktu yang cepat dalam proses penanamannya, karena adanya unsur paksaan. Namun, proses ini akan mendapat tentangan dari masyarakat yang merasa adanya ketidakadilan dari suatu undang-undang/peraturan/hukum. Kedua, Proses internalization, penanaman instrument dilakukan karena adanya kesadaran masyarakat akan suatu keadilan didalam suatu undang-undang/peraturan/hukum.
Efektivitas hukum dapat juga dilihat dari sisi orientasi suatu undang-undang/peraturan/hukum. Pertama, orientasi kebijakan, dimana efektivitas suatu perundang-undangan ada didalam tujuan dan akibat. Akibat yang tidak diharapkan tidak dapat diprediksi dan diluar dari tujuannya. Kedua, orientasi sosiologis, yaitu efektivitas perundang-undangan ada didalam nilai-nilai masyarakat dan kepentingan-kepentingan masyarakat yang diakomodir didalam suatu perundang-undangan/peraturan/hukum.
Secara sosiologis, pembuatan undang-undang tidak dilihat sebagai kegiatan yang mutlak otonom. Dalam prespektif yang demikian itu, maka pekerjaan tersebut memiliki asal-usul sosial, tujuan sosial, mengalami intervensi sosial, dan mempunyai dampak sosial.
Pembicaraan mengenai efektivitas undang-undang membawa masuk ke dalam pembicaraan mengenai kehadiran hukum sebagai suatu instrument kebijaksanaan (policy) dari suatu badan atau satuan politik tertentu. Dengan sosiologi pembuatan hukum, maka akan melacak kekuatan-kekuatan yang melahirkan suatu produk perundang-undangan. Pembuatan perundang-undangan bukan suatu proses yang bersih dari lingkungan sosial dengan kepentingan yang ingin memaksa masuk ke dalam undang-undang sehingga memperoleh legalitas dengan sekalian akibatnya.
Dalam era hukum modern, pembuat undang-undang bukan sekedar merumuskan materi secara baku, tetapi membuat putusan politik terlebih dahulu. Dalam merumuskan putusan politik itulah konfigurasi kekuatan dalam badan tersebut menjadi penting. Intervensi dari luar badan tersebut juga tidak dapat diabaikan. Intervensi tersebut terutama hanya dapat dilakukan oleh golongan yang memiliki kekuasaan dan kekuatan, baik secara sosial, politik maupun ekonomi. Rakyat banyak tidak memiliki kemampuan untuk melakukan pendekatan atau lobi seperti golongan yang kuat.
Penegakkan hukum merupakan suatu proses logis yang mengikuti kehadiran peraturan hukum guna mendapatkan keefektivan sebuah hukum beserta akibat-akibat yang diharapkan. Ada beberapa faktor yang menentukan dalam proses penegakan hukum, yaitu:
a. Peraturannya
b. Penegak hukum
c. Kesadaran hukum masyarakat
d. Fasilitas atau sarana yang menunjang penegakkan
e. Budaya hukum masyarakat
Penegakkan hukum juga ditentukan oleh kepatuhan hukum masyarakat terhadap hukum yang dibuat. Kajian sosiologis terhadap kepatuhan hukum dapat dilihat dari 2 (dua) perspektif, yaitu perspektif instrument dan perspektif normatif. Perspektif instrument melihat kepatuhan hukum tergantung dari kemampuan hukum untuk membentuk perilaku patuh itu sendiri dengan adanya reward, baik itu reward yang bersifat positif (insentif) maupun yang bersifat negative (sanksi). Perspektif normatif melihat kepatuhan hukum berhubungan dengan keyakinan masyarakat akan adanya keadilan dan moral yang termuat dalam hukum itu sendiri.
BAB III
WTO DAN AGREEMENT ON AGRICULTURE
a. World Trade Organization
World Trade Organization (WTO) merupakan organisasi internasional yang masih baru, didirikan dan mulai beroperasi 1 Januari 1995 berdasarkan persetujuan WTO. Persetujuan WTO ini ditandatangani pada 15 April 1994 di Marakesh, Maroko oleh Negara-negara dan wilayah-wilayah kepabeanan yang berdaulat yang berpartisipasi dalam putaran Uruguay dimana negosiasi-negosiasi perdagangan multilateral dilakukan (yang selanjutnya disebut putaran Uruguay) mulai dari tahun 1986 sampai dengan 1993.
Tugas utama WTO adalah mendorong perdagangan bebas, dengan mengurangi dan menghilangkan hambatan-hambatan perdagangan seperti tariff dan non tariff (misalnya regulasi); menyediakan forum perundingan perdagangan internasional; penyelesaian sengketa dagang dan memantau kebijakan perdagangan di negara-negara anggotanya.
WTO merupakan metamorfosis dari Perjanjian Umum Bea Masuk dan Perdagangan atau GATT (General Agreement on Tariff and Trade), sebagai bagian dari kesepakatan di Bretton Woods, Amerika. GATT dibentuk pada tahun 1947 sebagai bagian dari serangkaian lembaga yang diciptakan untuk menunjang upaya menata kembali sistem perekonomian dunia pada akhir perang dunia II.
Tujuan GATT bukan untuk menerapkan free trade dalam arti perdagangan bebas tanpa rintangan, tetapi untuk menerapkan aturan permainan sehingga perdagangan internasional dapat berkembang secara transparan dan predictable dengan peluang untuk melakukan liberalisasi secara bertahap melalui serangkaian perundingan yang diselenggarakan secara berkala. Sejak 1947 ada delapan perundingan dagang dimana Putaran Uruguay adalah perundingan paling akhir yang terpanjang (berlangsung dari September 1986 hingga April 1994), rumit dan penuh kontroversi sebelum melahirkan WTO. Perlu ditekankan, tersirat prinsip bahwa liberalisasi di bidang perdagangan akan lebih menunjang upaya peningkatan pertumbuhan ekonomi dan peningkatan kemakmuran, namun masih banyak pihak yang ingin tetap mempertahankan adanya proteksi.[12]
Berbeda dengan GATT yang menyusun aturan main di bidang perdagangan internasional, tetapi bukan sebuah institusi; sementara metamorfosisnya yaitu WTO adalah sebuah institusi dengan aturan yang jelas serta daya penegakan yang kuat.
WTO mempunyai anggota 149 negara serta 32 negara pengamat yang sudah mendaftar untuk jadi anggota. Di dalam WTO Agreement ada 2 cara untuk menjadi anggota WTO yaitu:[13]
a. Original Membership, keanggotaan yang didapatkan karena Negara tersebut merupakan pendiri dari WTO.
b. Accession, keanggotaan yang didapatkan dengan proses negosiasi.
Keanggotaan yang didapatkan dengan proses accession, calon anggota WTO harus melalui beberapa tahap untuk menegosiasikan beberapa hal dengan anggota-anggota lainnya. Hal-hal yang dinegosiasikan adalah mengenai komitmen dan konsesi mengenai akses pasar. Ketika suatu Negara atau customs territory masuk menjadi anggota WTO setelah melalui proses aksesi, maka keuntungan-keuntungan dari penurunan tariff dan pembukaan akses pasar dapat dinikmatinya juga. Ada 4 tahap dalam proses accession ini, yaitu:
a. Tahap “Tell us about your self”, dimana di dalam tahap ini Negara calon anggota harus melaporkan kepada Negara-negara anggota WTO (Current Members) mengenai segala aspek mengenai peraturan-peraturan perdagangan dan ekonomi dinegaranya serta mengajukan nota.
b. Tahap Initiated atau tahap “Work out with us individually what you have to offer”, dimana di dalam tahap ini dilakukan negosiasi bilateral (Bilateral Negotiations), karena masing-masing Negara anggota memiliki kepentingan perdagangan yang berbeda-beda, tetapi hasil dari komitment dan konsesinya berlaku seimbang kepada seluruh anggota WTO sebagai pelaksanaan prinsip Most-Favored Nation (MFN).
c. Tahap “Let’s draft membership terms”, dimana di dalam tahap ini merupakan tahap finalisasi atas draf Membership Treaty, yang terdiri dari jadwal Komitmen dan konsesi Akses Pasar, yang kemudian diajukan ke Konferensi Menteri atau General Council.
d. Tahap “The Decisions”, dimana tahap ini merupakan tahap penentuan apakah suatu Negara atau customs territory dapat menjadi anggota atau tidak. Dalam tahap penentuan ini, Ministerial Conference atau General Council menentukan dengan cara consensus. Atau jika dengan cara consensus tidak dapat tercapai, maka dapat dilakukan dengan suara terbanyak 2/3 dari anggota WTO.[14]
Keanggotaan ini diatur di dalam Article XI dan Article XII WTO Agreement (Marrakesh Agreement Establising The World Trade Organization). Article XI mengatur mengenai “Original Members” dan Article XII mengatur mengenai “Accession”.
Article XI:
(1) The contracting parties to GATT 1947 as of the date of entry into force of this Agreement, and the European Communities, which accept this Agreement and the Multilateral Trade Agreements and for which schedules fo concessions and commitments are annexed to GATT 1994 and for which schedules of specific commitments are annexed to GATS shall become original members of the WTO.
(2) The least-developed countries recognized as such by the united nations will only be required to undertake commitments and concessions to the extent consistent with their individual development, financial and trade needs or their administrative and institutional capabilities.
Article XII:
(1) Any states or separate customs territory possessing full autonomy in the conduct of its external commercial relations and of the other matters provided for in this Agreement and the Multilateral Trade Agreements may accede to this Agreement, on terms to be agreed between it and the WTO. Such accession shall apply to this Agreement and the Multilateral Trade Agreements annexed hereto.
(2) Decisions on accession shall be taken by the Ministrial Conference. The Ministrial Conference shall approve the agreement on the terms of accession bya a-two-third majority of the Members of the WTO.
No comments:
Post a Comment