(Pemahaman Dasar Dalam Filsafat Hukum Tentang Marxisme-telah dipresentasikan)
A. Pendahuluan
Marxism[1] adalah sebuah sistem ilmu yang mempelajari tentang masyarakat (sociology), filsafat manusia dan masyarakat dan doktrin politik. Tak terfikirkan sebelumnya paham marxis ini menjadi sebuah doktrin yang sangat penting dalam pergerakan politik dari hampir semua orang-orang di Dunia. Semangat yang dibawanya adalah jelas yaitu mengkritik sistem kapitalisme yang di anggap buruk bagi kehidupan manusia. Begitupun ketika pemikiran itu masuk kedalam dunia hukum, teori marxis tentang hukum juga membawa kritik terhadap kehadiran hukum dalam tatanan masyarakat kapitalis.
Dalam tatanan masyarakat kapitalis, hukum jelas tidak bebas nilai, tidak bersifat netral dan terkait dengan faktor ekonomi serta politik yang ada. Yang patut mendapatkan perhatian pertama-tama ketika membicarakan masalah hukum dari perspektif Marxis adalah, bahwa Karl Marx sendiri tidak pernah menghasilkan suatu karya yang dapat disebut sebagai suatu “teori tentang hukum” yang utuh.[2] Marx sendiri lebih tepat dikatakan sebagai seorang pemikir, filsuf, aktivis di bidang ekonomi dan politik.[3] Upaya untuk merancang secara lebih lengkap dan menyeluruh tentang teori hukum dalam wilayah pemikiran Marx dilakukan oleh para pengikut teori Marx yaitu para Marxis.
Kritik-kritik tersebut pada intinya berpendapat bahwa hukum tidak bisa dilepaskan dari faktor-faktor yang ada didalam masyarakat, seperti faktor moral, nilai, etika, ekonomi, bahkan politik. Alasan kedua ialah untuk memberikan alternative pisau analisis dalam memahami fenomena ketidak berdayaan hukum dalam memberikan rasa keadilan di masyarakat. Satjipto menyatakan bahwa telah terjadi proses bekerjanya hukum yang justru “kontra produktif “. Satjipto juga bahkan menyatakan bahwa “hukum yang membawa panji-panji keteraturan dan ketertiban, misalnya, ternyata dapat menimbulkan suasana yang sebaliknya. Ia tidak hanya bersifat ordegenik melainkan juga kriminogenik.[4]
Keadaan hukum seperti yang disebut diatas tidak dapat dipecahkan apabila hanya bersandar pada analisis hukum yang positivis (positivisme hukum). Positivisme hukum menghendaki dilepasnya unsur nilai, moral, etika, sosial dan politik dari sistem hukum.[5] Positivisme hukum juga melihat hukum semata-mata dalam bentuk formalnya, [6] maka kemudian yang terjadi adalah reduksi terhadap proses hukum yaitu semata-mata hanya sebagai proses peraturan.[7] Positivisme hukum akan menjawab masalah kemacetan hukum dalam menciptakan keadilan dengan kembali melakukan proses pembentukan peraturan yang baru, “banjir” peraturanpun akhirnya terjadi, tidak peduli apakah peraturan itu akan berlaku efektif atau tidak didalam masyarakat.
Sebagai kritik terhadap pendekatan positivisme hukum, maka yang perlu dilakukan adalah merubah sudut pandang terhadap proses hukum. Proses hukum harus dipandang sebagai proses yang melibatkan interaksi antar manusia atau “proses prilaku”, yang didalamnya terkait pula berbagai faktor, seperti faktor nilai, moral, etika, sosial, dan politik. Manusialah yang berperan dalam proses hukum, karena peraturan tidaklah mempunyai arti apa-apa kalau tidak ada faktor manusia yang menjalankannya.[8] Oleh karena itu maka diperlukan pendekatan alternative selain pendekatan yang positivis dalam menjawab permasalahan hukum dimasyarakat, dan pendekatan itu sebaiknya juga iktu mempertimbangkan banyak faktor yang ada didalam masyarakat. Pendekatan alternative itu salah satunya adalah pendekatan Marxis tentang hukum, yang menjadi pokok pembahasan dalam makalah ini. Pendekatan Marxis tentang hukum dan negara bisa dinyatakan secara kasar sebagai Teori ekonomi dari hukum dan negara,[9] bahkan diklaim oleh salah satu pemikirnya, Evegny Pashukanis, sebagai sesuatu yang dibangun berdasarkan kenyataan sosial.[10]
B. Pokok Pembahasan
Paling tidak ada 2 (dua) hal yang dapat dijadikan sebagai alasan untuk menjawab pertanyaan mengenai “Apa perlunya mempelajari atau mengetahui tema hukum dalam lingkup pemikiran Marxis,” yaitu : Alasan pertama adalah untuk memperluas atau memperkaya pemahaman mengenai teori hukum itu sendiri. Karena terdapat kecenderungan dalam kegiatan proses pembelajaran ilmu hukum, bahwa masalah hukum itu dilihat dari sudut pandang legal positivism,[11] hukum dilihat sebagai suatu yang bebas nilai atau tidak terkait sama sekali dengan faktor sosial dan kepentingan politik. Kritik terhadap sudut pandang seperti itu sudah banyak dilontarkan oleh para ahli hukum, misalnya seperti yang dilakukan oleh Satjipto Rahardjo dalam gagasannya mengenai “Hukum Progresif” atau juga oleh Roberto unger serta Duncan Kennedy dengan Critical Legal Studies-nya (CLS).
Pembahasan dalam makalah ini adalah mengenai teori Marxis tentang hukum, dimana penulis akan memberikan gambaran secara deskriptif dengan memaparkan secara umum tentang beberapa pokok-pokok pemikiran atau landasan filsafat Marxis .
C. Pembahasan.
I. Landasan Filsafat Marxis.
Pemikiran Marx sering kali disalahpahami karena orang banyak membacanya dari tafsir orang lain entah dari kaum Marxis sendiri atau yang Anti Marxis. Dalam semiotika modern, tafsir ini tentu saja dibenarkan, namun kalau semua tafsir yang dipisahkan dari teks itu sendiri adalah ”benar”, maka kita sekarang berganti dari kultus pengarang ke kultus pembaca yang jamak itu. Karya tulis Marx dan Engels yang berjudul ”The German Ideology”, tidak hanya sekedar teks filsafat, frase-frase tentang filsafat, sejarah, politik dan ekonomi, tapi kritik terhadap frase-frase yang selama zamannya hadir begitu ilusif dari realitas empiris dan memerlukan bukti-bukti empiris yang lebih lanjut.
Marx adalah seorang materialist. Paham materialis tampil di dalam kancah dunia pada abad (XVII) depalan belas yang di perkenalkan oleh beberapa pemiki-pemikir seperti Descartes, Diderot, Holbach, dan Feurbach.[12] Akan tetapi menurut Marx mereka tersebut menggambarkan dunia dan manusia seperti halnya mesin, yang memungkinkan tidak ada kesempatan untuk melakukan penjelasan dari pembangunan. Ia menyatakan “ if the world were a machine it could only do what it was made to do and not develop any new quality”.[13] Marx menemukan prinsip pengembangan yang tampak dalam Hegelian dialectic. Bagi hegel sejarah adalah proses dimana mutlak secara progresif mengungkapkan dirinya sendiri, mengungkapkan lebih dari kebenaran alam itu di periode sebelumnya dari pada periode awal. Dialektika Marx berbeda dengan Hegel’s.[14]Marx menolak filsafat idealis Hegel dan menggantikannya dengan materialsm. Penggabungan dari dialektika Hegel dan teori tentang materialist oleh Marx menghasilkan Dialectical Materialism, dan ini di terapkan kedalam hubungan manusia didalam masyarakat, secara kuhusus untuk perubahan dan pengembangannya Marx menyebutnya Historical materialism.[15]
Dalam The german Ideology premis dasar yang perlu di perhatikan dalam Konsep Marxist tentang sejarah adalah bahwa “natural individuals depends on the material condition determiniting their production”[16]. Dalam karyanya ini Marx dan Engels mengembangkan dan menancapkan pandangan, bahwa kondisi material masyarakat ditentukan oleh corak produksinya. Diuraikannya dan dianalisisnya bentuk-bentuk pemilikan yang terdapat dalam sejarah, yaitu pemilikan dalam masyarakat primitif, pemilikan dalam masyarakat perbudakan, pemilikan dalam masyarakat feodal dan pemilikan dalam masyarakat burjuasi. Perkembangan bentuk-bentuk pemilikan harus dipandang tak terlepas dari (tergantung pada) tingkat perkembangan tenaga-tenaga produksi.
Metode-metode berpikir Marx-Engels tentu saja tidak menghindari cara berpikir manusia sudah ada, yakni logika, namun mereka menekankan arti penting dialektika yang tenggelam dalam dominasi metode berpikir logika terutama dalam perkembangan masyarakat Eropa modern dan diungkap kembali secara mendasar dalam filsafat (atau sejarah ide) Hegel.
Marx sendiri mengatakan tentang penggunaan metode dialektika ini: "… Oleh karena itu, saya secara terbuka mengumumkan diri saya sendiri sebagai murid dari ahli fikir besar itu… Pemistikan yang diderita dialektika di tangan Hegel, sama sekali tak menghalanginya untuk pertama kali menyajikan bentuk-bentuk umum dari fungsinya secara menyeluruh dan ringkas. Dengan Hegel, dialektika berdiri di atas kepalanya. Kita harus membalikkannya, agar kembali ke atas kakinya, agar dapat menemukan inti rasional yang berbalut kulitnya yang mistikal. [17] Apa yang dimaksud Marx dengan “membalikkanya” dan “menemukan inti rasional” itu? Marx menyatakan sebagai berikut: "Metode dialektika saya pada dasarnya tidak hanya berbeda dari metode Hegelian, melainkan secara langsung berlawanan dengan metode Hegel. Bagi Hegel, proses berpikir yang bahkan ditransormasikan menjadi subyek independent dengan nama ide, adalah pencipta dunia nyata, dan dunia nyata hanyalah penampilan eksternal dari ide itu. Bagi saya sebaliknya, ide itu tidak lain dan tidak bukan hanyalah dunia material yang dicerminkan oleh pikiran manusia dan diterjemahkan ke dalam bentuk-bentuk pikiran”.[18]
Marx melihat sejarah, sebagai sejarah dari perjuangan antar kelas. Tapi tidak satupun menciptakan konsep tentang “kelas”[19], juga tidak menawarkan banyak cara analisis kelas dengan sistematis.[20] Di menolak teori yang menyatakan bahwa kelas dibedakan hanya oleh kekayaan dan keimiskinan. Dia juga menolak defenisi bahwa kelas dalam hal sumber-sumber pemasukan mereka. Dalam “Capital”[21] dia menulis bahwa ada tiga kelas besar dalam masyarakat kapitalis, Kaum buruh, Pemodal (Capitalist) dan Pemilik tanah. Alasan beliau membedakannya adalah bahwa tentang konflik kepentingan antara mereka pada dasarnya menurut sejarah penting dari pada konflik yang terjadi didalam kelas mereka sendiri, atau konflik antara mereka dan kelas yang kurang kuat (misalnya golongan petani dan Borjuis).[22]
Posisi marx menjadi sulit dipahami oleh pengakuan dari hadirnya kelas menengah, dan sifatnya dari yang dikelompokkan seperti buruh tani pada posisi pertengahan antara petani dan kaum buruh (proletariat). Memang, ia melihat petani sebagai kelompok reaksioner[23] dan enggan untuk mengidentifikasi mereka dengan kaum proletar perkotaan atas mana ia menyematkan imannya. Kaum intelektual[24] juga menyebabkan permasalahan terhadap Marx. Jadi Itu adalah apa yang disebut kelas bawah (Lumpenproletariat), yaitu suatu strata dalam perekonomian yang sama sekali tidak terhubung dengan sarana-sarana produksi, antara lain para perampok, petualang (vagabond), kriminal, dan lain sebagainya. Walaupun Marx sangat berbeda melihat potensi bagi setiap orang untuk menjadi reaksioner,penjualan adalah merupakan pelayanan kepada kaum borjuasi.
Posisi Marx dalam kelas dengan demikian juga menjadi jelas dan juga tidak mudah. Dia tentu saja tidak menyatakan sebuah masyarakat tetap dan pandangannya bahwa walaupun adanya beberapa variasi yang kemudian timbul dalam kelas, maka hanya Kaum Kapitalist dan Kaum proletariatlah yang menjadi esensi dalam pengembangan masyarakat kapitalis.
II. Marxisme Tentang Hukum & Negara
2.1. Ideologi
Agak sulit jika kita mencoba mendefinisikan ideology marxisme pada satu kalimat saja, karena Ideologi Marxisme merupakan cerminan dari landasan filsafatnya sendiri. Dimana ia menyandarkan filsafatnya pada Materialisme Dialektika Historis yang sebagian diadopsi dari Hegel dan Feurbach. Marx menolak konsepsi idealism dari Hegel dan mengambil konsep dialektika historis dari sejarah masyarakat. Dengan Feurbach, Marx mengambil konsepsi Materialisme, yang menjadi landasan filsafat Marx yang paling nyata.
Pada dasarnya, Marxisme berbicara mengenai masyarakat. Apa yang menjadi pandangan Marx di dalam tulisan-tulisannya mengenai 3 (tiga) hal, yaitu pertama, tentang susunan masyarakat; kedua, tentang perubahan di dalam masyarakat; ketiga, tentang arah perubahan di dalam masyarakat itu sendiri. Marx melihat masyarakat sebagai materi, di mana di dalam materi ini terjadi perubahan-perubahan yang disebabkan oleh perbedaan-perbedaan yang ada di dalam materi itu sendiri.
Yang menjadi perdebatan penting di dalam pembahasan ideology Marxisme ini adalah mengenai konsepsi ideology menurut Marx. Bahwa konsep ini untuk memahami hukum di dalam teori Marxisme. Memang, beberapa perkembangan yang paling menarik dalam teori Marxisme terdapat dalam konsep ideologi[25]. Konsep ideology Marxisme memiliki beberapa arti yang berbeda, yaitu (1) sebagai suatu sistem kepercayaan yang merupakan karakter dari kelas atau kelompok; (2) sebagai suatu sistem kepercayaan berupa ilusi, ide-ide palsu, kesadaran palsu (yaitu sebagai lawan pengetahuan yang ilmiah), (3) sebagai proses umum dari makna produksi dan ide-ide.[26]
Ideologi menurut Marx adalah suatu ekspresi atau pembenaran terhadap kepentingan kelas yang berkuasa (Ideologies is express or justify the interest of dominant classes).[27] Dalam “Ideologi Jerman” Marx dan Engels juga menunjukkan, bahwa ide-ide yang berkuasa dalam masyarakat adalah ide-ide kelas penguasa, bahwa negara ( tidak tergantung pada bentuk pemerintahan—monarkhi, republik demokratis dsb. ) selalu merupakan diktatur kelas tertentu yang menguasai alat-produksi.[28] Perlu dipahami, bahwa marx juga mengatakan bahwa ideology penguasa itu dipengaruhi oleh factor ekonomi. Itu berarti bahwa kelas yang merupakan kekuatan materiil berkuasa dari masyarakat, adalah juga merupakan kekuatan idiil yang berkuasa.
Dalam konsep kelas menurut Marx, bahwa suatu ideology ditransfer dari kelas berkuasa kepada masyarakat yang berada di bawah pengaruh kelas berkuasa. Hal ini dikarenakan, kekuatan kelas yang berkuasa dalam waktu yang bersamaan akan memaksakan kekuasaannya atas pikiran (inteletual) kepada kelas yang dikuasainya. Pada akhirnya, ini lah yang menjadi permasalahan, yaitu ketika sebuah sistem dipaksakan oleh kelas yang berkuasa.
Pendapat lain yang mencoba menggambarkan pandangan Marx tentang Penyebaran ideology dari Kelas berkuasa kepada kelas yang berada dibawah kekuasaan, juga disampaikan oleh:
· Althusser. Althusser menyebutkan mengenai “Ideological State Apparatuses, ISA”, yakni keterlibatan institusi-institusi di dalam Negara yang melakukan penyebaran ideology dalam satu arah. Namun, ISA sangat berbeda dengan “Repressive State Apparatuses”. (….There are a vast num ber of institutions involved in one way or another in the dissemination of ideology and these are state ideological apparatuses[29]) Althusser telah merinci aparatur-aparatur yang menjadi alat untuk melakukan hegemoni ideology penguasa kepada rakyat, yaitu di dalam Agama, pendidikan, Politik, Hukum, Budaya, Komunikasi, Keluarga, dll. Kelas berkuasa dibawah perlindungan atas nama Negara, memiliki banyak tenaga untuk mempengaruhi di dalam masyarakat, dibandingkan dengan kelas yang berada di bawah kekuasaannya.
· Hay, menggambarkan bagaimana sebuah hukum dapat menjadi alat bagi kelas berkuasa untuk mempengaruhi pada abad ke-18 di Inggris, yaitu dengan melihatnya pada hukum criminal. “It is Hay’s view that the criminal law, more than any other social institution made it possible to govern the country without a police force or large army”[30].
· Perdebatan mengenai ideology dan hukum, juga ditanggapi oleh Sumner. Ia melihat bahwa ideology tidak hanya berisi mengenai ideology ekonomi kapitalis. Ia berpendapat, bahwa Hukum mencerminkan ideology dari fraksi-fraksi yang berbeda yaitu antara borjuasi dan ideology kelas lainnya. Ia juga melihat bahwa hukum juga merupakan ideology dari kelompok pekerja, kelompok minoritas, dan idelogi-ideologi yang berhubungan dengan struktur keluarga, politik perwakilan, dll. Ia menyimpulkan bahwa hukum (legal system) adalah suatu cara dalam melaksanakan control politik untuk menguasai kepemilikan, untuk berkuasa. Ideologi dan hukum adalah senjata dan permainan dari kelas yang menghegemoni (It is weapon and toy of the hegemonic bloc of classes and class fractions whose rough consensus it sustains[31]).
2.2. Negara
Marx menganalisis fungsi Negara di dalam masyarakat. Ia menelusuri asal Negara dari pertentangan kelas yang ada di dalam masyarakat, dimana Marx menyatakan bahwa, “Negara adalah produk dan manifestasi dari tak terdamaikannya antagonisme-antagonisme kelas”[32]. Marx membagi pandangannya menjadi 2 (dua) bagian, yaitu: pertama, Negara sebagai alat bagi kelas yang berkuasa; kedua, Negara sebagai bentuk yang bebas dan tertinggi dari kelas social lainnya.[33]
Dasar argumentasi Marx terhadap pandangan pertamanya tentang Negara, sebagai alat bagi kelas yang berkuasa adalah, Negara digunakan oleh kelas yang berkuasa untuk mempertahankan kepentingan ekonominya.[34] Untuk mempertahankan kepentingan ekonominya ini, maka Negara difungsikan sebagai organ penindas kelas yang dikuasai. Lenin di dalam bukunya, Negara dan Revolusi (1917), Marx menyatakan: “Negara adalah organ kekuasaan kelas, organ penindasan dari satu kelas terhadap kelas yang lain, ia adalah ciptaan "tata tertib" yang melegalkan dan mengekalkan penindasan ini dengan memoderasikan bentrokan antar kelas”.
Pandangan kedua marx tentang Negara sebagai bentuk tertinggi dari kelas social lainnya didasari atas argumentasinya tentang sebuah pertanyaan mengenai apa yang menempatkan Negara diatas masyarakat lainnya? Dalam hal ini, bahwa kehadiran Negara diantara pertentangan 2 (dua) kelas masyarakat, maka muncul kebutuhan untuk menengahi pertentangan kelas tersebut. Namun, posisi ini tetap dikuasai oleh kelas yang berkuasa melalui dominasinya di dalam bidang politik. Inilah yang dikatakan marx bahwa Negara telah memoderasi pertentangan kelas. Pendominasian kelas berkuasa terhadap Negara ini dilakukan dengan 2 (dua) cara, yaitu (1) penyuapan dan (2) persekutuan pemerintah dengan pengusaha. Bahwa 2 cara ini telah dikembangkan dan dipertahankan di dalam Negara-negara demokratis untuk mewujudkan kekuasaan kelas yang berkuasa. [35] Hal ini ditegaskan dalam tulisannya Engels dalam bukunya The Origin of the Family, Private Property and the State (1894): ”Republik demokratis adalah selubung politik terbaik yang mungkin bagi kapitalisme dan karena itu kapital, setelah menguasai selubung yang terbaik itu (melalui orang-orang semacam Palchinsky, Cernov, Tsereteli dan rekan-rekannya) menegakkan kekuasaannya yang dengan begitu aman, begitu pasti, sehingga tidak ada perubahan apapun baik perubahan orang, lembaga maupun partai dalam republik borjuis-demokratis yang dapat menggoyang kekuasaan itu”. Maka dari karya Engels ini dapat dikatakan bahwa Pemilihan Umum di dalam Negara Demokratis hanya sebagai alat bagi kapitalisme (borjuasi) untuk mempertahankan kepentingannya, karena dengan persekutuan yang dilakukan klas berkuasa dengan pemerintah/pejabat-pejabat negara maka tidak akan ada perubahan apapun.
Dari 2 (dua) bentuk negara yang dilihat dari fungsinya itu, muncul beberapa pandangan para ahli dalam menaggapi pembagian fungsi Negara dari Marx, seperti:
· Milliband R. menyatakan tentang Negara Bonapartisme menurut marx, yaitu Negara ditetapkan sebagai pelindung ekonomi kelas berkuasa dan pelindung kelas social yang berkuasa, walaupun Negara terbebas secara politik dari kelas manapun. Milliband kemudian me-reformulasi perbedaan ini dalam maksud perbedaan antara (1) Negara yang bertindak sendiri dari kelas yang berkuasa dengan (2) Negara yang bertindak atas perintah kelas yang berkuasa. Namun, kemudian ia menjelaskan formulasi itu sebagai kecacatan dari pemikiran marx.[36]
· Poulantzas, tentang Negara yang bertindak sendiri (independent), yaitu mengenai konsep tentang kemandirian Negara, dengan ungkapannya “Relative autonomy of the state” yang mencoba diartikan sebagai satu ide tentang: “sebagaimanapun kemandirian sebuah Negara, mungkin tetap, semua tujuan praktis Negara adalah untuk kelas yang berkuasa”.[37]
· Theda Skocpol tentang Negara dan Revolusi Sosial (States and social Revolution) telah menentang pandangan Marx. Ia berpendapat, bahwa kaum marxis yang tradisional, melihat fungsi Negara dari terminology konflik antar kelas yang telah gagal memperlakukan Negara sebagai struktur yang otonom dari kepentingan kelas yang berkuasa di dalam masyarakat. Tingkat otonomi yang dimiliki oleh Negara tergantung pada hegemoni dari kelas yang berkuasa, dimana suatu kelas itu berkuasa penuh diseluruh bidang dan bebas dari penentang, dan Negara menjadi subyek dari hegemoni tersebut. Namun, disisi lain, dimana hegemoni seperti itu ditentang, maka otonomi (kemandirian) Negara menjadi sangat penting, dimana terdapat persaingan yang menghasilkan ketidakstabilan politik, maka Negara menjelma menjadi otoriter dan bebas. Namun, di dalam masyarakat kapitalis saat ini, dimana modal telah mendapatkan penyesuaian dengan buruh yang terorganisir dan Negara yang telah meninggalkan otonomi.[38]
2.3. Hukum, Moral, dan Keadilan
Bagi Marx bahwa tidak ada definisi hukum. Tetapi, Marx dan Engels lebih memusatkan perhatiannya kepada “Bagaimana hukum terbentuk”. Tapi Marx tidak boleh lupa, bahwa kepentingan di dalam hukum oleh masyarakat Kapitalis dicirikan dengan “Kepemilikan Pribadi”.[39] Kepemilikan pribadi ini lebih ditekankan pada factor kepemilikan pribadi atas alat-alat produksi yang pada akhirnya akan menentukan sistem ekonomi yang akan dianut suatu masyarakat.
Di dalam masyarakat kapitalis, maka sistem ekonomi yang dianut adalah sistem ekonomi kapitalis. Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya, bahwa Sistem ekonomi pada hakikatnya merupakan sistem masyarakat dan sebagai basis kehidupan masyarakat yang diatasnya berdiri bangunan atas. Terhadap ketentuan ini maka, posisi hukum berada di bangunan atas.
Pandangan Marx tentang negara mau tidak mau mempengaruhi pemikirannya tentang hukum. Bagi Marx, “hukum (Recht) anda adalah kemauan dari kelas yang diangkat menjadi undang-undang (Gesetz), suatu kemauan yang memperoleh isinya dari kondisi material dari eksistensi anda”.[40] Konsep hukum menurut Marx sangat kental dengan sistem kelas dan itu merupakan khas pemikirannya. Hukum dengan demikian menurut Marx merupakan alat bagi kelas penguasa untuk menundukkan pihak yang dikuasai secara sah. Konsep hukum kelas tersebut dapat dilacak pada saat Marx membicarakan masyarakat dan negara. Masyarakat secara historis telah terbagi dalam dua kelas dimana kelas penguasa lebih diuntungkan karena mereka memiliki alat-alat produksi. Marx mendasari analisa masyarakat, negara dan hukum berdasarkan konsep ekonomi. Meskipun ia tidak menolak unsur-unsur lain selain ekonomi, namun menurutnya unsur ekonomilah yang memainkan peran penting dalam peta pemikirannya.[41]
Hubungan negara dan hukum dalam asumsi Marx merupakan cerminan dari faktor ekonomi. Negara dan hukum menurut Marx merupakan sebuah refleksi dari kenyataan sosial. Kenyataan yang ia tangkap saat itu adalah adanya kekuatan kelas penguasa yang dominan. Ia kemudian mengidentikan hukum sebagai hubungan produksi yang dikaitkan dengan negara sebagai sebuah ideologi. Ideologi diartikan menurut Marx secara negatif yaitu sebagai kekuatan untuk “mengakali” realitas supaya dianggap sebagai realitas aslinya.[42]
Pembahasan pandangan Marx mengenai moral dan keadilan tidak terlepas dari kritiknya terhadap sistem masyarakat ekonomi kapitalisme. Bahwa, hal terpenting di dalam masyarakat kapitalisme adalah mengenai cara masyarakat tersebut menjalankan hubungan produksinya atas kepemilikan pribadi alat produksi. Watak dan sifat dari masyarakat capital adalah exploitative (menindas), ekspansi (meluaskan), dan akumulasi keuntungan. Cara masyarakat capital dalam menjalankan cara produksinya adalah dengan cara penindasan (eksploitatif), hal ini didasari atas tuntutan capital terhadap keuntungan. Keuntungan ini diambil dari mengurangi hasil orang lain atau hasil dari tenaga dan keringat manusia. Tanpa melalui itu, tidak akan bisa terjadi capital mendatangkan untung. Jadi, apa yang disebut sebagai keuntungan kapitalis adalah hasil kerja buruh yang dirampas oleh si kapitalis, hal ini disebut dengan “Nilai Lebih”.[43]
Kritik Marxis terhadap kapitalisme bukanlah kritik moral, tapi kritik ilmiah. Namun, tulisan-tulisan Marxis penuh dengan penilaian moral. .[44]Marx dan Engels meninggalkan kita ketidakraguan atas kebencian mereka terhadap sistem kapitalis dan dampaknya pada pekerja.[45] Marx menyatakan, bahwa Komunisme menghilangkan kebenaran-kebenaran abadi, ia menghapuskan semua agama dan semua moral dan bukannya menyusun semuanya itu atas dasar yang baru, karenanya ia bertindak bertentangan dengan segala pengalaman sejarah yang lampau.[46] Pandangan ini didasari atas argumentasinya, bahwa pikiran-pikiran yang menguasai setiap zaman adalah senantiasa pikiran kelas yang berkuasa. Maka hukum dan moral yang ada di dalam masyarakat kapitalis adalah bentukan atas kepentingan kelas kapitalis. Penindasan dan penghisapan yang dilakukannya menimbulkan ketidak adilan bagi kelas yang dikuasai, sehingga diperlukan tindakan-tindakan moral untuk meminimalisir penindasan yang dilakukan walaupun tidak dihilangkan. Bagi Marx, kondisi-kondisi itu tidak akan hilang sepenuhnya kecuali dengan lenyapnya samasekali pertentangan kelas dan hadirnya masyarakat baru. Inilah masyarakat yang dicita-citakan oleh Marx, yaitu hilangnya penindasan atas manusia. Dengan masyarakat komunis, maka moral tidak diperlukan lagi, karena sejalan dengan hilangnya penindasan maka moral telah ditegakkan.
Marx membagi bentuk masyarakat yang dicita-citakannya ini menjadi dua tahap yaitu, tahap yang lebih rendah dan tahap yang lebih tinggi (yang masing-masing oleh Lenin dibaptiskan sebagai sosialisme dan komunisme). Menghapuskan eksploitasi yang dahulu, dan merubahnya ke bentuk ideal dari Marx (komunisme).[47]
Pandangan-pandangan penulis lain tentang moral, yang juga menyerang kondisi eksploitatif dari kapitalisme industry, yaitu:
· Kautsky, 'prinsip-prinsip moral muncul dari Kebutuhan sosial' dan “Semua Moralitas adalah relatif'. 'Aturan-aturan moral mengubah masyarakat, tetapi tidak terputus dan tidak dengan cara yang sama dan tingkat yang sama sebagai kebutuhan sosial'.
· Plekhanov 'tidak melihat perlunya untuk memberikan alasan moral untuk bergabung dengan gerakan tertentu untuk berhasil. dan
· Lenin dalam Marxisme 'bukanlah sebutir etika dari awal sampai akhir' karena 'dalam teori, Marxisme adalah subordinat dari "perspektif etis" dengan "prinsip kausalitas", dan dalam praktiknya direduksi menjadi perjuangan kelas. moralitas, bagi Lenin, adalah apa yang telah disajikan adalah untuk menghancurkan masyarakat eksploitasi lama. Dia menambahkan: "Kami tidak percaya pada moralitas abadi, dan kami menelanjangi kepalsuan dari semua dongeng tentang moralitas”.
Kritik terhadap pandangan Marx tentang moral diajukan oleh Luke dari pertanyaannya apakah teori Marxis tentang moralitas 'absurd' (tak masuk akal)?. Luke memberikan sejumlah alasan untuk tidak percaya. Mereka semua menyerang akar dari analisis sempit dari Marxis tentang antagonisme sosial. Konflik tidak bisa direduksi menjadi konflik kelas. bahkan jika komunisme dapat menghilangkan pembagian kelas tidak ada alasan untuk percaya bahwa hal itu juga dapat menyingkirkan masyarakat dari konflik. sebenarnya yang menghasilkan konflik adalah sebuah masyarakat yang kompleks terdiri dari sejumlah besar individu. Marxis tidak menjelaskan secara puas, mengapa individu harus mengorbankan kebebasan mereka demi kesatuan sosial yang seharusnya.[48]
Pandangan Marx tentang keadilan muncul paling jelas di dalam bukunya “Capital” dan “kritik terhadap program Gotha”. Di dalam Kapital, ia menulis tentang isi keadilan sebagai kesesuaian dengan cara produksi, sehingga 'perbudakan atas dasar produksi kapitalis tidak adil, juga penipuan dalam kualitas komoditas'. Di dalam buku Kritik Gotha, Marx bertanya: "Apa distribusi yang adil?".[49]
Distribusi yang dimaksud Marx disini adalah didasarkan atas distribusi terhadap hasil produksi dari cara produksi yang dilakukan oleh masyarakat kapitalis. Kepemilikan pribadi atas distribusi hasil produksi tidak memberikan keadilan karena hanya dikuasai oleh segelintir orang tertentu. Sehingga, Marx menyatakan “Revolusi Komunis adalah pemutusan yang paling radikal dengan hubungan-hubungan milik tradisional (kepemilikan pribadi)”.[50]
2.4. Melenyapnya Negara
Gasasan Marx atas masyarakat komunis diwujudkan dalam bentuk melenyapnya Negara ini. Namun, ide ini hanya dapat diwujudkan setelah kelas protelar dapat merebut kekuasaan dari kelas borjuasi dengan jalan Revolusi Sosial. Di dalam tulisan Marx “The Communist Manifesto”, aturan proletar terkait dengan pencapaian: dimana 'Langkah pertama dalam revolusi kelas pekerja adalah untuk mengangkat proletariat pada posisi kelas yang berkuasa, untuk memenangkan pertempuran demokrasi. Revolusi diambil sebagai jalan kelas proletar untuk merebut kekuasaan dari kelas kapitalis. Bahwa pembebasan kelas tertindas bukan hanya tidak mungkin tanpa revolusi dengan kekerasan, tetapi juga tidak mungkin tanpa penghancuran aparat kekuasaan negara yang diciptakan oleh kelas yang berkuasa dan yang merupakan penjelmaan dari "pengasingan" itu.[51]
Mengapa negara melenyap?
Sebelum negara melenyap, maka kelas proletar harus terlebih dahulu menghapuskan negara masyarakat kapitalis, dan menggantikannya dengan kekuatan penindas khusus dari kelas proletar (Diktatur Proletariat). Inilah "penghapusan negara sebagai negara". Inilah "tindakan" pemilikan alat-alat produksi atas nama masyarakat. Dan dengan sendirinya jelas bahwa penggantian satu "kekuatan khusus" (borjuasi) dengan "kekuatan khusus" yang lain (proletar) yang demikian itu tidaklah mungkin terjadi dalam bentuk "melenyap". Hingga sampai nanti seluruh alat produksi dimiliki oleh Negara atas nama seluruh masyarakat, maka dengan sendirinya Negara melenyap. Penghapusan negara proletar, yaitu, negara pada umumnya tidak lah mungkin kecuali melalui proses "melenyap".[52]
III. ALIRAN-ALIRAN DI DALAM MARXISME
3.1. KARL RENNER
Renner,s, Institution of Private Law and Their Social Function [53], adalah usaha untuk menggunakan sistem sosiologi Marxis untuk membangun suatu teori hukum.Dia mendemonstrasikan bahwa tanpa memperdulikan kestabilan dari konsep hukum , seperti kekayaan atau kontrak, fungsi sosial mereka telah mengalami transformasi yang berbobot. Ilusi dari konservatisme, immutability, keseragaman, telah tercipta tetapi pada kenyataannya adaptasi yang cukup besar telah terjadi. Renner percaya bahwa untuk memahami konsep hukum harus menembus basis ekonomi..Lebih jauh ia menekankan betapa pentingnya sejarah. Dia secara khusus tertarik dalam perubahan fungsi institusi hukum dari kekayaan pribadi dan dalam kebutuhan untuk menjelaskan fungsi dipenuhi oleh lembaga-lembaga hukum dalam suatu titik waktu tertentu.
Dengan demikian, dia menunjukkan bagaimana di abad pertengahan kepemilikan masyarakat dilambangkan sebuah unit khas keluarga petani. Kemudian tempat produksi dan konsumsi adalah sama dan konsepsi hukum kepemilikan mewakili sebuah basis ekonomi. Namun ketika kepemilikan dari suatu hal yang kompleks ( saat ini disebut Modal) tak ada kelonggaran bersamaan dengan dasar dari pekerjaan pribadi, ini menjadi sebuah sumber dari sebuah kekuatan perintah yang baru. Renner menunjukkan bagaimana kapitalis melaksanakan sebuah kewenangan kuasi public atas mereka yang terikat kepada kontrak pelayanan. Lembaga hukum tidak berubah akan tetapi fungsinya lah yang telah berubah. Pemilik dari hal-hal tertentu sekarang dapat menggunakan kepemilikannya untuk mengontrol orang lain dan harta benda ke pusat sejumlah lembaga hukum pelengkap, seperti penjualan, pinjaman, sewa sewa, dan kontrak layanan . Yang terakhir disebut kontrak dan menekankan "akan" tapi pada ekspresi nyata dari kekuatan kapitalis yang tidak dalam kontrak tetapi ada dalam aturan internal yang mengatur kondisi kerja. Renner menunjukkan bagaimana dari waktu ke waktu lembaga-lembaga hukum menjalankan fungsi tambahan dan kepemilikan dan ini sendiri menjadi bentuk kekosongan hukum. Dengan cara ini, konsep kepemilikan pribadi telah menjadi lembaga hukum publik.
Untuk beberapa, gambaran Renner terlihat keluar dari garis Marx. Bagi Marx hukum adalah bagian dari superstruktur. Renner ingin menunjukkan bahwa bentuk-bentuk hukum tetap tidak berubah meskipun transtofmation ekonomi dalam masyarakat. Bagaimanapun juga Renner adalah pembaca Marx yang mungkin pemahamannya lebih baik dari siapapun yang memiliki atribut terhadap Paham determinis ekonomi. Renner mencatatat bahwa infrastruktur dan superstruktur adalah metafora dan bahwa mereka melayani hanya untuk menggambarkan hubungan dan tidak mendefenisikan hal tesebut secara pasti. Dia juga meneliti bahwa mekanisme oleh yang mana ekonomi sebagai factor penyebab, membawa dampak dari humum menjadi kabur dan tidak dapat diselidiki. Bagi Renner hukum mungkin dengan demikian sendirinya menjadi agent yang aktif dalam pembentukan kembali kondisi-kondisi masyarakat. Buku renner membayar kembali studi sebagai yang pertama, dan tetap banyak memperinci tentang pembelajaran mengenai hungan antara hukum dan ekonomi. Ini menunjukkan hubungannya menjadi lebih halus dan sulit dipahami daripada bacaaan sepintas dari apa yang dindikasikan Marx. Studi Renner signifikan untuk menggambarkan bagian yang mana hukum dapat bermain dalam pembangunan ekonomi.
3.2. Antonio Gramsci.
Gramsci[54] , sang penemu dari Italian Communist Party, pengembangannya merupakan ide yang sangat penting ketika dia makin lemah di dalam penjarah dibawah Mussolini. Dalam Prisson Notebook, yang di terbitkan secara anumerta dan hanya muncul di Inggris pada tahun 1971. Mereka mengungkap Gramsci menjadi satu dari pemikir Marxist yang kreatif dan lincah.
Yang menarik dalam pembangunan pemikiran gramsci adalah pemikirannya tentang ideological hegemony.[55] Dia percaya bahwa kelas dominan menghasilkan banyak kesepakatan-kesepakatan umum yang merekayasa masyarakat sebagai bentuk paksaan atau ancaman oleh aparat negara. Dalam hal ini ia berfikir bahwa secara khusus dalam kasus masyarkat kapitaslis yang maju dimana budaya media massa, pendidikan dan hukum mengambil sebuah peran yang baru. Hal ini dipahami bahwa keberadaan tatanan yang kuat dan diabadikan oleh fenomena kepastian “Superstruktural” dan bahwa karenanya perjuangan untuk liberalisasi memerlukan penciptaan dari “Counter Hegemonic” pandangan dunia. Bagi Gramsci revolusi tidak seseketika itu, tetapi sebuah proses dan apa yang disebut “Consciousnes Transformation” adalah merupakan bagian integral untuk itu. Sebelum-sebelumnya Marxists telah fokus kedalam ekonomi dalam hubungan masyarakat. Gramsci melebarkan cakrawalanya untuk memeluk politik, budaya dan ideology . Dia menekankan hubungan kompleks dari masing-masing dan mendesak bahwa tidak ada aspek dari "budaya borjuis" kebal terhadap perjuangan kelas. Tidak seperti Marxist yang lainnya, Gramsci memikirkan participasi dari kaum sosialis dalam institusi borjuis yang diinginkan.
3.3. The Frankfurt school.
Dari 1923 sampai awal 1930an dan berlanjut lagi sejak 1949[56] merupakan tahun-tahun Berjaya di sekolah critical paham Marxism Frankfurt yang secara khusus merupakan asosiasi Marcuse. Pengaruh dalam penemuan kembali dari tulisan-tulisan Marx, khususnya awal-awal tulisannya , sekolah ini juga menjadi instrument dalam percobaan untuk menajak paham Marxism ke Psycologi sosial. Pengaruh dari Freud adalah secara khusus mencolok dalam Marcuse, tetapi akan terdeteksi dalam eksponen lainnya juga. Sekolah Mencatat cara di mana masyarakat secara meningkat menjadi subject dibawah kendali para teknokrat. Kritik Habermas pada intinya kepada penekanan kompleksitas dari kemajuan teknologi masyarakat, apakah ini akan menjadi kapitalis ataukah kemudian ada di dalam rezim komunist di eropa timur. Dia menekankan bukan exploitasi dan perjuangan kelas dalam kapitalisme modern tapi lebih kepada jalan yang mana teknologi dan pengetahuan menciptakan sebuah sebuah tipe khusus dari pengetahuan yang mana digunakan untuk meneruskan dominasi dan penindasan. Yang tersirat dari kritik ini ialah bagaimana pihak asing dengan semangat Marx di masyarakat Soviet. Dampak dari ideology teknokratik menuntun Marcus untuk meragukan perubahan potensial dari kelas pekerja yang ditentukan oleh itu. Teknologi juga mengarah pada generasi kekayaan yang cukup bagi kelas penguasa untuk membeli kelas pekerja dengan mengubahnya menjadi robot konsumen. Dia meletakkan keyakinannaya pada penyiksaan kaum minoritas yang lain yang di luar dari masyarakat seperti mahasiswa dan orang kulit hitam. Mahasiswa dan pemberontakan Ghetto pada akhir 1960an membuat Marcus menjadi figur kultus. Marx tidak mencocokan kelas-kelas seperti ini, karena sesungguhnya Marx tidak mempercayai Lumpenproletariat.
3.4. Pashukanis.
Seorang ahli hukum dari soviet, Pashukanis adalah salah satu yang memusatkan perhatiannya terhadap teori hukum Marxist, yang menulis pada tahun 1920 dan merupakan korban dari pembersihan Stalinis pada tahun 1937.[57] Pashukanis melihat teori hukum sebagai sebuah permasalahan (pertanyaan) historis. Hal itu berarti, bahwa: pertama, pemahaman terhadap bentuk-bentuk hukum borjuis memerlukan sebuah pendekatan historis, karena hukum adalah hasil dari suatu tahap tertentu dari perkembangan masyarakat. Dan ke dua, Pashukanis melihat tugas dari teori marxis tentang hukum adalah untuk memperlihatkan (mendemostrasikan) keadaan alamiah yang bersifat sementara dari hukum. Hukum ada tidak lain adalah untuk melenyap.[58] Pashukanis melihat teorinya sebagai teori terhadap masyarakat (Sosiological. Dia membanggakan diri dalam teori-teori yang berhubungan dengan kenyataan.[59]
Teori hukum dari Pashukanis, yaitu yang dikenal dengan “teori pertukaran komoditas (the commodity-exchange theory)”, melihat kontrak (perjanjian) sebagai dasar dari semua bentuk hukum yang ada (contract as the foundation of all law)[60]. Kemudian menurutnya, hukum lahir (timbul) karena adanya kebutuhan akan komoditas dari proses produksi[61]. Semua bentuk hukum diarahkan untuk mendukung (memperlancar) proses pertukaran komoditas yang terjadi di antara subjek-subjek yang bertindak sebagai “penjaga” dari komoditas tadi, dan diciptakan oleh hukum untuk mengaktifkan bentuk fungsi masyarakat komoditas produksi.[62] Jadi hukum perburuhan tidak lebih dari serangkaian kontrak, hukum keluarga berasal dari pandangan kontrak perkawinan dan bahkan hukum pidana terletak pada semacam tawar-menawar antara negara dan warga negara, di mana hukuman yang dijatuhkan setara untuk tindakan tertentu dan dendamnya dibeli atau membayar atas kejahatannya.
Menurut Pashukanis, pertukaran komoditas, dari perspektif historis, mendahului sistem hukum yang terbentuk darinya. Hanya dengan perkembangan yang maksimal dari suatu proses produksi komoditas, maka akan terbuka pula kemungkinan bagi perkembangan bentuk-bentuk hukum. Produksi komoditas berkembang melalui perdagangan, dan hukum tumbuh berkembang sebagaimana perdagangan tadi mengalami peningkatan.[63]Dengan terus berkembangnya pertukaran komoditas tersebut, kemungkinan timbulnya sengketa akan semakin besar pula, dan sebuah sistem hukum haruslah hadir untuk mengatasi sengketa tadi. Pashukanis menyatakan, “It is disputes, conflicts of interest, which create the legal form, the legal superstructure”.[64]
Pashukanis percaya bahwa hukum akan mencapai tahap perkembangan tertingginya di bawah sistem kapitalisme. Di bawah sistem kapitalisme, hukum yang berkembang tentunya adalah juga sistem hukum yang mendukung kepentingan kaum borjuis.[65]Tetapi pada tahap selanjutnya, ketika tahap puncak masyarakat komunis tercapai, maka hukum itu akan ikut melenyap seiring dengan melenyapnya negara. Pashukanis memang telah merancang teori marxisnya tentang hukum untuk mendukung (memenuhi) tujuan-tujuan politik kaum bolshevik.[66] Misalnya, ketika kaum bolshevik dengan ideologinya menyakini bahwa negara, termasuk hukum, akan melenyap, maka teori hukum yang dirancang dan dikembangkan oleh Pashukanis pun mendukung keyakinan tadi. Pashukanis berpendapat bahwa hukum pada akhirnya akan melemah dan melenyap, serta kemudian digantikan oleh suatu bentuk sistem administrasi. Melenyapnya hukum itulah yang kemudian menjadi simpulan dari teori pertukaran komoditas yang dirancang dan dikembangkan oleh Pashukanis.[67]
IV. KRITIK ATAS PANDANGAN MARX TENTANG HUKUM DAN NEGARA
Atas pandangan-pandangan Marx yang telah dijabarkan diatas, terdapat kritik terhadap teori marx tentang hukum dan Negara. Kritik ini disampaikan oleh Lloyd D. dan Freeman, dalam bukunya Introduction of Jurisprudence. Ia menyampaikan bahwa, kritik terhadap teori Marxist terdapat dalam beberapa bentuk. Pertama, mengenai analisis kaum Marxis tentang masyarakat dan prediksinya tentang apa yang akan dicapai oleh revolusi. Kedua, mengenai penerapan teori masyarakat kontemporer yang tidak dapat dipraktekkan.
Argument-argumentnya terhadap kritik-kritik tersebut diatas adalah:
1. Kritik mengenai analisis kaum Marxis tentang masyarakat dan prediksinya tentang apa yang akan dicapai oleh revolusi.
Argumentasi atas kritik ini adalah, bahwa marx memberikan penekanan yang berlebihan terhadap pentingnya kelas ekonomi di dalam ketimpangan atas penindasan sebagai bagian dari kepentingan kapitalisme. Karena pada kenyataannya ada dimensi lain yang tidak dapat ditangkap oleh teori kelas marx, seperti ras, gender, dan perjuangan lainnya, seperti ekologi dan perlucutan senjata.
Interpretasi tentang dialektika masyarakat juga dikritik. Bahwa penggambaran Marx tentang masyarakat primitive lebih ideal sangat tidak konsisten dengan teori Marx mengenai “Kepemilikan Pribadi”. Karena kepemilikan pribadi juga terdapat di dalam masyarakat primitive.
Pandangan Marx tentang hukum juga terlalu sederhana. H.Collins dalam bukunya Marxism and Law menyebutkan, “Even if some law does exist to exploit the workers and to promote the interests of the ruling class, it can be argued that law has many other functions as well”(bahwa walaupun beberapa hukum yang ada digunakan untuk mengeksploitasi pekerja dan untuk memajukan kepentingan kelas yang berkuasa, maka hal itu dapat dibantah bahwa hukum memiliki banyak fungsi). Dengan demikian, Marx menerima pandangan ini, ia menyatakan bahwa Fungsi ideology dari hukum sangat penting untuk menjaga tatanan social sebagaimana juga sebagai fungsi represif (penekan). aturan hukum itu sendiri adalah beberapa konsep abstrak yang dapat diabstraksikan dari konteks historis
Kritik lainnya dari pandangan Marx adalah mengenai moral. Bahwa Marx menyatakan terkadang fungsi hukum bukan hanya sekedar murni untuk mengatur, tetapi hukum pada waktu yang lain digunakan untuk meningkatkan keamanan standar moral. Pertanyaan yang dikemukakan oleh Lloyd D. & Freeman atas pertanyaan ini adalah, standar moral atau standar social siapa yang aman atau terlindungi dan mengapa masyarakat monogamy atau masyarakat patriarchal dinilai layak untuk dilindungi? Bahwa, menurutnya Peraturan yang memberlakukan standar moral meyebabkan masalah tertentu bagi masyarakat kelas menengah dimana adanya monopoli atas kemarahan moral dan undang-undang yang mengatur moral tampaknya datang dari propaganda masyarakat kelas yang tidak akan sangat kuat secara ekonomi.[68]
Pandangan kaum Marxist contemporer yaitu mengenai hukum yang bertentangan dengan kepentingan kelas yang berkuasa sebagaimana yang dinyatakan oleh Chambliss dalam bukunya ‘Crime and the Legal Process (1916)’, disebutkan bahwa hukum adalah cerminan dari kepentingan masyarakat umum yang merupakan anti-tesis dari kepentingan kaum penguasa, mendapatkan tentangan dari kaum Marxists Pluralis, yaitu Hepburn. Ia menyatakan bahwa hukum yang bertentangan dengan tujuan dari elit kapitalis dapat dilihat sebagai sarana simbolik sebagai kendaraan yang dirancang untuk melindungi kepentingan yang lebih besar dari elit tersebut.[69]
Pandangan tentang tersebut diatas membawa pada persoalan lain, yaitu apa yang dimaksud denga kelas yang berkuasa? Kaum Marxists pluralis menyangkal bahwa satu kepentingan kekuasaan dapat memaksakan kehendaknya pada masyarakat umum melalui kontrol yang ditentukan atas keputusan pemerintah yang berkuasa, namun hal ini menimbulkan kesulitan dalam mengidentifikasi elit yang berkuasa adalah sebagai kelompok yang mengatur.[70]
2. Kritik mengenai penerapan teori masyarakat kontemporer yang tidak dapat dipraktekkan.
Bentuk kritik yang ke dua ini didasari atas argumentasi, bahwa Marx tidak dapat memprediksi pembangunan di era abad ke 21[71], dimana kapitalisme telah berkembang dan kekuatan-kekuatannya juga mengalami perubahan.
V. KESIMPULAN
Pembentukan Negara dan hukum di dalam teori Marxisme didasarkan atas kepentingan kelas yang berkuasa, yang didasari atas suatu sistem ekonomi tertentu yang terbentuk di dalam suatu masyarakat, yang di dalam masyarakat itu terdapat pertentangan kelas yang tak terdamaikan antara kelas berkuasa dengan kelas yang dikuasai, sehingga muncul kebutuhan untuk menjaga kepentingan ekonomi kelas berkuasa dengan menghadirkan Negara dan hukum sebagai alat untuk menjalankan kepentingan kelas berkuasa. Hubungan antara Basestructure (ekonomi) dengan Suprastructure (Hukum, politik, budaya, dsb).
[1] Lihat Avineri, The Social and Political Thought of Karl Marx (1968), Mc Lellan, Karl Marx-His Life and thougth (1973) , bottomore, The sociologicaltheory of Marx (1973), Litchtheim, Marxism (1961), Plamentaz, German Marxism and Russian Communism (1954), Wood Karl Marx (1981). Text dapat ditemukan dalam editions by Lawrence and wishart and Penguin. Useful collections are McLellan, The toughts of Marx (1971), Bottomore and Rubel, Marx Seleceted –writings on sociology and social Philosopy (1956), Feuer, Marx and Engels –Basic Wwritings on Politics and philosophy (1960). Collections of legal writings are M. Cain and A. Hunt, Marx and Engels on Law (1979) and P. Philllips, Marx and Engels on Law and Laws (1980). A valuable introductions is H collins, Marxism and Law (1982). So is Vincent (1993) 20 J.L.S 371.
[2] Alan Hunt, “Marxist Theory of Law”, dalam Dennis Patterson ed., A Companion to Philosophy of Law and Legal Theory (Massachusetts: Blackwell Publishers Ltd., 2000), hlm. 356.
[4] Satjipto Rahardjo (a), Biarkan Hukum Mengalir: Catatan Kritis tentang Pergulatan Manusia dan Hukum (Jakarta: Kompas, 2007), hlm. 3.
[5] Hans Kelsen menyatakan : “That all this is described as a pure theory of law means that is concerned solely with that part of knowledge which deals with law, excluding from such knowledge everything which does not strictly belong to the subject-matter law. That is, it endeavours to free the science of law from all foreign elements”. The Pure Theory of Law (1934-1935) dalam Teori Hukum Perdagangan Internasional, DR. Agus Brotosusilo, SH. MA.,
[6] Firman Muntaqo, “Meretas Jalan bagi Pembangunan Tipe Hukum Progresif melalui Pemahaman terhadap Peranan Mazhab Hukum Positivis dan Non-Positivis dalam Kehidupan Berhukum di Indonesia”, dalam Satjipto Rahardjo (b), Membedah Hukum Progresif (Jakarta: Kompas, 2007), hlm. 162.
[9] Cf. the economic analyses of law, discussed ante, 374.
[11] Qodri Azizy, “Menggagas Ilmu Hukum Indonesia”, dalam Qodri Azizy, et al., Menggagas Hukum Progresif Indonesia (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, IAIN Walisongo Semarang, dan Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Diponegoro, 2006), hlm. vii
[12] Marxist Theory Of Law and State, dalam filsafat hukum jilid II , agus brotosusilo 2011. Hal 837
[13] Marx’s critique of existing materialism is to be found in his concerning Feurbach ( see Early Writings (Penguin ed., 1975), pp. 421).
[14] On the difference lihat A. Wood , Karl Marx (1981), Chap. XIV.
[15] Post, 840. Marx Never in fact used the expression. He reffered to the ‘materialist conception of history’ (McLellan, Marx (1975),p.38).
[16] Marx and engels ,The German Ideology,p. 31
[17] ." (Kapital Buku I, Pengantar, Hasta Mitra, 2004, hal. xl, dikutip dengan beberapa edit redaksi bahasa oleh pengutip).
[19] Tak ada pinjaman yang dipinjamkan kedapaku untuk menemukan keberadaan kelas di masyarakat modern juga tidak perjuangan antara mereka, ditulis oleh Marx pada tahun 1852 (dikutip oleh Bottomore dan Rubel, op.cit., n 1, Hal.19). Formulasi awal dari Ferguson dan Miller, abad delapan belas Scottish Historians.
[20] Mc Lellan, The Tought of Marx (1971), hal,151
[21].Capital, vol III, hal 832
[22] Per Wood op. cit.,hal 90. Lihat juga E. Hosbsbawm: ‘kelas adalah sekedar kasus yang spesial dari hubungan masyarakat terhadap produksi’, (Pre-Capitalist Economic Formations (1965), hal. 11)
[23] Cf. J. Berger, New Society, December 1977.
[24] The German Ideology, hal 21. They made ‘ the perfecting of the illusion of the class about itself their chief source of livelihood’.
[25] J.Habermas, “Technology and Science as Ideology in Towards A Rational Society”, 1971.
[26] R.Williams, Marxism and Literature (1977)
[27] Lloyd D. and Freeman: Introduction to Jurisprudence, 850.
[29] Lloyd D. and Freeman: Introduction to Jurisprudence, 851.
[30] Lloyd D. and Freeman: Introduction to Jurisprudence, 852
[31] Lloyd D. and Freeman: Introduction to Jurisprudence, 853
[32] V.I.Lenin, Negara dan Revolusi, www.marxists.org
[33] Lloyd D. and Freeman: Introduction to Jurisprudence, 854
[34] Ken Budha Kusumandaru, Karl Marx, revolusi, dan sosialisme : sanggahan terhadap Franz Magnis-Suseno; Yogyakarta : Insist Press, 2003
[35] V.I.Lenin, Negara dan Revolusi, www.marxists.org
[36] Lloyd D. and Freeman: Introduction to Jurisprudence, 854-855
[37] Ibid.,
[38] Ibid.,
[39] Ibid, 856
[40] Martin P. Golding, “Sejarah Filsafat Hukum”, diambil dari, Arief B. Sidharta, Sejarah dan Masalah-Masalah Hukum, Laboratorium Hukum Fakultas Hukum Universitas Katolik Parahyangan, Bandung, 2005, hlm.19.
[41] http://senandikahukum.wordpress.com/2009/01/13/hukum-internasional-dalam-perspektif-filsafat-komunisme/
[43] Karl Marx, Edisi Indonesia: Kapital, sebuah kritik ekonomi politik, Hasta Mitra.2004.
[44] Lloyd D. and Freeman: Introduction to Jurisprudence, 857
[45] F.Engels, The Condition of The Working Class in England.
[46] K.Marx & F.Engels, Manifesto Komunis, Yayasan Pembaruan, Jakarta, 1964.78
[47] Lloyd D. and Freeman: Introduction to Jurisprudence, 858
[48] Ibid, 861
[49] Ibid., 859
[50] K.Marx & F.Engels, Manifesto Komunis, Yayasan Pembaruan, Jakarta, 1964. 79
[51] V.I.Lenin, Negara dan Revolusi, www.marxists.org
[52] V.I.Lenin, Negara dan Revolusi, www.marxists.org
[53] Diterbitkan di Inggris pada tahun 1949, dengan pendahuluanoleh Kahn-Freund.
[54] Diskusi yang bermanfaat , Anderson (1976-1977) 100 New Left Review 5; Boggs, Gramsci’s Marxism (1976) dan lihat secara khusus dalam, M. Cain ‘Gramsci, The State and The Place of Law ‘in Legality, Ideology and the State (D.Sugarman, ed.) (1983), hal 95-118. Lihat juga C. Baci-Glucksman, Gramsci and the state (1980). B jessop, Theory of the Capitalis State (1982), Bagian 4, bermanfaat untuk memahami Gramsci dan Neo Gramsicsm.
[55] LIhat Hunt dalam The sociology of Law (Carlen ed) (1976) hal. 35, 42. Disini terdapay banya diskusi dari sejarah dan penggunaan dalam Anderson.
[56] Selama periode NAZI
[57] Diskusi yang bermanfaat dari Pashukanis, R. Warrington ‘ Pashukanis and The commodity Form Theory in Legality, Ideology and The State (D.Sugarman, ed.) (1983),pp. 43-68; Sharlet, Soviet Union (1974), vol I No.2, p.103;Fuller, 47 Mich.L.Rev. 1157; Arthur, Critique no. 7(1976-7, Readhead, Critique no .9 (1978). Di January 20, 1937 Pravda dinyatakan sebagai musuh dari masyarakat. Dia tidak nampak tanpa bekas, pengadilan atau pengakuan ( lihat R. Sharlet, ‘Stalinist and Soviet Legal Culture’ in Stalinism: Esssay In Historical Interpretation (R.C Tucker, ed.) (1977).
[58] Law and Marxism, p. 133.
[59] Dia mengkritik teori normative seperti yang diungkapkan Hans Kelsen dan menyalahkan hukum alam dan teori-teori keinginan, karena mereka tersebut tidak berdasarkan kenyataan (op Cit, n. 27, p. 145). Dia juga mengkritik Renner yang mengatakan tidak bisa mencakup konsep hukum dalam kehidupan nyata. (idem, p. 56).
[60] Dalam ungkapan yang mencolok ia menyebutkan bahwa semua hukum adalah sebagai “Hukum dagang”. Semangat dari Maine tampaknya hidup dalam Pashukanis. Cf.ante, 789. B. Edelman, Ownership of the Image (1979) Berpendapat bahwa hal itu juga atas dasar ini bahwa "jenius" dari Pashukanis dapat diakui (p 24). Lihat juga I Balbus (1977)) 11 Law and Soc.Rev. 571. Pendapat Balbus banyak meminjam pendapat Pashukanis.
[61] Per R.A Warrington, Op.cit, n.26, p. 48.
[62] Marxist Theory Of Law and State, dalam filsafat hukum jilid II , agus brotosusilo 2011. Hal 868.
[63] Ibid,
[64] Ibid,
[65] Ibid, hal 869
[66] Ibid hal 867
[67] Ibid hal 870
[68] [68] Marxist Theory Of Law and State, dalam filsafat hukum jilid II , agus brotosusilo 2011.
[69] Hepburns, social control and the legal order (1977), contemporary crises, 85
[70] Soviet studies 615, Hirszowicz (1976), Soviet studies 262, Kusiv (1976).
[71] Marxist Theory Of Law and State, dalam filsafat hukum jilid II , agus brotosusilo 2011.
No comments:
Post a Comment