7/13/11

Invasi Project Perubahan Iklim dalam ASEAN

Oleh: Rachmi Hertanti

Isu perubahan iklim bukanlah satu isu yang baru, melainkan isu yang sudah sejak lama dibicarakan di dalam masyarakat internasional. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) melalui organisasi-organisasinya, yaitu Organisasi Meteorologi Dunia (The World Meteorological Organization,WMO) dan Program Lingkungan PBB (the United Nations Environment Program,UNEP), telah membahas isu ini dengan membentuk sebuah panel antarpemerintah sejak tahun 1988. Panel ini bernama IPCC (Intergovernmental Panel on Climate Change), yang berisi peneliti-peneliti dari seluruh dunia.
Bukti ilmiah yang dibawa IPCC di dalam Penilaian laporan pertamanya pada tahun 1990 dan diperkuat lagi dengan laporannya pada tahun 2007 mengenai perubahan iklim dan konsekuensi yang harus ditanggung Negara-negara dunia, pada akhirnya membawa kebutuhan pada perjanjian internasional (international treaty) sebagai kunci utama untuk mengurangi pemanasan global dan mengatasi dampak perubahan iklim.
Maka, pada KTT Bumi (Earth Summit) di Rio de Janeiro tahun 1992, Konvensi Kerangka PBB tentang Perubahan Iklim (United Nations Framework Convention on Climate Change, UNFCCC) akhirnya diterima secara universal sebagai komitmen politik internasional tentang perubahan iklim yang secara hukum mengikat (Legally Binding) bagi anggota-anggotanya.  Konvensi ini ditandangani oleh 154 negara dan mulai berlaku (entry into force) mulai tanggal 21 Maret 1994 dan pada pertengahan 2002 telah bertambah Negara yang menandatangani konvensi ini menjadi 184 negara.
Perjalanan UNFCCC berliku-liku dengan tarik-menarik berbagai kepentingan dari anggota-anggota yang tergabung didalamnya. Setelah UNFCCC diadopsi dan ditandangani, Konferensi Para Pihak (Conference of Party, CoP) dilaksanakan pertama kalinya pada tahun 1995. CoP adalah salah satu badan tertinggi di dalam Konvensi sebagai pengambil keputusan tertinggi dan bertanggung jawab agar pembahasan isu perubahan iklim sesuai dengan tujuannya.
Sepanjang CoP 1 dan CoP 2 hampir tidak ada kesepakatan yang berarti dalam upaya penurunan emisi GRK. Baru pada CoP 3 yang diadakan di Kyoto, Jepang pada tahun 1997, UNFCCC mendapat keputusan yang lebih mengikat Negara-negara maju untuk dapat lebih serius dalam mengurangi dampak emisi GRK. Di dalam pertemuan itu, dihasilkan Protokol Kyoto, dimana protokol tersebut mengatur lebih tegas dan mengikat terhadap komitment Negara-negara maju di dalam konvensi perubahan iklim. Protokol Kyoto mengikat Negara-negara Annex I yang secara kolektif memiliki kewajiban menurunkan emisinya sebesar 5,2 persen dari tingkat emisi tahun 1990 pada tahun 2008-2012. Tahun 1990 ditetapkan dalam Protokol Kyoto sebagai acuan dasar (baseline) untuk menghitung tingkat emisi GRK.
COP-13, di Bali menghasilkan Bali Road Map yang menyiapkan REDD untuk menggantikan Kyoto Protokol. Konferensi PBB Perubahan Iklim 13 atau COP 13 tahun 2007 dianggap COP yang paling berhasil setelah COP 3 tahun 1997 di Kyoto Jepang. Kepiawaian dalam melobi Indonesia diakui dunia karena pada COP 13 Bali tersebut telah disetujui Bali Road Map atau peta perjalanan untuk menyepakati protokol pengganti Protokol Kyoto. Sayang sampai COP 16  di Cancun Mexico, negara-negara yang berpartisipasi di dalam PBB Perubahan Iklim belum bisa mencapai kesepakatan yang mengikat. Di Cancun disepakati kesepakatan tidak mengikat yang merinci secara detail mengenai skema REDD + yang berpotensi menggantikan atau memperkuat Protokol Kyoto.


Peran Negara-negara Maju Di Dalam Isu Perubahan Iklim

ASEAN merupakan kawasan yang sangat kaya, dimana ASEAN adalah kawasan yang memiliki keragaman ekologis di dunia. Wilayahnya hanya dihuni sebesar 3% dari seluruh total luas wilayahnya, dan terdiri dari 3 negara mega biodiversity, yaitu Indonesia, Malaysia dan Filipina, yang secara bersama-sama mewakili sekitar 80% dari keanekaragaman hayati dunia. Hutan lindung di ASEAN adalah sekitar 45% dibandingkan dengan rata-rata dunia yaitu 30,3% dan menyediakan habitat alami sebesar 40% dari semua spesies di Bumi. Wilayah ini juga sebagai tempat lebih dari 1000 yang meliputi kawasan lindung 595.700 km persegi, atau sekitar 13 persen dari total luas lahan. Wilayah ini memiliki 34 persen dari luas total hutan mangrove, 64 persen dari spesies mangrove, 31 persen dari luas terumbu karang, dan 33 persen dari spesies rumput laut.
Di dalam penelitian yang dilakukan oleh Asian Development Bank (ADB) tahun 2009 mengenai “Ekonomi Perubahan Iklim di Asia Tenggara : Tinjauan Regional” yang juga mengacu pada Laporan IPCC tahun 2007, menyebutkan bahwa ASEAN berkontribusi sebanyak 12% terhadap total emisi gas rumah kaca di dunia pada tahun 2000. ADB juga menyebutkan bahwa ASEAN merupakan salah satu kawasan di dunia yang paling rentan terhadap perubahan iklim karena garis pantainya yang panjang, konsentrasi penduduk dan aktivitas ekonomi di daerah pesisir yang tinggi, dan ketergantungan yang sangat besar terhadap pertanian, sumber daya alam, dan kehutanan.
Dorongan ADB terhadap ASEAN di dalam Isu Perubahan Iklim ini adalah untuk membuat “Skema perdagangan emisi regional jangka panjang” dimana di dalamnya selain memuat beberapa target mitigasi dan adaptasi yang harus dilakukan juga memuat tentang penghapusan beberapa hambatan-hambatan perdagangan emisi di kawasan ASEAN, seperti kesenjangan informasi, pengetahuan, dan teknologi; distorsi pasar dan harga; hambatan kebijakan, peraturan, dan perilaku; kurangnya dana yang diperlukan untuk investasi di muka; dan biaya transaksi yang tersembunyi lainnya, dimana sekiranya hambatan-hambatan ini akan memperlambat arus modal yang akan masuk ke dalam ASEAN. Skema ini harus dibangun sejalan dengan tiga pilar ASEAN Community Blueprints.
Dengan kekayaan alam dan keberagaman hayati yang dimiliki ASEAN, maka ada beberapa sektor strategis ASEAN yang dianggap oleh ADB dapat memberikan dampak signifikan di dalam perubahan iklim, yaitu sektor pertanian, hutan, sumber daya air, dan sumber daya pesisir dan kelautan. Oleh karena itu, ADB memberikan perhatian khusus di dalam proses adaptasi dan mitigasi di ASEAN pada empat sektor ini. Oleh karena itu, ADB menekankan agar ASEAN lebih memanfaatkan mekanisme CDM (Clean Development Mechanism) dan mekanisme REDD, dimana ASEAN lebih memiliki potensi besar untuk pelaksanaan dua mekanisme tersebut, serta kemungkinan negara maju lebih suka menggunakan mekanisme tersebut dikarenakan lebih efisien (murah).
Clean Development Mechanism (CDM) atau Mekanisme Pembangunan Bersih, adalah mekanisme pembatasan atau pengurangan emisi gas rumah kaca sebagai komitment negara-negara annex I terhadap Pasal 3 Protokol Kyoto, yang dilakukan dengan cara menanamkan investasi di negara-negara berkembang dalam bentuk proyek-proyek pengurangan emisi. Setiap proyek yang dibuat oleh negara Annex I dapat menjual kredit CER, yang setiap kreditnya dinilai setara dengan 1(satu) ton CO2 yang diharapkan dapat memenuhi tujuan dari Protokol Kyoto.
Proyek Investasi yang dilakukan dengan skema CDM ini disebut juga dengan Investasi Lingkungan (Environmental Investment), misalnya saja proyek energi listrik tenaga terbarukan, biofuel, dan sebagainya. Skema CDM merupakan hubungan saling menguntungkan antara negara-negara Annex I dengan negara-negara non-Annex I (negara berkembang). Hal ini dikarenakan negara non-Annex I mendapatkan dana ataupun investasi untuk pembangunan ekonominya dan turut serta di dalam pengurangan emisi serta negara Annex I dengan melakukan CDM dapat segera mencapai targetnya untuk mengurangi emisi sebagaimana komitment mereka di dalam Protokol Kyoto.
Masih ada satu mekanisme lagi yang merupakan mekanisme yang dibuat khusus untuk negara-negara berkembang, yaitu REDD. REDD atau Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation (Pengurangan emsisi dari deforestasi dan degradasi hutan) adalah Sebuah mekanisme untuk mengurangi emisi GRK dengan cara memberikan kompensasi kepada pihak-pihak yang melakukan pencegahan deforestasi dan degradasi hutan. Skema REDD memperbolehkan konservasi hutan untuk berkompetisi secara ekonomis dengan berbagai kegiatan ekonomi lainnya yang memicu deforestasi. Pengurangan emisi atau deforestasi yang dihindari diperhitungkan sebagai kredit. Jumlah kredit karbon yang diperoleh dalam waktu tertentu dapat dijual di pasar karbon. Sebagai alternatif, kredit yang diperoleh dapat diserahkan ke lembaga pendanaan yang dibentuk untuk menyediakan kompensasi finansial bagi negara negara peserta yang melakukan konservasi hutannya. (sumber: http://www.greenpeace.org)
Skema REDD sangat menggiurkan bagi negara-negara berkembang, khususnya negara-negara berkembang yang memiliki area hutan yang cukup luas, dimana dengan membuat kegiatan konservasi hutan yang tidak memerlukan biaya yang cukup besar bisa mendapatkan keuntungan yang berlipat-lipat. Tapi ya sekali lagi, bahwa mekanisme REDD ataupun REDD plus hanya satu mekanisme yang dibuat untuk memudahkan negara-negara maju untuk dapat memenuhi target komitment mereka terhadap pengurangan dampak perubahan iklim dengan memindahkan tanggung jawab itu kepada negara berkembang.
Kedua mekanisme diatas memudahkan negara maju yang disebut dengan negara-negara Annex I dalam pemenuhan kewajiban komitmentnya di dalam Protokol Kyoto dengan mekanisme pasar karbon yang menguntungkan mereka dua kali lipat dibandingkan dengan negara-negara berkembang. Mereka tidak perlu repot-repot untuk mengurangi emisi dan mereka juga diuntungkan dengan pembukaan akses pasar dibidang lingkungan dalam bentuk investasi jangka panjang.
Isu perubahan iklim hanya menjadi tameng bagi negara-negara maju, karena sebagian besar dari agenda perubahan iklim adalah kegiatan penanaman investasi besar-besaran di bidang lingkungan atau yang disebut dengan “Investasi Hijau”. Di dalam perubahan iklim terdapat potensi pasar baru (new market) yang sangat besar ditengah-tengah kejenuhan pasar yang sudah ada. Selain itu, Nilai ekonomis dari kegiatan “supply and demand energy” juga menjadi daya tarik tersendiri bagi negara-negara maju dalam mengembangkan teknologi yang menggunakan energi terbarukan.
Untuk mendorong pertumbuhan investasi hijau ini, diperlukan dukungan dari lembaga-lembaga keuangan internasional seperti World Bank, ADB, Australian Aid, dan lain sebagainya, sebagai penyalur dana-dana investasi hijau negara-negara maju, yang bekerja sama dengan Global Environment Facility Trust Fund (dibuat dibawah naungan UNFCCC) dan tiga pendanaan khusus yaitu the Least Developed Countries Fund, the Special Climate Change Fund dan the Adaptation Fund (yang dibuat dibawah naungan Protokol Kyoto).
Pilihan negara maju terhadap ASEAN karena ASEAN dianggap Sebagai salah satu kawasan yang paling dinamis di dunia yang memiliki pertumbuhan ekonomi yang cepat selama beberapa dekade terakhir yang telah membantu dalam mengangkat sejumlah besar orang keluar dari kemiskinan yang ekstrim. Oleh karena itu, ASEAN bisa menjadi tempat berputarnya modal yang cukup signifikan bagi negara maju sebagai jalan keluar dari krisis finansial yang dialaminya sejak tahun 2008, serta untuk memutar kembali roda perekonomiannya guna menyelesaikan krisis yang mereka alami dengan melakukan penanaman investasi ramah lingkungan dengan berbagai pilihan project/program kegiatan yang berkaitan dengan isu perubahan iklim.

ASEAN dan Agenda Perubahan Iklim

Penanganan mengenai perubahan iklim dan untuk mengatasi dampak-dampaknya, Komunitas ASEAN telah membuat rancangannya di dalam Blueprint dari ASEAN Socio-Cultural Community (ASCC). Oleh karena itu, Konferensi Tingkat Tinggi ASEAN harus selalu memastikan bahwa rencana program adaptasi dan mitigasi dalam perubahan iklim berjalan sesuai dengan blueprint yang telah dibuat oleh Komunitas ASEAN tersebut. Blueprint ASCC yang berisi mengenai dukungan masyarakat komunitas ASEAN terhadap program Climate Change dibahas pada Blueprint ASCC Bagian D.10 tentang Climate Change, yang menyatakan mengenai “Ensuring Environmental Sustainability (menjamin kelestarian lingkungan)” dan secara khusus menyebutkan mengenai penanganan terhadap perubahan iklim dan dampaknya terhadap ASEAN.
Dukungan ASEAN terhadap Program perubahan iklim dinyatakan dengan tindakan konkrit para pemimpin ASEAN dengan membentuk ASEAN Climate Change Initiative (ACCI) yang merupakan rekomendasi dari ASCC Blueprint. Pembentukan ACCI adalah untuk lebih memperkuat koordinasi regional dan kerjasama dalam menangani perubahan iklim, dan untuk melakukan tindakan konkrit untuk merespon dampak negatifnya. Ruang lingkup dari ACCI adalah, pertama, memformulasikan kebijakan dan strategi; kedua, Pertukaran informasi; ketiga, Peningkatan kapasitas; empat, Transfer teknologi. Pertemuan Menteri Lingkungan Hidup ASEAN yang ke 11 mengadopsi Kerangka Acuan dari ACCI dan mendukung pendirian Kelompok Kerja ASEAN untuk Perubahan Iklim (ASEAN Workinggroup for Climate Change/AWGCC) untuk melaksanakan ACCI.
Grand Design komunitas ASEAN di bidang lingkungan (environment) secara keseluruhan mengadopsi kesepakatan internasional dari UNFCCC dan Protokol Kyoto. Koordinasi besar dilakukan oleh ASOEN (ASEAN Senior Officials on The Environment), yang membawahi beberapa kelompok kerja (working group) yang dibentuk untuk menghadapi isu-isu lingkungan dibawah frame isu besar dari perubahan iklim. Koordinasi komunitas ASEAN tersebut bisa kita lihat dari tabel berikut ini:

Sumber: Dr. Raman Letchumanan (Head of the Environment Division, ASEAN Secretariat)

Dari beberapa deklarasi Komunitas ASEAN dalam menyikapi isu perubahan iklim, yaitu seperti ASEAN Summit ke-13 pada November 2007 di Singapura dan ASEAN Summit ke-15 pada Oktober 2009 di Thailand, pada akhirnya menghasilkan langkah-langkah penanggulangan dampak perubahan iklim. Dan di tahun 2009, Dewan Koordinasi ASCC teah menyepakati untuk membuat mekanisme koordinasi lintas sektor mengingat perubahan iklim berdampak hampir diseluruh sektor. Mekanisme koordinasi lintas sektor tersebut dilakukan dalam bentuk kerjasama dengan berbagai lembaga internasional lainnya yang dilaksanakan dalam konteks kerjasama regional ASEAN. Kerjasama regional ASEAN dalam rangka penanggulangan perubahan iklim tersebut dapat dilihat di dalam tabel berikut ini:






Untuk di bidang lingkungan (environment), ASEAN telah melakukan beberapa project yang bekerja sama dengan berbagai lembaga internasional, yaitu seperti Cool ASEAN, Green Capitals Initiative yang didukung pendanaannya oleh World Bank; pembuatan kesepakatan mengenai ASEAN Agreements on Trans-Boundary Haze Pollution dalam rangka pengurangan asap akibat dari kebakaran hutan yang didukung pendanaannya oleh Australian Aid; The Rehabilitation and Sustainable Use of Peatland Forests in South East Asia Project yang secara finansial didukung oleh Global Environmental Facility (GEF) dan diimplementasikan oleh the International Fund for Agricultural Development (IFAD); ASEAN Strategic Plan of Action on Water Resources Management dan beberapa project turunannya yang didukung secara finansial dari GIZ (The Deutsche Gesellschaft für Internationale Zusammenarbeit)dan Australian Aid.
Pada bidang pertanian dan kehutanan, dimana mayoritas anggota ASEAN memiliki lahan yang cukup luas untuk bidang-bidang tersebut, menjadi fokus utama dalam pelaksanaan program adaptasi dan mitigasi di ASEAN. Kedua bidang tersebut memiliki titik strategis yang berdampak juga pada keamanan pangan (food security) di ASEAN. Oleh karena itu, pada Oktober 2008 AMAF (ASEAN Ministers Agriculture and Forestry) sepakat untuk membuat langkah-langkah konkrit menangani isu di bidang pertanian, kehutanan, dan perikanan yang pada akhirnya membentuk ASEAN Multi-Sectoral Framework on Climate Change and Food Security (AFCC-FS). AFCC-FS ini bekerja sama dengan GTZ yang sekarang bernama GIZ, ADB dalam melakukan pendanaan beberapa project yang terkait dengan AFCC-FS dibidang pertanian, kehutanan, dan Perikanan.
Masih banyak kerjasama lainnya yang dilakukan oleh Komunitas ASEAN yang pada akhirnya mengikat secara bilateral negara-negara anggotanya, karena apa yang disepakati pada tingkat ASEAN adalah untuk mendorong negara-negara anggotanya membuka pintu penanaman investasi hijau ini yang pada akhirnya mengikat negara-negara tersebut secara bilateral. ASEAN hanya bertugas untuk memberikan pemahaman mengenai apa yang harus dilakukan oleh Komunitas ASEAN dalam menghadapi dampak perubahan iklim. Oleh karena itu pengikatan kesepakatan project konkritnya dilakukan secara bilateral.
Indonesia sebagai bagian dari komunitas ASEAN telah terikat dengan segala kesepakatan yang telah dibuat oleh komunitas ASEAN. Ada beberapa kesepakatan project yang telah ditandatangai pemerintah indonesia. Perlu diingat, bahwa pendanaan yang diberikan dalam melaksanakan project perubahan iklim dalam bentuk pinjaman atau hutang yang harus di bayar oleh Indonesia. Tidak semua pendanaan diberikan secara gratis.
Salah satu project kerjasama ASEAN dengan lembaga Internasional GTZ atau GIZ yang melibatkan Indonesia sebagai negara target project mengenai “Clean Air and Climate Change Mitigation for Smaller Cities in the ASEAN Region” untuk dilaksanakan sepanjang tahun 2009-2012 (sumber http://www.gtz.de/en/praxis/608.htm). Project ini dilakukan melalui kerja sama dengan ADB yang telah mengeluarkan dana sebesar US$48,11 Miliar. ADB juga memberikan pendanaan secara langsung kepada indonesia untuk berbagai project perubahan iklim seperti Renewable Energy Development and Power Transmission Improvement Sector Project dengan besarnya pendanaan US$ 162 juta dan saat ini project tersebut tengah berjalan.

Skenario Isu Perubahan Iklim Untuk ASEAN

Isu perubahan iklim telah menempatkan ASEAN, yang mayoritasnya adalah negara berkembang, hanya sebagai obyek penderita di dalam program perubahan iklim. Negara-negara ASEAN dipaksa menaikkan harga energi pada tingkat harga pasar untuk mengurangi konsumsi energi, mengganti peralatan dengan tehnologi yang ramah lingkungan dan mengembalikan fungsi hutan-hutan yang telah beralih fungsi agar hutan-hutan tersebut dapat dimasukkan dalam skema perdagangan karbon.
Dengan demikian negara ASEAN tampaknya akan menjadi sasaran ekspansi perusahaan negara maju yang akan melakukan investasi besar-besaran dan perdagangan di dalam program perubahan iklim.  Cara-cara yang digunakan dalam mengatasi perubahan iklim seperti mekanisme perdagangan karbon, hanya sebagai alat bagi negara Annex I (Negara-negara maju) untuk mengalihkan tanggung jawab atas komitmentnya di dalam mengurangi dampak perubahan iklim yang tercantum di dalam UNFCCC dan protokol kyoto. Mekanisme perdangan karbon juga menjadi salah satu alasan yang paling kuat untuk melibatkan ASEAN secara aktif di dalam isu perubahan iklim, dikarenakan ASEAN khsusunya Indonesia memiliki kekayaan hutan yang luas.
Tidak ada pilihan lain bagi ASEAN untuk tetap melaksanakan project perubahan iklim ini yang menjadi desakan dari negara-negara maju. Mungkin bagi sebagian lain dari negara ASEAN masih dapat memanfaatkan peluang yang diciptakan negara-negara maju melalui skema perdagangan emisi ini dengan strategi yang baik, sehingga pendanaan perubahan iklim yang dikeluarkan oleh negara maju akan mampu juga menggerakkan perekonomian ASEAN, mengatasi de industrialsiasi dan pengangguran. Tapi apakah mungkin terjadi ?.
Namun yang pasti, ASEAN hanya mengharapkan kucuran dana dari negara-negara maju yang diturunkan dalam paket project perubahan iklim, baik dalam bentuk hibah maupun hutang. Mungkin negara anggota yang memiliki sumber daya alam yang besar seperti indonesia dapat diuntungkan dalam hal ini, tetapi keuntungan itu hanya menimbulkan ketergantungan negara terhadap hutang yang baru.

***@***
g diterbitkan oleh Institute Global Justice)

No comments:

Post a Comment