11/23/12

Asia-Europe Meeting: Negara ASIA harus Bangun Posisi Tawar

9TH ASEM SUMMIT, LAO (5-6 NOVEMBER 2012) Update PDF Cetak E-mail
Ditulis Oleh Rachmi Hertanti   
Wednesday, 07 November 2012

 
“The Union needs as a matter of urgency to strengthen its economic
presence in Asia in order to maintain its leading role in the world economy”[1]
 
Penggalan kalimat diatas merupakan pernyataan yang dikeluarkan oleh Komisi Masyarakat Eropa (Commission of The European Communities) dalam laporannya kepada dewan (council) Masyarakat Eropa pada tahun 1994 yang berjudul “Towards A New Asia Strategy”.
 
Laporan tersebut dibuat terkait perkiraan World Bank pada saat itu yang memastikan bahwa pada tahun 2000 separuh dari pertumbuhan ekonomi dunia berasal dari Asia Timur dan Asia Tenggara yang kemudian mengantarkan pada perubahan peta kekuatan ekonomi dunia.
 
Dari strategi ekonomi tahun 1994 tersebut bisa dilihat bahwa Uni Eropa telah menjadikan Asia sebagai prioritas dalam seluruh kebijakan ekonominya. Sebisa mungkin Uni Eropa melakukan kerjasama ekonomi, politik, dan sosial budaya dengan Asia secara komprehensif sejak era 1990-an, dimulai dengan kerjasama ekonomi secara bilateral dengan beberapa negara besar di Asia seperti, China, Jepang, Korea Selatan, dan India yang kemudian secara regional Uni Eropa juga telah melakukan komunikasi secara intensif terhadap ASEAN untuk menjalin kerjasama ekonomi.
 
Dalam perkembangan saat ini Uni Eropa masih secara gencar memaksakan pengikatan kerjasama ekonomi melalui Free Trade Agreement (FTA) dengan beberapa negara khususnya negara-negara ASEAN. Indonesia salah satu negara yang saat ini sedang dalam proses pembahasan FTA dengan Uni Eropa yang bernama Indonesia-EU Comprehensive Economic Partnership Agreement (CEPA).
 
Perkiraan World Bank tersebut pada akhirnya menjadi kenyataan. Saat ini kekuatan ekonomi dunia telah mengalami perubahan dengan China sebagai kekuatan ekonomi terbesar di dunia setelah mengalahkan Amerika Serikat. Terlebih lagi Asia saat ini, khususnya ASEAN, telah menjadi pusaran ekonomi dunia yang menyediakan pasar, tenaga kerja produktif, dan raw material untuk kebutuhan produksi.
 
Berdasarkan dari dokumen strategi ekonomi Uni Eropa tahun 1994 tersebut kemudian mengantarkan Uni Eropa untuk melakukan dialog dengan negara-negara Asia guna memperkuat hubungan diantara kedua kawasan ini khususnya dalam meningkatkan kerjasama secara signifikan dalam bidang ekonomi dan politik. Perwujudan dialog tersebut tertuang dalam Asia-Europe Meeting (ASEM) yang pertama kalinya digelar pada tahun 1996 di Bangkok, Thailand.

ASEAN- Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEP): “Strategi Negara Maju Untuk Memperkuat Dominasi Di Asia-Pasifik”



Cetak E-mail
Ditulis Oleh Rachmi Hertanti   
Tuesday, 06 November 2012
(Artikel saya yang ditulis untuk update free trade IGJ dan dimuat dalam website IGJ di http://www.igj.or.id/index.php?option=com_content&task=view&id=671&Itemid=165)

 
Asia Menjadi Muara Krisis

Kebangkitan ekonomi Asia telah menjadi ‘gula’ yang menarik banyak pihak untuk menghampirinya. Manisnya ekonomi Asia telah merubah tatanan perekonomian global, khususnya dalam situasi krisis ekonomi global saat ini. Pertumbuhan China saat ini yang menjadi kekuatan ekonomi terbesar didunia juga memberikan pengaruh terhadap ekonomi Asia.

Ditengah-tengah melesunya pertumbuhan ekonomi dibeberapa negara maju seperti Uni Eropa dan Amerika Serikat, Asia tetap berdiri tegap dengan tingginya angka pertumbuhan ekonomi yang semakin meyakinkan banyak pihak bahwa Asia sebagai pusat perekonomian masa depan. Hal ini kemudian menjadikan Asia sebagai tumpuan negara maju dalam upaya mengeluarkan dirinya dari krisis ekonomi yang melanda. Padahal ini hanya strategi yang akan menularkan krisis ke Asia.

Pasar Asia dianggap memberikan janji surga terhadap pemulihan krisis ekonomi dunia. Hal ini didasari atas tingginya angka populasi di Asia, khususnya populasi usia produktif, sehingga akan menjamin ketersediaan tenaga kerja yang produktif dan kompetitif yang kemudian berdampak terhadap potensi besar kepada permintaan pasar. Produktifitas yang dihasilkan menjadi alasan rasional untuk semakin memasifkan agenda investasi diseluruh sektor ekonomi, khususnya yang terkait dengan infrastruktur, manufaktur dan energi.

Hal diatas kemudian mendorong sebuah ambisi untuk segera memperluas dan membuka akses pasar serta investasi yang lebih massif lagi dimana hal-hal tersebut diyakini sebagai cara efektif untuk menggenjot pertumbuhan ekonomi dunia, khususnya Uni Eropa dan Amerika Serikat.
 

10/26/12

Multilateralisme Dalam Krisis ?

 (Artikel Update yang saya tulis untuk update free trade di website IGJ http://www.igj.or.id/index.php?option=com_content&task=view&id=667&Itemid=53)


Ditulis Oleh Rachmi Hertanti   
 
Materi pokok dalam WTO Public Forum yang diadakan pada 24 September 2012 yang lalu telah menarik perhatian banyak pihak dalam mempertegas kembali keberadaan lembaga perdagangan internasional (WTO).
Salah satu pembicara utama dalam diskusi WTO tersebut, Micheline Calmy-Rey (Mantan Presiden Konfederasi Swiss), menyatakan bahwa Multilateral telah gagal di berbagai bidang dan dengan jelas tidak mampu memberikan dampak dalam masa-masa krisis saat ini. Apalagi kemandekan Doha Round juga memiliki pengaruh besar terhadap perjalanan WTO.
Pernyataan tersebut diperkuat kembali oleh Direktur WTO, Pascal Lamy, dimana ia berpendapat bahwa multilateralisme tidak dalam keadaan yang baik karena ia sudah usang akibat dari perubahan cepat yang terjadi di dunia karena globalisasi. Untuk itu, Lamy menambahkan, sistem WTO yang ada saat ini sudah tidak lagi sesuai dengan perubahan tersebut apalagi ditambah dengan situasi krisis yang akhirnya sistem tidak berjalan.
Tidak banyak yang optimis terhadap keberhasilan WTO dalam menghadapi  masa krisis. Berbagai pihak menyatakan bahwa WTO perlu melakukan reformasi sehingga mampu beradaptasi dengan kondisi buruk saat ini. Namun, mengembalikan prinsip-prinsip dasar liberalisasi perdagangan di dalam WTO tetap menjadi point terpenting dalam mengembalikan WTO ke-khitahnya.
Point penting tersebut adalah menghilangkan friksi di dalam WTO, melakukan negosiasi mengenai fasilitasi perdagangan dalam rangka memfasilitasi prosedur kepabeanan untuk menghapus "hambatan perdagangan", perang melawan proteksionisme melalui mekanisme pemantauan WTO, dan juga mendorong lebih banyak lagi pembiayaan perdagangan.
 
Krisis Terus Berlanjut
 

Reformasi Arsitektur Keuangan Global

“Negara Berkembang Dorong untuk Revisi GATS”  

(Artikel Update yang saya tulis untuk update free trade di website IGJ  bisa dilihat pada link berikut: http://www.igj.or.id/index.php?option=com_content&task=view&id=670&Itemid=56)



 
Terkait dengan situasi krisis ekonomi global yang belum kunjung usai, telah banyak pendiskusian mengenai gagalnya liberalisasi keuangan global, dimana liberalsiasi dirasa tidak mampu menciptakan stabilitas keuangan dunia dan menimbulkan banyak kekhawatiran terhadap kondisi perbankan nasional masing-masing Negara.

Dalam sistem perdagangan multilateral (WTO), sektor perbankan diatur dalam perjanjian GATS (General Agreement Trade on Services). Transaksi keuangan lintas batas dan kehadiran bank asing di sebuah negara adalah bentuk liberalisasi sektor perbankan dalam GATS.  Sedikit-banyak, aturan GATS memiliki peran dalam liberalisasi sektor perbankan dan mempengaruhi kondisi perbankan lokal. Beberapa pandangan dari negara-negara berkembang telah memperlihatkan keresahannya.
 
Beberapa keresahan negara-negara berkembang terhadap GATS digarisbawahi terhadap aturan GATS yang lebih banyak mengatur mengenai keharusan negara anggota untuk membatasi regulasinya, karena dalam perkembangannya telah menjadi hambatan terbesar dalam pelaksanaan perdagangan jasa perbankan. Namun, disatu sisi GATS tidak mengatur mengenai hak negara untuk membuat aturan, kompensasi dalam perselisihan, dan prosedur untuk tindakan-tindakan pengamanan. Hal-hal inilah yang kemudian mendorong negara-negara berkembang untuk melakukan revisi terhadap GATS.

My New Book

INVASI BANK ASING DI INDONESIA

Sebuah karya pertama dari saya bersama dengan rekan peneliti yang pernah di IGJ (Indonesia for Global Justice), Herjuno Ndaru. Buku ini ingin memperlihatkan mengenai liberalisasi sektor perbankan dan kaitannya terhadap kredit mikro yang saat ini semakin gencar dilakukan oleh bank-bank swasta nasional yang didominasi kepemilikan asing di Indonesia.


Referensinya:

Pembukaan sektor jasa keuangan melalui berbagai skema di World Trade Organization (WTO), Free Trade Agreementa (FTA), dan kesepakatan di Association of Southeast  Asian Nations (ASEAN) telah membuat sektor jasa keuangan di Indonesia semakin terbuka bagi invasi perbankan asing. Indonesia bahkan salah satu Negara dengan sistem perbankan paling liberal dikawasan Asia Tenggara. Liberalisasi sektor keuangan dan perbankan di Indonesia telah dimulai sejak Letter of Intent (LoI) International Monetary Fund (IMF) 1998-2003.
Beberapa perbankan berdiri sebagai perbankan asing di Indonesia,dan sebagian lagi melebur sebagai perusahaan Indonesia meskipun kepemilikannya adalah asing dan campuran tersebut tidak hanya dikuasai kegiatan bisnis besar,namun juga menginvasi sektor Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM).
Dalam prakteknya keberadaan dana asing dalam perbankan memicu ekspansi utang yang sifatnyafee-based income yang rata-rata bersifat konsumtif,misalnya kartu kredit dan pinjaman kredit mikro dengan suku bunga yang relative tinggi. Kehadiran perbankan dengan unsur dana asing tersebut semakin menggeser eksistensi lembaga mikro kredit local yang telah melayani anggotanya dengan prinsip-prinsip kerjasama dan loyalitas.
Lemahnya peran pemerintah dalam mengembangkan dan melayani UMKM menyebabkan usaha yang dijalankan oleh sebagian besar rakyat semakin rentan terhadap kemiskinan. Selain itu, tidak adanya penyegaran dalamupaya pemberdayaan koperasi sebagai bentuk institusi keuangan yang berlandaskan semangat kemajuan bersama, akan menyebabkan UMKM terperosok dalam ketergantungan pada perbankan asing. Oleh karena itu, diperlukan peran pemerintah yang lebih besar dalam membuat regulasi yang mengatur operasi sektor perbankan yang berpihak pada kepentingan rakyat dan mengembangkan lembaga keuangan alternative yang salah satunya melalui koperasi**(Diambil dari http://www.igj.or.id/index.php?option=com_content&task=view&id=664&Itemid=193)

3/21/12

Industri Ekstraktif Indonesia dan Kepentingan Asing

Oleh: Rachmi Hertanti[1]

 “…. Siapapun yang mengontrol jalur minyak global akan bisa mengontrol ekonomi global, setidaknya untuk masa depan yang tidak terlalu jauh”.[2]

Pernyataan diatas memperlihatkan betapa strategisnya penguasaan minyak bumi bagi kepentingan ekonomi global, begitu juga penguasaan atas hasil tambang lainnya yang memiliki nilai berharga bagi kelangsungan industri Negara-negara maju sebagai pemenuhan bahan bakunya. Selain itu juga, penguasaan atas sumber daya alam, khususnya minyak, akan berdampak pada kemampuan pertahanan suatu Negara. Misalnya Amerika Serikat (AS) sebagian besar penggunaan minyak dialokasikan untuk kebutuhan militernya.

Sumber daya ekstraktif telah menjadi daya tarik bagi Negara maju terhadap Negara-negara yang memiliki kekayaan sumber daya ekstraktif, seperti Indonesia. Perebutan terhadap kekayaan alam tersebut telah mengakibatkan maraknya penanaman modal pada sektor industri ekstraktif di Indonesia. Industri ekstraktif sendiri memiliki arti yaitu segala kegiatan yang mengambil sumber daya alam yang langsung dari perut bumi berupa mineral, batubara, minyak bumi dan gas bumi (Perpres No.26/2010). Industri ekstraktif di Indonesia sangat didominasi oleh kepemilikan asing.

Industri ekstraktif telah lama dimulai di Indonesia. Industri minyak bumi telah dimulai sejak jaman penjajahan Belanda dengan melakukan eksplorasi dan produksi minyak bumi. Pengusahaan minyak bumi di Indonesia tergolong tertua di dunia, yaitu dengan pengeboran minyak pertama oleh J.Reerink pada tahun 1871. Menjelang akhir abad ke 19, terdapat 18 perusahaan asing yang beroperasi di Indonesia. Pada tahun 1902 didirikan perusahaan yang bernama koninklijke petroleum maatschappij yang kemudian melebur dengan Shell Transportation Trading Company menjadi perusahaan yang bernama The Asiatic Petroleum Company atau Shell Petroleum Company.[3]

Buruh & Investasi di Indonesia*

Bulan Januari 2012, kondisi perburuhan di Indonesia dikejutkan dengan luapan kemarahan para buruh di kawasan industri Bekasi yang melakukan aksi mogok massal dan pemblokiran jalan tol Jakarta-Cikarang selama satu hari. Mereka menuntut pelaksanaan Surat Keputusan Gubernur Jawa Barat mengenai Penetapan UMP (Upah Minimum Provinsi) tahun 2012 dan menuntut APINDO untuk mencabut gugatan TUN terkait dengan SK Gubernur Jawa Barat tersebut. Aksi ini pun diikuti oleh para buruh ditangerang yang juga menuntut hal serupa.
Pengusaha mengklaim bahwa mereka mengalami kerugian besar atas aksi yang dilakukan para buruh, baik di bekasi maupun di tangerang. Investor asing terbesar di Indonesia, yaitu Jepang, Korea Selatan, dan Taiwan, memprotes pemerintah atas berlangsungnya aksi mogok massal yang dilakukan oleh para buruh. Mereka menyatakan bahwa pemerintah kurang melindungi kepentingan investor dan menimbulkan ketidaknyamanan bagi mereka untuk berinvestasi di Indonesia. Namun, jika pemerintah tidak dapat menyelesaikan permasalahan ini dan kurang memberikan perlindungan serta keamanan dalam berinvestasi maka Indonesia akan semakin tidak menarik dan kehilangan kemampuannya dalam menjaring investor asing.
Saat ini, paling tidak ada sekitar 12.000 perusahaan Taiwan, 1.600 perusahaan asal Korea Selatan, dan 1000 perusahaan Jepang yang beroperasi di Indonesia dengan nilai investasi pada tahun 2009 masing-masing sebesar US$ 243,2 Juta (Taiwan), US$ 1,2 Miliar (Korea Selatan), dan US$1,5 Miliar (Jepang). Mayoritas perusahaan-perusahaan tersebut beroperasi di Bekasi, Jawa Barat dan Tangerang, Banten. Saat ini sudah banyak investor yang mengancam untuk hengkang dari Indonesia, khususnya investor asal Korea Selatan.