Oleh: Rachmi Hertanti
Isu perubahan iklim bukanlah satu isu yang baru, melainkan isu yang
sudah sejak lama dibicarakan di dalam masyarakat internasional. Perserikatan
Bangsa-Bangsa (PBB) melalui organisasi-organisasinya, yaitu Organisasi
Meteorologi Dunia (The World
Meteorological Organization,WMO) dan Program Lingkungan PBB (the United Nations Environment
Program,UNEP), telah membahas isu ini dengan membentuk sebuah panel
antarpemerintah sejak tahun 1988. Panel ini bernama IPCC (Intergovernmental Panel on Climate Change), yang berisi
peneliti-peneliti dari seluruh dunia.
Bukti ilmiah yang dibawa IPCC di dalam Penilaian laporan pertamanya
pada tahun 1990 dan diperkuat lagi dengan laporannya pada tahun 2007 mengenai perubahan iklim dan konsekuensi
yang harus ditanggung Negara-negara dunia, pada akhirnya membawa kebutuhan pada
perjanjian internasional (international
treaty) sebagai kunci utama untuk mengurangi pemanasan global dan mengatasi
dampak perubahan iklim.
Maka, pada KTT Bumi (Earth
Summit) di Rio de Janeiro tahun 1992, Konvensi Kerangka PBB tentang
Perubahan Iklim (United Nations Framework
Convention on Climate Change, UNFCCC)
akhirnya diterima secara universal sebagai komitmen politik internasional
tentang perubahan iklim yang secara hukum mengikat (Legally Binding) bagi anggota-anggotanya. Konvensi ini ditandangani oleh 154 negara dan
mulai berlaku (entry into force)
mulai tanggal 21 Maret 1994 dan pada pertengahan 2002 telah bertambah Negara
yang menandatangani konvensi ini menjadi 184 negara.
Perjalanan UNFCCC berliku-liku dengan
tarik-menarik berbagai kepentingan dari anggota-anggota yang tergabung
didalamnya. Setelah UNFCCC diadopsi dan ditandangani, Konferensi Para Pihak (Conference of Party, CoP) dilaksanakan
pertama kalinya pada tahun 1995. CoP adalah salah satu badan tertinggi di dalam
Konvensi sebagai pengambil keputusan tertinggi dan bertanggung jawab agar
pembahasan isu perubahan iklim sesuai dengan tujuannya.
Sepanjang
CoP 1 dan CoP 2 hampir tidak ada kesepakatan yang berarti dalam upaya penurunan
emisi GRK. Baru pada CoP 3 yang diadakan di Kyoto, Jepang pada tahun 1997,
UNFCCC mendapat keputusan yang lebih mengikat Negara-negara maju untuk dapat
lebih serius dalam mengurangi dampak emisi GRK. Di dalam pertemuan itu, dihasilkan
Protokol Kyoto, dimana protokol tersebut mengatur lebih tegas dan mengikat
terhadap komitment Negara-negara maju di dalam konvensi perubahan iklim.
Protokol Kyoto mengikat Negara-negara Annex I yang secara kolektif memiliki kewajiban menurunkan emisinya
sebesar 5,2 persen dari tingkat emisi tahun 1990 pada tahun 2008-2012. Tahun 1990 ditetapkan dalam Protokol Kyoto
sebagai acuan dasar (baseline) untuk
menghitung tingkat emisi GRK.
COP-13, di Bali
menghasilkan Bali Road Map yang
menyiapkan REDD untuk menggantikan Kyoto Protokol. Konferensi PBB Perubahan Iklim 13 atau COP
13 tahun 2007 dianggap COP yang paling berhasil setelah COP 3 tahun 1997 di
Kyoto Jepang. Kepiawaian dalam melobi Indonesia diakui dunia karena pada COP 13
Bali tersebut telah disetujui Bali Road Map atau peta perjalanan untuk
menyepakati protokol pengganti Protokol Kyoto. Sayang
sampai COP 16 di Cancun Mexico,
negara-negara yang berpartisipasi di dalam PBB Perubahan Iklim belum bisa
mencapai kesepakatan yang mengikat. Di Cancun disepakati kesepakatan tidak
mengikat yang merinci secara detail mengenai skema REDD + yang berpotensi
menggantikan atau memperkuat Protokol Kyoto.
Peran Negara-negara Maju Di Dalam Isu Perubahan Iklim
ASEAN merupakan kawasan yang
sangat kaya, dimana ASEAN adalah kawasan yang memiliki keragaman ekologis di dunia. Wilayahnya hanya
dihuni sebesar 3% dari seluruh total luas wilayahnya, dan terdiri dari 3 negara mega
biodiversity, yaitu Indonesia,
Malaysia dan Filipina, yang secara bersama-sama mewakili sekitar 80% dari
keanekaragaman hayati dunia. Hutan lindung di ASEAN adalah sekitar 45% dibandingkan
dengan rata-rata dunia yaitu 30,3% dan menyediakan habitat alami sebesar 40% dari
semua spesies di Bumi. Wilayah ini juga sebagai
tempat lebih dari 1000 yang meliputi
kawasan lindung 595.700 km persegi, atau
sekitar 13 persen dari total luas lahan. Wilayah ini memiliki 34 persen dari
luas total hutan mangrove, 64 persen dari spesies mangrove, 31 persen dari luas
terumbu karang, dan 33 persen dari spesies rumput laut.
Di dalam penelitian yang
dilakukan oleh Asian Development Bank
(ADB) tahun 2009 mengenai “Ekonomi
Perubahan Iklim di Asia Tenggara : Tinjauan Regional” yang juga mengacu
pada Laporan IPCC tahun 2007, menyebutkan bahwa ASEAN berkontribusi sebanyak
12% terhadap total emisi gas rumah kaca di dunia pada tahun 2000. ADB juga
menyebutkan bahwa ASEAN merupakan salah satu kawasan di dunia yang paling
rentan terhadap perubahan iklim karena garis pantainya yang panjang,
konsentrasi penduduk dan aktivitas ekonomi di daerah pesisir yang tinggi, dan
ketergantungan yang sangat besar terhadap pertanian, sumber daya alam, dan
kehutanan.
Dorongan ADB terhadap ASEAN di
dalam Isu Perubahan Iklim ini adalah untuk membuat “Skema perdagangan emisi regional
jangka panjang” dimana di dalamnya selain memuat beberapa target
mitigasi dan adaptasi yang harus dilakukan juga memuat tentang penghapusan
beberapa hambatan-hambatan perdagangan emisi di kawasan ASEAN, seperti
kesenjangan informasi, pengetahuan, dan teknologi; distorsi pasar dan harga;
hambatan kebijakan, peraturan, dan perilaku; kurangnya dana yang diperlukan
untuk investasi di muka; dan biaya transaksi yang tersembunyi lainnya, dimana
sekiranya hambatan-hambatan ini akan memperlambat arus modal yang akan masuk ke
dalam ASEAN. Skema ini harus dibangun sejalan dengan tiga pilar ASEAN Community Blueprints.
Dengan kekayaan alam dan
keberagaman hayati yang dimiliki ASEAN, maka ada beberapa sektor strategis
ASEAN yang dianggap oleh ADB dapat memberikan dampak signifikan di dalam
perubahan iklim, yaitu sektor pertanian, hutan, sumber daya air, dan sumber
daya pesisir dan kelautan. Oleh karena itu, ADB memberikan perhatian khusus di
dalam proses adaptasi dan mitigasi di ASEAN pada empat sektor ini. Oleh karena
itu, ADB menekankan agar ASEAN lebih memanfaatkan mekanisme CDM (Clean
Development Mechanism) dan mekanisme REDD, dimana ASEAN lebih memiliki
potensi besar untuk pelaksanaan dua mekanisme tersebut, serta kemungkinan
negara maju lebih suka menggunakan mekanisme tersebut dikarenakan lebih efisien
(murah).
Clean Development Mechanism (CDM) atau Mekanisme Pembangunan Bersih,
adalah mekanisme pembatasan atau pengurangan emisi gas rumah kaca sebagai
komitment negara-negara annex I terhadap Pasal 3 Protokol Kyoto, yang dilakukan
dengan cara menanamkan investasi di negara-negara berkembang dalam bentuk
proyek-proyek pengurangan emisi. Setiap proyek yang dibuat oleh negara Annex I
dapat menjual kredit CER, yang setiap kreditnya dinilai setara dengan 1(satu)
ton CO2 yang diharapkan dapat memenuhi tujuan dari Protokol Kyoto.
Proyek
Investasi yang dilakukan dengan skema CDM ini disebut juga dengan Investasi
Lingkungan (Environmental Investment),
misalnya saja proyek energi listrik tenaga terbarukan, biofuel, dan sebagainya.
Skema CDM merupakan hubungan saling menguntungkan antara negara-negara Annex I
dengan negara-negara non-Annex I (negara berkembang). Hal ini dikarenakan
negara non-Annex I mendapatkan dana ataupun investasi untuk pembangunan
ekonominya dan turut serta di dalam pengurangan emisi serta negara Annex I
dengan melakukan CDM dapat segera mencapai targetnya untuk mengurangi emisi
sebagaimana komitment mereka di dalam Protokol Kyoto.
Masih ada satu mekanisme lagi yang merupakan mekanisme
yang dibuat khusus untuk negara-negara berkembang, yaitu REDD. REDD atau
Reducing Emissions from Deforestation and
Forest Degradation (Pengurangan emsisi dari deforestasi dan degradasi
hutan) adalah Sebuah mekanisme
untuk mengurangi emisi GRK dengan cara memberikan kompensasi kepada pihak-pihak yang melakukan pencegahan
deforestasi dan degradasi hutan. Skema
REDD memperbolehkan konservasi hutan untuk berkompetisi secara ekonomis dengan
berbagai kegiatan ekonomi lainnya yang memicu deforestasi. Pengurangan emisi
atau deforestasi yang dihindari diperhitungkan sebagai kredit. Jumlah kredit
karbon yang diperoleh dalam waktu tertentu dapat dijual di pasar karbon.
Sebagai alternatif, kredit yang diperoleh dapat diserahkan ke lembaga pendanaan
yang dibentuk untuk menyediakan kompensasi finansial bagi negara negara peserta
yang melakukan konservasi hutannya. (sumber: http://www.greenpeace.org)
Skema REDD sangat menggiurkan bagi negara-negara
berkembang, khususnya negara-negara berkembang yang memiliki area hutan yang
cukup luas, dimana dengan membuat kegiatan konservasi hutan yang tidak
memerlukan biaya yang cukup besar bisa mendapatkan keuntungan yang
berlipat-lipat. Tapi ya sekali lagi, bahwa mekanisme REDD ataupun REDD plus
hanya satu mekanisme yang dibuat untuk memudahkan negara-negara maju untuk
dapat memenuhi target komitment mereka terhadap pengurangan dampak perubahan
iklim dengan memindahkan tanggung jawab itu kepada negara berkembang.
Kedua mekanisme diatas memudahkan negara maju yang
disebut dengan negara-negara Annex I dalam pemenuhan kewajiban komitmentnya di
dalam Protokol Kyoto dengan mekanisme pasar karbon yang menguntungkan mereka
dua kali lipat dibandingkan dengan negara-negara berkembang. Mereka tidak perlu repot-repot untuk
mengurangi emisi dan mereka juga diuntungkan dengan pembukaan akses pasar
dibidang lingkungan dalam bentuk investasi jangka panjang.
Isu perubahan iklim hanya menjadi
tameng bagi negara-negara maju, karena sebagian besar dari agenda perubahan
iklim adalah kegiatan penanaman investasi besar-besaran di bidang lingkungan
atau yang disebut dengan “Investasi Hijau”. Di dalam perubahan iklim terdapat
potensi pasar baru (new market) yang sangat besar ditengah-tengah
kejenuhan pasar yang sudah ada. Selain itu, Nilai ekonomis dari kegiatan “supply
and demand energy” juga menjadi daya tarik tersendiri bagi negara-negara
maju dalam mengembangkan teknologi yang menggunakan energi terbarukan.
Untuk mendorong pertumbuhan
investasi hijau ini, diperlukan dukungan dari lembaga-lembaga keuangan internasional
seperti World Bank, ADB, Australian Aid, dan lain sebagainya,
sebagai penyalur dana-dana investasi hijau negara-negara maju, yang bekerja
sama dengan Global Environment Facility
Trust Fund (dibuat dibawah naungan UNFCCC) dan tiga pendanaan khusus yaitu the Least Developed Countries Fund, the Special Climate Change Fund dan the Adaptation Fund (yang dibuat dibawah naungan Protokol
Kyoto).
Pilihan negara maju terhadap ASEAN karena ASEAN dianggap Sebagai salah satu kawasan yang paling dinamis di dunia yang memiliki
pertumbuhan ekonomi yang cepat selama beberapa dekade terakhir yang telah
membantu dalam mengangkat sejumlah besar orang keluar dari kemiskinan yang
ekstrim. Oleh karena itu, ASEAN bisa menjadi tempat berputarnya modal yang
cukup signifikan bagi negara maju sebagai jalan keluar dari krisis finansial
yang dialaminya sejak tahun 2008, serta untuk memutar kembali roda
perekonomiannya guna menyelesaikan krisis yang mereka alami dengan melakukan
penanaman investasi ramah lingkungan dengan berbagai pilihan project/program
kegiatan yang berkaitan dengan isu perubahan iklim.
ASEAN dan Agenda Perubahan Iklim
Penanganan
mengenai perubahan iklim dan untuk mengatasi dampak-dampaknya, Komunitas ASEAN
telah membuat rancangannya di dalam Blueprint dari ASEAN Socio-Cultural Community (ASCC). Oleh karena itu, Konferensi
Tingkat Tinggi ASEAN harus selalu memastikan bahwa rencana program adaptasi dan
mitigasi dalam perubahan iklim berjalan sesuai dengan blueprint yang telah dibuat oleh Komunitas ASEAN tersebut.
Blueprint ASCC yang berisi mengenai dukungan masyarakat komunitas ASEAN
terhadap program Climate Change
dibahas pada Blueprint ASCC Bagian
D.10 tentang Climate Change, yang menyatakan mengenai “Ensuring Environmental Sustainability
(menjamin kelestarian lingkungan)” dan secara khusus menyebutkan mengenai
penanganan terhadap perubahan iklim dan dampaknya terhadap ASEAN.
Dukungan
ASEAN terhadap Program perubahan iklim dinyatakan dengan tindakan konkrit para
pemimpin ASEAN dengan membentuk ASEAN Climate Change Initiative (ACCI) yang merupakan
rekomendasi dari ASCC Blueprint. Pembentukan ACCI adalah untuk lebih memperkuat koordinasi regional
dan kerjasama dalam menangani perubahan iklim, dan untuk melakukan tindakan
konkrit untuk merespon dampak negatifnya. Ruang lingkup dari
ACCI adalah, pertama,
memformulasikan kebijakan dan strategi; kedua, Pertukaran informasi; ketiga, Peningkatan kapasitas; empat, Transfer teknologi. Pertemuan Menteri Lingkungan Hidup ASEAN yang ke
11 mengadopsi Kerangka Acuan
dari ACCI dan mendukung
pendirian Kelompok Kerja ASEAN untuk Perubahan Iklim (ASEAN Workinggroup for Climate Change/AWGCC) untuk melaksanakan ACCI.
Grand Design komunitas
ASEAN di bidang lingkungan (environment) secara keseluruhan mengadopsi
kesepakatan internasional dari UNFCCC dan Protokol Kyoto. Koordinasi besar
dilakukan oleh ASOEN (ASEAN Senior Officials on The Environment), yang
membawahi beberapa kelompok kerja (working group) yang dibentuk untuk menghadapi
isu-isu lingkungan dibawah frame isu besar dari perubahan iklim. Koordinasi
komunitas ASEAN tersebut bisa kita lihat dari tabel berikut ini:
Sumber: Dr. Raman
Letchumanan (Head of the Environment Division, ASEAN Secretariat)
Dari beberapa deklarasi Komunitas
ASEAN dalam menyikapi isu perubahan iklim, yaitu seperti ASEAN Summit ke-13
pada November 2007 di Singapura dan ASEAN Summit ke-15 pada Oktober 2009 di
Thailand, pada akhirnya menghasilkan langkah-langkah penanggulangan dampak
perubahan iklim. Dan di tahun 2009, Dewan Koordinasi ASCC teah menyepakati
untuk membuat mekanisme koordinasi lintas sektor mengingat perubahan iklim
berdampak hampir diseluruh sektor. Mekanisme koordinasi lintas sektor tersebut
dilakukan dalam bentuk kerjasama dengan berbagai lembaga internasional lainnya
yang dilaksanakan dalam konteks kerjasama regional ASEAN. Kerjasama regional
ASEAN dalam rangka penanggulangan perubahan iklim tersebut dapat dilihat di
dalam tabel berikut ini:

Untuk di bidang lingkungan
(environment), ASEAN telah melakukan beberapa project yang bekerja sama dengan
berbagai lembaga internasional, yaitu seperti Cool ASEAN, Green Capitals
Initiative yang didukung pendanaannya oleh World Bank; pembuatan
kesepakatan mengenai ASEAN Agreements on Trans-Boundary Haze Pollution dalam
rangka pengurangan asap akibat dari kebakaran hutan yang didukung pendanaannya
oleh Australian Aid; The Rehabilitation and Sustainable Use of Peatland
Forests in South East Asia Project yang secara finansial didukung oleh Global
Environmental Facility (GEF) dan diimplementasikan oleh the
International Fund for Agricultural Development (IFAD); ASEAN Strategic
Plan of Action on Water Resources Management dan beberapa project turunannya
yang didukung secara finansial dari GIZ (The Deutsche Gesellschaft für Internationale Zusammenarbeit)dan
Australian Aid.
Pada bidang pertanian dan
kehutanan, dimana mayoritas anggota ASEAN memiliki lahan yang cukup luas untuk
bidang-bidang tersebut, menjadi fokus utama dalam pelaksanaan program adaptasi
dan mitigasi di ASEAN. Kedua bidang tersebut memiliki titik strategis yang
berdampak juga pada keamanan pangan (food security) di ASEAN. Oleh
karena itu, pada Oktober 2008 AMAF (ASEAN Ministers Agriculture and Forestry)
sepakat untuk membuat langkah-langkah konkrit menangani isu di bidang
pertanian, kehutanan, dan perikanan yang pada akhirnya membentuk ASEAN
Multi-Sectoral Framework on Climate Change and Food Security (AFCC-FS). AFCC-FS
ini bekerja sama dengan GTZ yang sekarang bernama GIZ, ADB dalam melakukan
pendanaan beberapa project yang terkait dengan AFCC-FS dibidang pertanian,
kehutanan, dan Perikanan.
Masih banyak kerjasama lainnya yang dilakukan oleh
Komunitas ASEAN yang pada akhirnya mengikat secara bilateral negara-negara
anggotanya, karena apa yang disepakati pada tingkat ASEAN adalah untuk
mendorong negara-negara anggotanya membuka pintu penanaman investasi hijau ini
yang pada akhirnya mengikat negara-negara tersebut secara bilateral. ASEAN
hanya bertugas untuk memberikan pemahaman mengenai apa yang harus dilakukan
oleh Komunitas ASEAN dalam menghadapi dampak perubahan iklim. Oleh karena itu
pengikatan kesepakatan project konkritnya dilakukan secara bilateral.
Indonesia sebagai bagian dari komunitas ASEAN telah
terikat dengan segala kesepakatan yang telah dibuat oleh komunitas ASEAN. Ada
beberapa kesepakatan project yang telah ditandatangai pemerintah indonesia. Perlu
diingat, bahwa pendanaan yang diberikan dalam melaksanakan project perubahan
iklim dalam bentuk pinjaman atau hutang yang harus di bayar oleh Indonesia. Tidak
semua pendanaan diberikan secara gratis.
Salah satu project kerjasama ASEAN dengan lembaga Internasional
GTZ atau GIZ yang melibatkan Indonesia sebagai negara target project mengenai “Clean Air and Climate Change Mitigation
for Smaller Cities in the ASEAN Region” untuk dilaksanakan
sepanjang tahun 2009-2012 (sumber http://www.gtz.de/en/praxis/608.htm).
Project ini dilakukan melalui kerja sama dengan ADB yang telah mengeluarkan
dana sebesar US$48,11 Miliar. ADB juga memberikan pendanaan secara langsung
kepada indonesia untuk berbagai project perubahan iklim seperti Renewable Energy Development and Power
Transmission Improvement Sector Project dengan besarnya pendanaan US$ 162 juta dan saat ini project tersebut
tengah berjalan.
Skenario Isu
Perubahan Iklim Untuk ASEAN
Isu perubahan iklim telah menempatkan ASEAN, yang
mayoritasnya adalah negara berkembang, hanya sebagai obyek penderita di dalam
program perubahan iklim. Negara-negara
ASEAN dipaksa menaikkan harga energi pada tingkat harga pasar untuk mengurangi
konsumsi energi, mengganti peralatan dengan tehnologi yang ramah lingkungan dan
mengembalikan fungsi hutan-hutan yang telah beralih fungsi agar hutan-hutan
tersebut dapat dimasukkan dalam skema perdagangan karbon.
Dengan demikian negara ASEAN
tampaknya akan menjadi sasaran ekspansi
perusahaan negara maju yang akan melakukan investasi besar-besaran dan perdagangan di dalam program perubahan iklim. Cara-cara
yang digunakan dalam mengatasi perubahan iklim seperti mekanisme perdagangan
karbon, hanya sebagai alat bagi negara Annex I (Negara-negara maju) untuk
mengalihkan tanggung jawab atas komitmentnya di dalam mengurangi dampak
perubahan iklim yang tercantum di dalam UNFCCC dan protokol kyoto. Mekanisme
perdangan karbon juga menjadi salah satu alasan yang paling kuat untuk
melibatkan ASEAN secara aktif di dalam isu perubahan iklim, dikarenakan ASEAN
khsusunya Indonesia memiliki kekayaan hutan yang luas.
Tidak ada pilihan lain bagi ASEAN untuk tetap
melaksanakan project perubahan iklim ini yang menjadi desakan dari
negara-negara maju. Mungkin bagi sebagian lain dari negara ASEAN masih dapat
memanfaatkan peluang yang diciptakan negara-negara maju melalui skema
perdagangan emisi ini dengan strategi yang baik, sehingga pendanaan perubahan
iklim yang dikeluarkan oleh negara maju akan mampu juga menggerakkan
perekonomian ASEAN,
mengatasi de industrialsiasi dan pengangguran. Tapi apakah mungkin terjadi ?.
Namun yang pasti, ASEAN hanya mengharapkan kucuran dana dari
negara-negara maju yang diturunkan dalam paket project perubahan iklim, baik
dalam bentuk hibah maupun hutang. Mungkin negara anggota yang memiliki sumber
daya alam yang besar seperti indonesia dapat diuntungkan dalam hal ini, tetapi
keuntungan itu hanya menimbulkan ketergantungan negara terhadap hutang yang
baru.
No comments:
Post a Comment